6/16/2009

BAB VIII - Pengkhianatan Ollie

(harