5/28/2009

BAB III - And His Name is..

Ollie mulai memasuki UPB-Universitas Pendidikan Bandung, kampus yang di gemari hampir seantero negara Indonesia ini kini telah menjadi miliknya. Perasaan bangga sekaligus tegang tak ayal sedang menyelimuti hati Ollie.

Dengan gaya sok tomboy-nya dia berjalan sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Saking enaknya dia berjalan, sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa ada seorang laki-laki berlari dengan kecepatan super cheetah di depannya.

“Waaaa......w!”
“AAHH AWAAAASS!!!”

BRUUAAK

Tabrakan pun tak dapat dipungkiri.
Mereka berdua terjatuh dengan keadaan yang bisa dibilang........ya gitu deh, kedua tangan lelaki itu tidak sengaja melingkari badan Ollie. Jarak muka mereka hanya berkisar 5 centi-an. Kedua mata mereka bertatapan sejenak sebelum Ollie mendorong tubuh lelaki itu dan segera berdiri.

“Eh Sorry.” Lelaki itu refleks berkata.
“Ngapain sih lo? Jijik tau gak?”, omel Ollie sambil menutup mulutnya. “Jangan asal tubruk dong, kan sakit!”
“Yaa gua udah minta maaf kan?”
“Maaf gitu doang sih basi.”
“Lho terus maunya apa?”, lelaki itu membangkitkan tubuhnya.
“Ya ngapain kek.”
“Stres banget sih lo, ngomel sendiri, udah tau ada orang lari didepan. Bukannya ngindar, malah melotot. Kayak di sinetron aja. Gue itu kalo lari susah nyetop, apa lagi larinya kayak tadi.”, lelaki itu balas ngomel.
“Ngapain gue ngeliat loe?”
“Makanya kalo jalan itu pake mata! Bukan kuping!”
“Gue gak bisa jalan pake mata. Mata gue itu di kepala, masa mesti jungkir balik! Dan satu lagi, gue gak pernah jalan pake kuping, gue Cuma bisa jalan pake kaki!”
“Bukan itu maksudnya...”
Belum sempat menjawab lagi, tiba-tiba Ollie menunjuk tas selempang kecil bututnya yang berada di bawah sepatu si lelaki. Tidak melihat reaksi lelaki itu, Ollie langsung berniat menarik tasnya. Tapi keburu ditarik sang lelaki.
“Oh..ini tas lo?”, tanya lelaki itu sambil menyodorkan tas Ollie.

Untuk kedua kalinya, Ollie mencoba mengambil tas nya. Namun dengan tanpa perasaan lelaki itu tiba-tiba melemparnya hingga terjatuh di jarak 10 meteran dari tempat mereka berdiri sekarang. Tanpa menghiraukan perasaan Ollie, lelaki itu mencoba untuk pergi dari tempat itu.

Namun Ollie menghalangi niatnya, ia mendorong bahu lelaki itu dengan tatapan judes sejudes-judesnya.

“Gue itung sampe 5, kalo loe gak ngambil, loe bakal dapet masalah! 1...2...3...”
“Sorry, waktu gue gak banyak buat ngeladenin lo.” Mendengar balasan menyakitkan yang terlontar dari mulut lelaki itu, perasaan Ollie kini jadi gak beraturan. Pengen rasanya menempeleng, nampar, tendang, jambak, bahkan cekik sekalipun hingga dia mati, lalu memotong-motong tubuhnya menjadi 1 lusin bagian per karung.

Tangan Ollie yang menggenggam keras siap untuk mendarat di muka lelaki itu. Sabar....sabar.....hanya kata-kata itu yang mau ia pikirkan di kepalaya. Apa daya lah, untuk orang yang sensitif seperti Ollie, susah untuk mengatasinya dengan menggunakan kepala dingin.
Lelaki itu mencoba meninggalkan tempat itu kembali untuk kedua kalinya. Nggak penting baginya merasakan apa yang dirasakan Ollie sekarang. Baru saja berjalan 4 langkah, tiba-tiba Ollie membalikkan tubuhnya dan langsung menarik kerah baju bagian belakang lelaki itu. Lantas lelaki itu juga terpaksa membalikkan tubuhnya.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Ollie yang makin Panas, refleks menerbangkan sebuah tinju yang kemudian dilandaskan di muka sang lelaki.

BUKK

Betapa besarnya tenaga pukulan Ollie. Terbukti, walau hanya sekali pukulan, tapi mampu membuat orang yang dipukul tergelepar-gelepar di atas aspal (bukan karna kepanasan, melainkan karna kesakitan).

Itu lah yang dialami lelaki tadi, sambil memegang hidung yang sepertinya patah atau remuk atau.. apa sajalah, dia berguling-guling. Gak tau setan apa yang berada di dekat Ollie, pokoknya setan itu membuat Ollie ingin menonjok lelaki itu untuk kedua kalinya saat pertama kali melihat darah segar yang keluar dari lubang hidung korban.

Ollie belutut di samping korban, lalu kembali mengepalkan tangannya di atas kepala korban yang masih memegang hidungnya. Baru saja ingin menjatuhkan tangannya, tiba-tiba....

“OLLIE.......!!!!!!!”, terdengar suara perempuan, perempuan cantik nan tinggi dan putih me-manggilnya dari kejauhan. Iren namanya, dia adalah sahabat Ollie dari TK-kuliah sekarang. Mereka tetanggaan, dia juga tetangga Joni, walaupun sekolahnya tidak pernah sama.

“Iren!”, panggilan Iren tadi sedikit telah menyadarkan Ollie atas perbuatan yang baru saja dilakukannya. Dia mata untuk melihat sekelilingnya, yang kini terlihat telah dipadati banyak orang, dan sepertinya mereka berniat untuk menyaksikan pertunjukan SMACK DOWN yang di lancarkan oleh Ollie. “Astagfirullahalazim.”

Iren berlari mendekati Ollie

“Gila lo lie! Baru pertama kali masuk aja, udah belagu!”, Iren sedikit mengomeli Ollie. “Sorry yaa... temen gue emang kayak gini, sensitif banget, gak bisa nyelesain masalah secara baik-baik!”
Lelaki itu malah membalas permintaan maaf Iren dengan dingin. Dia menatap sinis Iren dan Ollie, lalu langsung pergi meninggalkan tempat itu (tentu saja dengan tangannya yang masih memegang hidung). Para penonton pun dengan serentak membubarkan diri.

“Udah Lie, pergi yuk. Tuh cowok emang ganteng, tapi nyolot banget.”
“Tapi kira-kira dia mau maafin gue gak yah? Sumpah khilaf banget gue”, Ollie bertanya-tanya sambil menatap kepergian lelaki tadi yang udah mengeluari area kampus sambil mengendarai sebuah motor vespa keren berwarna coklat kombinasi merah dengan banyak stiker-stiker unik di body nya.
“Peduli amat, mending ketemu lagi. Orang dikampus ini kan bukan cuma lo sama dia doang. Udah yuk... telat nih!”, Iren langsung menarik tangan Ollie. Ollie yang masih dalam keadaan sadar gak sadar, bengong dan hampir melupakan sesuatu.
“Oh...iya, tas gue!”

Tas malang itu terlihat masih tergeletak lemas dengan benyak cap kaki di sekitarnya. Ollie menyadari kalau tas itu adalah korban amukan massa yang tadi melihatnya melakukan tindak kejahatan.

***

Akhirnya selesai juga pengarahan dari senior-senior Ollie dan Iren. Kira-kira lusa depan, para junior-junior yang baru masuk di UPB, khususnya yang mengambil program studi Teknik Sipil, akan menjalani ospek.

Ollie dan Iren keluar dari tempat perkumpulan dengan tampang yang lesu. Apa lagi Ollie yang udah gak jelas naguk-ngaduk mukanya.

“Hua............h! Akhirnya, selesai juga deh. Hua.....hmp”, Ollie berkata malas sambil menguap lebar.
“Woi, bau’! Jangan lebar-lebar!”, omel Iren serentak menutup mulut Ollie yang makin menjadi nguapanya.
“Ngantuk nih, biasanya jam segini gue udah buka kamar.”, Ollie melihat jam tangan G-SHOCK abu-abunya yang di beli seharga 10.000-an ditukang loak, dengan diberi sedikit fariasi blink-blink sendiri (ngapain mahal-mahal kalo masih bisa dimodifikasi).
“Jam segini Lie, ini kan masih jam 8, masa jam segini lo udah tidur?”
“Yah..... serah apa kata lo dah.” Ollie berkata. “Omongan senior-senior tadi kagak ada yang guna, basa-basi abis! Makanya gue bete.”
“Ssssst, jangan kenceng-kenceng. Kalo kedengeran yang mati bukan lo doang!”, Iren hampir mau ngebekeb mulut Ollie, untung aja Ollie langsung ngambil tindakan dengan menepis tangan Iren.

Ollie yang nggak peduli mau dimatiin sama senior dengan cara apapun kalo ngedenger keluhannya itu, tiba-tiba terpana dengan sosok lelaki yang duduk di sebelah pohon, sedang membolak-balikkan sebuah proposal tentang acara yang akan dilaksanakan saat ospek nanti.

“Eh lo liat deh, cowok disana, yang lagi sendiri.”, Ollie menunjukan lelaki tersebut kepada Iren. “Dari sekian banyak senior yang ngomong , Cuma dia yang paling to the point dan jelas.”
“Oh dia, Nandy namanya. Dia katanya ketua senat fakultas kita lho.”
“Hah.. Nandy, lo kenal gitu?”
“Temen sekelas kakak gue dulu waktu SMA di Bandung. Gak teralu temenan deket sih. Dia pernah mampir ke kos-an waktu gue lagi nengok kakak gue. Gue kenal dia juga kebetulan, malah mungkin dia gak kenal gue. Keliatannya sih baik, dan pengetahuannya luas, tapi kekuperannya itu yang bikin dia jarang punya temen.”

Ollie makin dalam melihat cowok ternyata memiliki nama Nandy itu. Tiba-tiba saja Nandy mendongak, melihat kearah Ollie dan Iren, yang seakan tau kalo dia dari tadi jadi bahan curi-curi pandang.

“Oh my God, ayo kita pulang!”, Ollie mempercepat jalannya, karna malu pengintipan secara diam-diamnya ternyata tak telalu sukses.

***

Sampai juga akhirnya di rumah yang akan menjadi tempat istirahat Ollie selama dia masih belum di nyatakan D.O(Drop Out) dari kampusnya.

Jam tangan Ollie sudah menunjukkan pukul 8.46. Biasanya kalo udah segini Ollie blom pulang, pasti dia udah di kunci’in dari luar sama mamah, dan boleh masuk ketika hari telah berganti. Untungnya ini rumah nenek. Lagi pula Ollie kan punya alasan yang tepat untuk membela dirinya.

“Ini tempat kos punya nenek loe Lie? Gede banget, rumahnya banyak lagi.”, tanya Iren yang baru aja nganterin Ollie pulang make mobil VW kodok tua yang telah berumur puluhan tahun, warisan dari kakek tercintanya.
“Iya lah. Yang di sebelah kiri rumah nenek gue, sedangkan yang kanan tempat kos-nya. Rumah yang cewek sama yang cowok sengaja dipisah. Tempatnya enak loh. Makanya, loe ngekos di sini dong!” Ollie sambil menuruni mobil.
“Promosi nih ye..!!!”
“I...h, bukan gitu, kan kita jadi deketan lagi.” Ollie sedikit melencengkan maksud hatinya yang ingin menghindari kebosanan. “Lo berani gak pulang sendirian?”
“Oh ya Lie, masalah cowok yang nabrak loe tadi, kalo loe tiba-tiba ketemu dia, loe mau ngapain? Cowoknya ganteng loh, siapa tau baik.”
“Mau loe apa? Gue gak kepikiran sampe sejauh itu tuh. Kan loe yang bilang sendiri, dunia ini tuh gak sekecil yang kita bayangin.
“Siapa tau aja itu jodoh lu. Itung-itung penggantinya...” Suara Iren mengecil dan enggan untuk berkomentar lebih lanjut lagi, melihat kepala Ollie yang mulai menunduk. “Aduh Lie, gue keceplosan, yang tadi gak usah di inget lagi ya..!”
“...”

Tak ada sepatah katapun yang keluar lagi dari mulut bawel mereka. Iren bener-bener gak bisa maafin dirinya. Telmi-telmi-telmi...

“Lie.. loe gak pa-pa kan?”
Beberapa detik kemudian, Ollie juga masih belum ngomong, dan itu membuat Iren jadi semakin merasa bersalah.
“Gak pa-pa kok.” Akhirnya Ollie menyuarakan pendapatnya.
“Tapi loe gak marah sama gue kan?”
“Ngapain marah? Gak ada untungnya tau. Lagi pula gue emang niat buat ngelupain dia..”

Hati Iren sedikit tenang. Tapi tetap saja merasa bersalah atas perkataan semena-menanya tadi. Iren melambaikan tangannya ke Ollie karna sekarang dia akan kembali ke tempat kosnya. Ollie pun membalas lambaian tangannya itu dengan senyuman yang terlihat di paksa.

Setelah memastikan mobil Iren bener-bener udah jauh, Ollie dengan lunglai memasuki pagar rumah. Yang ada di pikirannya kini hanya Joni, namun Ollie tak mau larut dalam kesedihan terus menerus. Ollie udah membulatkan hatinya untuk menghapus nama Joni dari daftar nama-nama orang yang dia kenal. Dia gak mau jadi kayak gini Cuma gara-gara orang yang bernama Joni.

Ollie masih berjalan lunglai, kini dia mendekati rumah. Jalannya mendadak terhenti seketika ia menemukan seorang perempuan sedang duduk tepat di sebelah tempat kos wanita. Udah jam segini, kalo bukan kuntilanak, ya.. paling pocong yang berkeliaran. Entahlah itu manusia atau bukan, tapi dia menangis. Seharusnya raga Ollie akan berlari dan segera masuk ke dalam rumah, tapi hati Ollie yang mengatakan agar dia berlari dan segera mengenal wanita itu.

Ollie menyodorkan tangannya di depan muka wanita itu yang tertutupi oleh kucekan jari. Wanita itu membuka matanya melihat tangan Ollie, sejenak dia berhenti menangis. Lalu pandangannya berubah ke arah mata Ollie seolah ber-tanya ‘siapa ya.?’

“Ollie, aku cucu dari yang punya kos ini.” Katanya memperkenalkan diri.

Tangan Ollie segera di gapai-nya. Mereka berjabat tangan. “Filsa.” Suaranya masih senyap sekali, tentu saja dengan mukanya yang sangat merah dan di penuhi air mata. Filsa, gadis yang berumur kira-kira 19-20 tahun ini.....

Ternyata manusia.

“Mbak Filsa kenapa? Kok nangis gini?”

Wanita bernama Filsa itu tak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya seakan meratapi nasib yang dia terima. Tiba-tiba ia menatap mata Ollie dan memberikkan senyuman tipis kearahnya. “Gak kenapa-napa kok.”

Ollie mengerutkan dahinya. “Cerita aja kali mbak.”

“Kalo aku cerita, emangnya kamu bisa bantu?”
“Aku gak tau, tapi setidaknya mbak bisa ngeluarin isi hati mbak. Kalo di pendem rasanya lebih sakit lho.” Ollie menyampaikan salah satu pesan moral yang dia peroleh dari nasihat nya Iren. Berkat nasihat nya itu, Iren sukses membuat Ollie menjadi orang yang gampang menangis.
Filsa kembali tersenyum, tapi mukanya tak menghadap Ollie. Mungkin ini senyuman untuk kisahnya. “Aku baru ditolak cowok.”

Damn...

Pandangan Ollie kosong, bibirnya masih tersenyum. Rasa penasaranya tadi menjadi sedikit kecewa. Istimewa, mengapa cewek jaman sekarang itu menganggap ditolak cowok itu menjadi sesuatu yang istimewa? Salah sendiri, gak semestinya cewek yang nembak cowok.

“Aku udah tertarik sama dia sejak tahun kemarin. Dia membuat hatiku luluh, entah kenapa, mungkin ini yang namanya cinta.”

Respon Ollie masih seperti tadi, raut wajahnnya memberikan perintah kepada Filsa untuk memberikan alasan yang lebih spesifik lagi.

“Truss, setelah setahun, aku merasa udah gak kuat lagi nyimpen perasaan itu sendiri. Jadi... aku beraniin diri untuk nyatain rasa ku itu ke dia.”

Ollie masih cengok.

“Tampang loe nyebelin banget sih.” Filsa sedikit menoyol kepala Ollie. Mereka tersenyum bersama. Ollie memasang tampang seakan ingin mendengarkan lanjutan cerita tadi.
“Ternyata aku di tolak. Mungkin kalau Cuma di tolak doang, aku gak akan seisak ini. Dia anak kos ini juga, namanya Iwat, waktu itu di depan kamar kos dia..

“Iwat, loe tuh nyadar gak, selama ini, selama setahun ini tuh aku suka banget sama lo. Setiap gue ketemu lo, jantung gue slalu deg-deg-an. Dan mulai saat itu gue tau, kalo gue jatuh cinta sama lo.”
“Trus, maksud lo nyodorin bunga ini ke gue apa? Mau lo apa sih?”
“Gue mau lo ngebales isi perasaan gue ini.”
“Mmm.. emang menurut lo gue tuh gimana?”
“Lo itu cowok ter ganteng dan terbaik yang gue kenal.”
“Masa sih, menurut gue lo itu cewek ter murah yang berani-beraninya minta gue jadi pacar lo. Gue minta lo tancepin aja nih bunga di kebun bunga lo. Gue alergi.”


“Dia ngomong gitu ke aku. Sambil ngebanting pintu kamarnya.” Filsa terisak dan kembali menangis. “Selama ini dia itu baik banget sama aku, dia sering nyapa aku, nemenin aku jalan-jalan. Tapi...”

Ollie menggeram. Tentu saja hatinya kesal. Berani-beraninya dia ngomong gitu ke wanita. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Ollie berdiri dan berjalan ke depan pintu kos pria. Oww....

Duk-duk-duk. Belum ada jawaban 2 detik setelah ketukan pintu tangan Ollie. Duk-duk-duk. Masih hening. Duk-Brakk-brakk-barkk!!!

“Shut up, Dude..” suara dari dalam mulai menggelegar. Terlihat beberapa lelaki dengan postur tubuh yang cukup mengerikan, membuka pintu dan menatap Ollie sinis. “Oh.. cewek.”

Ollie celingukkan ke dalem. Jelas aja, tapi mana dia kenal cowok yang namanya Iwat itu. Tentunya Iwat sih tidak termasuk golongan lelaki berbadan kekar seperti di depannya itu. “Mana yang namanya Iwat?”
“Ngapain? Nyatain cinta? Apa minta pertanggung jawaban? Basi tau gak! Kenapa sih, gak ada bosen-bosenya cewek nyari Iwat.”
“Ya.. soalnya Iwat itu emang jagonya main cewek.”

Tiba-tiba terdengar suara bermuara di belakang para cowok. Serentak orang-orang yang ada di depan Ollie menyingkir seperti membuat jalan khusus untuk menatap postur sang Iwat.
Terlihat lelaki tinggi berkulit sawo matang, bermata tajam melirik Ollie, dan berhidung..... ‘di hansaplast’.

“Here.. I-W-A-T.” Dia mendekat, entah kenapa tubuh Ollie jadi gemeteran. Firasat Ollie menandakan yang gak enak.

Semakin dekat, langkah Iwat makin lambat. Sampai akhirnya kedua mata mereka bertatapan sangat keras. Tubuh Ollie terasa lemas, lemas sekali. Dia tidak menduga seseorang yang berada di hadapannya sekarang. Begitu pula di pihak orang itu. Kedua pihak terdiam. Sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi (berlari untuk Ollie) meninggalkan kedudukannya masing-masing. Tanpa mengeluarkan suara yang sudah berada di ujung lidah mereka.

“Ohh shit!!” Ollie kelagapan kemudian menubruk pintu rumah nenek.

***
Ollie menelpon Iren malam sekali. Setelah kejadian tadi di luar, di butuh waktu untuk merenung dahulu, baru waktu untuk menghibur dirinya. Siapa sangka, orang yang mencari masalah dengan Ollie di kampus, ternyata tinggal di kos nenek nya.

“His name’s Iwat, Ren.. Iwat.. dia sekarang tinggal di kos nenek gue.”, Ollie ngobrol dengan Iren lewat HPnya.

Dengan gaya sok pusingnya, dia muter-muterin kamar yang kini menjadi tempat untuk istirahat. Nuansa ‘jadul’ menyelimuti aura kamar itu. Cat berwarna putih kelam dengan hiasan sarang laba-laba di setiap sudut plafon. Yang membuat Ollie merasa sedikit sesek napas berada di dalamnya.

Tapi tidak untuk saat ini. Karna dia masih memikirkan bagaimana cara untuk menahan malu dan meminta maaf kepada Iwat. Apa lagi sekarang mereka satu kawasan.

“Iwat, Iwat siapa?”, Iren minta penjelasan yang lengkap dari Ollie atas omongannya yang terlalu to the point.
“Adu....h itu loh.. laki-laki yang gue tonjok tadi pagi itu ternyata namanya Iwat.”
“Sumpe lo... wa.... dream comes true dong?”
“Monyang lu dream comes true! Siapa yang mimpiin dia.”

Ollie duduk di atas hamparan karpet dan menyandarkan tubuhnya di lemari baju, sehingga sedikit menghasilkan bunyi ‘duk’.

“Perasaan gue ternyata bener, lo itu keiket tali jodoh ama dia.”
“Dan ternyata perasaan gue itu bener juga, kalo ternyata lo itu bukan paranormal yang handal.”
“Gue emang gak punya keturunan paranormal.”
“Dan gue gak punya tali yang bisa ngiket jodoh gue ama dia.”
Hening..
“Oke Oke gue nyerah, akal lo itu gak mungkin gue tandingin soal rantai-merantai kalimat orang.”
“Ini bukan masalah merantai kalimat, Ren, jodoh itu tidak hanya memper-masalahkan beberapa kali tatapan mata, tapi eratnya ikatan hati. Lagi pula gue masih yakin, tali yang ngiket hati gue sama hati Joni, masih kesimpul rapih.”
“What do you think? Baru aja tadi malem lo mau ngelupain Joni?” Ollie mengetahui kalo di sebrang sana pasti Iren sedang marah. “Maaf Lie, tapi gue juga gak kuat ngeliat lo terus-terusan kesiksa karna nunggu Joni. Kalo dia emang bukan jodoh loe? Dan lebihnya lagi, kalo dia udah ngeduain lo? Lo bisa gila.” Terdengar suara Iren sedang menggebrak meja. “Tapi kalo dari sekarang lo udah berusaha ngelupain dia, lo akan lebih Enjoy ngehadapin apa yang akan terjadi besok.”

Ollie terdiam selama beberapa detik. Dia nggak bisa berkalimat lagi. pikirannya kemana-mana kini. Dia hanya mengharap Iren yang duluan mengakhiri teleponnya.

“Ya udah lah, gue ngerti perasaan lo. Udah ya Lie, terus jalani hari-hari mu berikutnya. Good night.”
“Night too..”

Baru saja Ollie ingin melempar kembali HP nya itu ke atas tempat tidur, tapi dering NOKIA Tones yang berarti ada SMS masuk tiba-tiba keluar dari HP nya.

“Siapa lagi sih nih?”

From = _ReGha
Woi kuntilanak! Enak banget yak lo, pergi kgk pake blng2 dulu! Iya deh gw tau, gw udh gak penting lg dlm hidup lo. Tp gw ini kan msh adek lo!

To = _ReGha
Gak ush sok dramatis gitu deh tuyul, gw lp. Lg pula lo udh tau kan, kalo hr ini gw bakal prg k Bandung. Jangan kngn, nanti gw sering k Jakarta deh. Salam aja yup buat ayah n’ mamah.

From = _ReGha
Bnr yak mbak, kalo perlu 1 minggu sekali!

To = _ReGha
oK deh, kalo lu mau bayar ‘ONGKOS JALANNYA’!!!

From = _ReGha
Kejem..

To = _Regha
Sekejem-kejemnya gue, jg msh kejeman lu tuh

From = _Regha
I’m not kidding

To = _Regha

Hngg tuiul, tp jgn tiap minggu dong, bisa mati pelan-pelan gw?


***

BAB II - Let’s Go....!!!

Siangpun tiba. Sudah saatnya Ollie pergi ke Bandung, ke rumah neneknya tepatnya.
“Saya...ng cepetan donk turun dari kamar! Lama banget, kita udah mau pergi nih.”, teriak mamahnya Ollie yang melongok ke lantai atas lewat tangga menunggu jawaban.
“Aduh tunggu donk, bawa barang sekamar gak bisa cukup satu menit.”, Ollie tergopoh-gopoh membawa bejibun barang di punggungnya sambil melewati tangga sempit rumahnya.

Setelah tinggal kurang lebih 4 anak tangga lagi untuk sampai ke lantai dasar, tiba-tiba tas koper terbesar dan terberat tentunya, nyangkut di sela-sela dinding dan tralis tangga. Aduh mati gue gak bisa gerak, begitulah suara dumelan hati Ollie yang tak tentu. Tanpa basa-basi lagi, Ollie langsung berteriak gak jelas mengharapkan sebuah pertolongan. “Wa...........hel.....p!!!.” teriaknya sok bule.

Teriakan mengguncang dunia tadi langsung menjadi perhatian sang ayah yang merasa sangat terganggu.

Gimana enggak, itu semua udah ngebuat kosentrasi ayahnya buyar saat sedang memecahkan teka-teki aneh yang di berikan oleh mamah. Itu adalah balasan untuk seorang ayah yang katanya tau segala hal.

“Aduh Ollie, Ayah kira kamu glinding, kalo cuma nyangkut doang, gak usah teriak dong!”

“Tapikan Ollie gak tau apa yang bakalan terjadi setelah nyangkut, Ollie gak bisa gerak, bisa aja nanti Ollie beneran glinding, atau malah terbang. Bahkan mati pun juga berkesempatan.”

Ayah Ollie tanpa bales ngomel lagi, langsung menarik tangan Ollie. Saking kencangnya tarikan ayah, sampe-sampe Ollie beneran terbang (hanya sesaat sebelum akhirnya jatuh kembali) langsung ke lantai bawah melewati empat anak tangga lainnya.

“Adu....H. Kalo gitu caranya mendingan Ollie nyangkut deh.”

“Lagian, bawa barang satu-satu aja kalee.. gak usah sekaligus satu kamar kamu bawa! Jadinya ginikan, kosentrasi ayah buat ngejawab pertanyaan mamah kamu tuh jadi ancur.”, omel ayah.

“Ayah gak bisa engertian banget sih. Aku itu cewek, inget cewek, biar gaya aku kayak anak cowok biasanya, tapi tenaga aku itu tenaga anak cewek normal. Mana bisa bolak-balik bawa barang berat naik turun tangga. Gak ada yang mau bantuin lagi.”

“Tapi kalo kayak gini terus, gimana mau mandiri?”

Ollie hanya diam terpaku menatap ayahnya yang lagi mengangkat-ngangkat tas koper terbesar dengan tatapan muka bertanya-tanya ini tas keselip bom atom kali ye...

“Kayaknya Ollie bener-bener belum siap deh tinggal sendirian di Bandung.”, Ollie menunduk menatap barang-barangnya yang akan ia bawa selalu di Bandung. Kemudian mengeluh dengan nada yang sangat mengharukan. Huhuhu...

Mendengar perkataan Ollie tadi, ayahnya jadi merasa bersalah. Dia menepuk punggung Ollie yang kemudian langsung pergi meninggalkannya. Dasarrrr.

“Jangan menyesal gitu ah. Udah bagus kamu bisa keterima di UPB (Universitas Pendidikan Bandung). Kamu kan termasuk orang yang beruntung. Padahal kamu di SMA kan gak pernah dapet rangking.”

“Ya... dan masih untung juga Ollie masih bisa kuliah. Gak usah ngeledek deh!”

“Lagi pula di Bandung kamu gak tinggal sendiri kok, kamu tinggal sama nenek kan? Disana juga ada Uwak Didi, Uwak Ning, sama Teh Tia . Soalnya mamah tau, kalo kamu ngekos, gimana mau nyuci baju sendiri, nyuci piring aja gak pernah bener.”, bujukan mamah Ollie mulai menyinggung hatinya pada kalimat-kalimat tertentu.

“Bagu....s!”

“Udah yuk kita keluar!”

Keluarga Ollie keluar dari rumah dengan segala persiapannya. Dengan keadaan yang masih tergopoh-gopoh membawa barang, Ollie dan ayahnya berjalan meuju mobil mereka untuk segera memasukkan barang ke dalamnya. Sedangkan mamah malah asik-asik ngobrol dengan mpok, pembatu rumah tangga mereka yang sudah kira-kira 14 tahun bekerja. Tua. Kempot. Item. Bau pete. Memang ciri khas pembantu lansia yang sudah ditakdirkan menjadi penerus Betawie.

“Mpok, nanti kalo Regha pulang, makanya suruh pesen aja, tapi jangan banyak-banyak, bayarnya pake uang dia aja dulu, nanti digantiin. Mpok juga jangan lupa minta, kalo mpok gak makan, gimana mau semangat jagain? Jangan ditinggal sendiri ya mpok takut ada knapa-knapa. Trus bilangin jangan berperilaku kayak anak kecil lagi, inget udah masuk kelas 2 SMP.”, perintah mamah panjang lebar agar tidak terjadi apa-apa dengan Rega, adik kandung Ollie.

“Maka itu, karna dia udah 2 SMP, mamah jangan terlalu manjain dia, orang Cuma ditinggal........mmm..........yah pokoknya gak nyampe seharilah.”, Ollie yang masih sibuk dengan barang-barang bawaannya, sedikit menyindir mamah.

“Diem kamu!”

“Iya deh bu, saya bakalan jagain ade 24 jam, non stop.”, janji mpok yang rasanya mustahil untuk terjadi karna mpok nggak akan bisa ninggalin tidur siang 2 jamnya ini. Mpok biasa memanggil ade untuk panggilan ke Regha, dan mbak untuk panggilan ke Ollie. “Tapi bu, saya bolehkan tidur siang, kali ini nggak nyampe 2 jam deh!”

“Ng.....gimana ya...?”, pikir mamah.

“Iya mpok, boleh lah, 3 jam juga nggak apa-apa.”, ayah menepuk bahu mamah. “Mamah nih kenapa sih?”

Ollie yang melihat ayahnya malah ikutan berbincang-bincang dan meninggalkan pekerjaannya membantu Ollie, malah komat kamit sendiri menahan sedikit rasa kesal di hatinya.

Ayah yang ngeliat Ollie sedang marah, lansung mendekati sambil membawa kembali barang yang tadi ditinggalnya, dan sedikit menahan tawa melihat mulut Ollie yang ngebuka tutup tanpa suara.

“Dah, ini barang terakhir kan?”, tanya ayah. “Udah masuk semua kan?”

“Masuk semua pret. Liat donk, barang-barang di belakang Ollie! Barang-barang yang udah kita masukin itu, baru 69.99%”

“Truz...truz.......truz nih barang mau di taro dimana?”

“Kamu tuh ngapain pake bawa 2 bantal + guling + bed cover segala? Ini nih, boneka segini banyak Cuma bisa menuhin-menuhin doank. Disana barang-barangnya lebih bagus n’ ber-modis. Blom liat sih, keluarga mereka itu modern banget. Bener bener bagus deh, rumah kita gak ada apa-apanya.”

Kalimat mamah tadi membawa bayangan Ollie ke suatu tempat yang bener-bener gedung dan otlet adanya. Beberapa orang berpakaian ala remaja jaman sekarang sedang mententeng banyak kantong belanjaan bertuliskan berbagai macam merk-merk toko ternama yang harganya jauh di atas standar orang biasa. Tempat itu adalah surga orang sukses atau yang kelebihan harta.

Ollie masih terbengong menganga. Contoh orang yang gak doyan shoping seperti Ollie, dijamin tidak akan betah tinggal di tempat seperti itu.

“Ollie...Ollie sayang. Jangan cengok gitu dong. Mulutnya nganga lagi. Nanti keluar ilernya. Ollie...woi hallow!”, mamah berusaha menyadarkan Ollie. “MAOLLIE..........!!!!!!!”

“Eh iya mah. Aku gak suka hidup dibayangi oleh orang-orang bermodis seperti mereka. Pasti mereka sombong.”

“Kamu kayak gak tau Bandung aja.”

“Aku tau, Bandung itu kan bener-bener pusat perbelanjaan. Karna itu..”

“Takut gak betah? Kok bisa? Gak selamanya Bandung seperti itu kok. Tergantung orangnya juga dong, gampang tau, menyesuaikan diri.”

“Kamu tuh, sok-sok an gak suka shoping.”, ayah menyela. “Udah-udah, cepetan masuk mobil! Kalian pikir ayah cuti kerja cuma buat puasin ngobrol gak penting kayak gini? Peralatan tidur ini gak usah dibawa, apa lagi boneka-bonekanya, cuma bisa menuhin doang. Mobil kita tuh bukan Patas AC.”

“Oke deh yah, tapi nggak untuk Blondy, Ollie nggak akan tenang kalo kalau gak ada yang nemenin Ollie tidur.”, Ollie membela boneka beruang kecil berbulu pirangnya yang sudah dia pelihara sejak masih SD. “Oh iya, ayah kalo ngambek tambah jelek lho!”

“Bodok. Are you ready Ollie?”

“Oh,”

“Hm...merantau ke Bandung, demi menggapai yang kau impikan.”

“Why not? Let’s go to Bandung!!!”, melemparkan kepalan tangan ke atas. Tak lupa Ollie mengecek HP nya. Tak ada satupun SMS apalagi miss call.

Apa dia bener-bener lupa?

***

Setelah 2 ½ jam lebih dalam perjalanan, akhirnya keluarga mereka sampai juga di Bandung. Kini nenek Ollie tinggal bersama keluarga kakak pertama mamahnya. Saat masuk, mereka segera disambut dengan jalanan yang memisahkan dua tempat, di sebelah kiri rumah nenek, dan di sebelah kanan 2 rumah yang menyewakan sejumlah kamar.

Karna halaman rumah yang terbilang sangat besar, nenek dan dibantu oleh yang lain sengaja membuka usaha dengan menawarkan jasa kamar kos. Karna letak yang cukup strategis alias dekat kemana-mana, dan suasananya yang nyaman, nggak salah kalau tempat kos ini ramai dengan anak-anak kuliahan dan sekolahan dari berbagai kota.

“Mah, dari dulu tempat kos punya nenek rame banget yah.”

“Iya dong, kan murah meriah.”

“Tapi tau dari mana kalo tempat ini yang murah meriah?”

“Dari mulut ke mulut.”

“Emangnya semua yang ngekos disini sodaraan?”

Suasana hening terjadi di dalam mobil. Ayah dan mamah saling bertatapan. Ollie yang masih dengan tampang penuh pertanyaan, mulai menyadari ke-lemotannya itu. “Hahaha..” tawa’an yang tak di sengaja keluar dari mulut Ollie.

“Ayah jadi bener-bener khawatir mau ninggalin kamu sendirian.”

Mobil mereka sudah diparkirkan di sebelah mobil milik kakaknya mamah yang juga tinggal disini. Semua turun dan bersiap masuk ke dalam rumah yang cukup besar bernuansa jaman Belanda dulu.

Rumah nenek memang sengaja di tempatkan agak jauh dari tempat kos, tempat menyimpan kendaraan mereka juga dibuat berbeda. Agar suasana hiruk-pikuk anak sekolah dan kuliahan tidak terlalu terasa, sehingga tidak mengganggu kenyamanan.

Tok-Tok

Suara ketukan tangan ayah di pintu diseratai dengan salam, “Assalamu-alaikum”. Ollie celingukkan memandang ke tempat kos. Udah kurang lebih 2 tahun Ollie sekeluarga nggak pernah mampir kesini, lebaran kemarin Ollie pulang kampung ke kampung ayahnya di Bangka.
Celingukkan Ollie yang entah sedang mencari apa, dihentikan sesaat setelah ada hentakkan lembut benda tumpul di bahunya. Segeralah dia membalikkan badan, ternyata tangan mamahnya yang sukses membuatnya kaget.

Saat membalikkan badan, sudah terlihat disana wanita yang kerap ia panggil Uwak. Istri dari kakak mamahnya Ollie ini memiliki nama Nining, tapi Ollie memanggilnya dengan sebutan Uwak atau Uwak Ning. Ollie segera mendekati Uwak Ning dan mencium tangannya sebagai tanda penghormatan.

“Ayuk atuh masuk, nenek aya ti dalem . Lagi ngurus barudak kos.” Mestinya logat bahasa Sundanya lebih dalem lagi, tapi karna penulis belum terlalu mahir, jadi sebisanya saja lah.

Semuanya masuk ke dalam melewati ruang tamu, kemudian disambut dengan ruang bebas atau ruang keluarga yang cukup luas. Disana terdapat nenek yang sepertinya sedang mengurus sejumlah anak kos yang ingin membayar iuran bulanan. Walaupun nenek sudah tua, tapi nenek masih rajin mengurus yang begituan.

Anak-anak itu segera pergi setelah selesai dengan urusannya. Tiba-tiba saja nenek yang melihat Ollie langsung melotot dan mendekatinya sambil berkata.. “Si Putri...” hampir setiap cucu perempuannya ia panggil seperti itu. Tapi itu hanya sebutan saja. Kalo manggilnya tetap pakai their real names.

Ollie mempercepat jalannya ke arah nenek. Dengan segera dia menubruk sambil melingkarkan kedua tangannya di tubuh nenek yang rasanya makin me-nipis. Maklumlah, kawula tua. Nggak kerasa umur nenek udah 75 tahun aja. Rasanya baru kemarin Ollie lari pagi bersama neneknya. Sekarang, boro-boro lari, jalan aja sering keseleo.

Ollie seneng banget bisa ketemu sama nenek tercintanya lagi.

Hubungan Ollie dan neneknya sangat teramat dekat. Bisa dibilang Ollie adalah cucu tersayang nenek. Sifat periang, manja dan cengeng Ollie yang mem-buat neneknya makin gemes.

Kadang kalo Ollie lagi kena marah sama mamah dan ayahnya, nenek selalu melindungi, walaupun ujung-ujungnya nenek juga ikut mengambil bagian untuk memarahi.

Semua sudah berkumpul di ruang TV dan mulai bersenda gurau ria. Termasuk nenek yang lagi asyik ngobrol dengan ayah. Ayah kadang-kadang suka ngerebut hari nya bersama nenek. Sehingga Ollie jadi merasa bosan dan ingin segera balik. Apa lagi Regha nggak ada disini, nggak ada orang lagi yang pantes untuk dia jaillin.

Makin lama Ollie makin bosen ngedengerin pembicaraan mereka yang nggak mungkin bisa dimengerti oleh nya. Ngomongin saudara yang baru nikah, menjalani pernikahan, perceraian, bahkan yang mati setelah bercerai.

Kadang mereka juga membahas soal pendidikan. Kalo lagi gini yang bikin Ollie tambah bete. Mereka membahas tentang pendidikan orang-orang yang dibilang sukses, akan sukses, dan sedang menuju kesuksesan. Apalagi orang tua Ollie yang terlalu membangga-banggakan Regha. Dia jauh lebih genius dari dirinya. Setiap pembagian raport Regha dan Ollie yang kebetulan hari nya tak terpaut jauh, Ollie selalu megurung diri di kamar, dan tak ingin berkomunikasi minimal 3 hari setelah raport mereka di serahkan. Seperti biasa, Regha selalu masuk 3 besar, dan kadang-kadang dapet juara. Sementara dirinya, paling tinggi hanya 13 besar, itu juga ketika dia berada di kelas yang riwayatnya kurang menyenangkan.

Ollie udah gak kuat lagi mendengar orang tuanya membangga-banggakan Regha. Apalagi sampai membandingkan mereka berdua. Ollie gak bisa nahan diri untuk marah bahkan mukulin adiknya. Maka sebab itu, dia hanya berusaha menenangkan diri dengan menangis sepuas-puasnya sambil mendengar radio kencang-kencang. Tradisi seperti itu sudah biasa terjadi setiap minimal 2 kali setahun.

Kembali ke keadaan di rumah nenek. Tangan Ollie yang juga udah ngerasa bosen, mulai iseng mencubit-cubit paha ayah di sebelah. Nggak ada respon yang berarti dari ayah selain mengusap pahanya. Ollie kembali mengulangi, sekedar memberi petunjuk bahwa anak gadisnya sedang nganggur. Semakin sering Ollie mencubit, Ollie malah kena omelan dari ayah.

Merasa tak ada kerjaan, akhirnya Ollie memutuskan untuk jalan-jalan ke-halaman sekitar rumah. Dia berjalan meninggalkan ruang TV.

“Ollie, katanya mau ke kampus, ayo.. udah jam setengah 2 lho!” baru saja bergerak 2 meter dari tempatnya duduk tadi, tiba-tiba seruan ayah yang terdengar menyebalkan otomatis menghentikan langkah selanjutnya. “Yuk say, nanti ayah yang naro barang-barang kamu ke kamar.”

Dia terlihat lesu, baru aja nyampe udah harus hang out lagi. Tapi ini wajib, this is her University program. Ollie memutarkan arah jalannya dan balik ke ruang TV untuk menyalami sekuruh isi rumah. Setelah itu dia kembali ke arah jalannya tadi sambil mengucapkan.. “Assalamualaikum.”
“Walalaikumsalam.”

***

BAB I - Ketika Cinta Berpisah [1]

Pagi ini tak ada bahagia. Rasanya suram sekali. Seharian Ollie memikirkan Joni. Apalagi yang harus ia perbuat untuk menahan Joni?

Tepat pada jam segini, pasti Joni sedang menunggu di luar. Tak berani memanggil karna takut justru bukan Ollie yang akan keluar. Joni cukup menunggu di dalam mobil. Ia membesarkan volume radio mobilnya tepat saat intro lagu Leaving On A Jetplane berkumandang. Kebetulan, ini adalah suara Justin Timberlake, Ollie ngefans berat sama penyanyi seksi ini.

All my bags are packed
I’m ready to go
I’m standing here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye

But the dawn is breaking, it’s early morn’
The taxi’s waiting, his blowing his horn
Already I’m so lonesome I could die

So kiss me and smile for me
Tell me that you’ll wait for me
Hold me like you’ll never let me go
I’m leaving on a jetplane
Don’t know when I’ll be back again
Oh babe I hate to go
I hate to go

...

Sampai akhirnya terlihat ada yang membuka pintu. Tak salah lagi, itu dia, Ollie, remaja berusia 17 tahun yang mempunyai sebuah hubungan khusus dengannya. Joni pun mengeluari mobil, mengendap-endap melalui semak-semak di pekarangan demi mendekati Ollie.

Ollie harus rela melepas Joni, kekasih SMA-nya yang akan segera pergi ke Amerika. Joni harus menuruti kemauan ayahnya untuk memenuhi beasiswa berkuliah disana. Mungkin berat untuk mereka berdua, harus berpisah dengan umur pacaran yang baru jalan 1 tahun. Apalagi kedua orang tua Ollie belum mengetahui tentang hubungan mereka.. Selama ini orang tua Ollie hanya menganggap Joni sebagai sahabat Regha, adik Ollie. Bahkan Regha sendiri pun belum mengetahui apa-apa. Memang Ollie sering terlihat berduaan dengan Joni saat Joni sedang mampir ke rumahnya sekedar bermain PS bersama Regha, namun tak sekalipun Regha mencurigai hubungan mereka berdua.

Cukup menyedihkan jika mengingat masa pacaran mereka yang tak terbilang mengasikkan. Waktu jalan mereka berdua, hanya sebatas di jalanan sekolah, itu juga sebelum Joni lulus SMA. Tentu, mereka tak punya banyak waktu untuk saling mengunjungi, apa lagi jalan bareng. Walaupun rumah mereka berdekatan, tapi jika terlalu dekat, bisa kena curigaan mamah Ollie yang belum merestui anaknya bermain yang namanya cinta-cintaan.

Mereka bertatapan mata sejenak, sebelum akhirnya..

“Kamu yakin mau pergi sekarang?” tanya Ollie. “Perasaan aku gak enak nih.” Selalu kata itu yang di ucapkan semenjak Ollie mengetahui bahwa Joni akan pergi.

“Tentu dong, ini udah bulat.” Joni memandangi Ollie yang mulai menundukkan kepala. “Nanti aku sering-sering ngehubungin deh. Dan, seandainya aku bisa ketemu sama Justin Timberlake, aku bakal minta foto dan tanda tangan aslinya. Kalo bisa, aku kenalin kamu ke dia.” Joni mulai menggurau. Dia kate Amerika Cuma segede daon kelor?!

“Ah kelewatan kamu, mana mungkin Justin...”

“Pasti ketemu Justin kok. Tenang aja lah. Udah yah, nanti aku kelewatan pesawat. Dah....”.

Ia pun memalingkan tubuhnya memunggungi Ollie seolah tak sanggup lagi melihat matanya, namun beruntung Ollie sempat meraih tanganya sebelum Joni berlari.. “Aku nggak enak badan nih.” Ollie mengusap-ngusap lehernya.

Joni mendekati Ollie dan memegang jidat nya. Tak ada yang berbeda dari suhu orang normal. Bahkan lebih terasa panas tangan Joni.

“Kamu sehat-sehat aja.”

“Aku sakit. Tenggorokan ku gak enak.”

Joni kembali memegang jidat Ollie. Sebentar, lalu melepasnya lagi. Dia menggelengkan kepalanya

“Ini nggak bisa di tunda. Aku harus pergi. Maafin aku Lie.”

Ollie tau, segimana rupa dia menipu, tetap saja Joni akan pergi. “Yaudah, good luck ya. Jangan lupa ngasih kabar kalo udah sampe.”

Joni, dengan tatapan hangat, sedikit mencium kening Ollie. “Ok baby, Bye...” Ia kembali berlari ketika melihat bayangan mama Ollie yang berjalan mendekat. Joni tidak sanggup lagi menatap wajah Ollie, dia tidak mau dikatain cengeng hanya karna tidak tahan membendung air mata.

Serentak setelah mobil Joni pergi, mama Ollie keluar. Dia celingukkan sejenak ke sekitar sebelum memandang anaknya yang bertatapan kosong.

“Ngomong sama siapa sih Lie?”

Tak ada respon yang diberikan Ollie. Tatapannya masih kosong. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Joni.

“Ollie.. Masa mamah didiemin?” Mama Ollie mulai mengambil tindakkan, ia menepuk pundak Ollie

“Eh mah, maaf, hhh tadi nanya apa ya?”

“Tadi kamu ngobrol sama siapa?”

Wajah Ollie mulai sumrigah. “Mmmm... tadi itu, ada orang yang mau nganter soto, tapi salah alamat. Jadi balik lagi. ” Semoga aja mamanya Ollie tidak berpikir yang bukan-bukan. “Sumpah, Ollie gak bo’ong kok.”

“Siapa juga yang mikir kamu bohong?” sebodoh ini kah mamahnya Ollie? “Tapi kira-kira, toko soto mana yang nganterin pesenannya pake mobil?”

“Baru mah. Jaman sekarang kan udah canggih. Emang benyak yang nganterin makanannya pake mobil. Pesawatpun ada. Sepedah mah udah ga jaman.”

“Baru. Kamu tau alamatnya? Pasti soto nya enak banget.”

Ollie terdiam, dia tidak konek dengan pertanyaan mamah yang terakhir. Dia kembali teringat Joni. “Amerika. Liat nanti!”

“Ha? Di Amerika?” mamah melotot.

***
Belakangan ini Ollie selalu ribet untuk tidur. Gak pernah bisa hilang bayang-bayang wajah Joni yang sekarang lagi mengadu nasibnya di Amerika sana demi memenuhi segala cita-cita. Selalu aja gak pernah bisa tenang kalo inget janjinya yang akan selalu ngabarin keadaannya sekarang.

Udah sekitar setahunan Joni pergi. Dan sudah sejak 5 bulan kemarin Joni gak pernah ngasih kabar lagi. Di telpon gak pernah bisa. Di e-mail gak pernah di jawab. Di SMS? Apalagi. Ternyata firasat Ollie waktu itu sedikit terjawab.

Di sana kamu lagi ngapain? Aku kangen! Ollie meninitikkan air mata yang kemudian pecah diatas kerumunan debu genteng rumah. Berhubung di rumah Ollie tak terdapat beranda, maka, untuk melihat bintang-bintang, harus naik ke atas genteng dulu melewati jendela kamarnya.

Bintang.. dalam suasana hati yang gundah maupun kesel, Ollie selalu menyempatkan diri menatap sambil berbincang-bincang sedikit pada bintang. Selain berdoa kepadaTuhan, Ollie juga sedikit memohon bantuan bintang-bintang. Apa lagi semenjak Joni tidak memberikan kabarnya, hampir setiap malam Ollie kesini. Ollie memohon agar Joni segera memberi kabar.

Sulit untuknya menerima kalo pada akhirnya mereka gak bisa bertemu lagi. Apa lagi mesti harus diduakan. Ollie akan selalu menunggu. Karna hatinya yang gak mungkin bisa lupa semua cerita-cerita indah. Harus tegar. Ollie mengusap air mata dan memaksa kan bibirnya untuk tersenyum kepada bintang, menerima semua yang telah dan yang akan terjadi.

Besok, Ollie akan pergi ke Bandung untuk mengakhiri masa SMA nya, dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dia akan berkuliah disalah satu Universitas di Bandung. Sesungguhnya Ollie ingin menyusul Joni. Tapi jalan beasiswa yang ia dambakan, tidak dapat terpenuhi. Nggak mungkin kalo Ollie harus merengek-rengek pada orangtuanya untuk diberi ongkos berkuliah di Amerika Serikat, menyusul Joni.

Apakah dia inget kalo Ollie akan pergi besok? Entahlah, pokoknya ke inginan Ollie untuk ngeliat dia saat pergi, pupus sudah. Udah lah, yang penting semoga aja besok dia ngucapin kalimat ‘Good Luck’ seperti yang diucapkannya saat dia akan pergi. Besok mereka pasti akan berbincang dengan riang. Meskipun hanya lewat sebuah Telepon Selullar.

‘Cinta sejati tidak akan kemana’. Kalimat itulah yang Ollie rekam setiap teringat kembali cinta Joni. Cinta sejati memang gak akan kemana, tapi kalo Joni bukan cinta sejati-nya, Ollie belum siap patah hati.

LuvU Forever My Prince : )

***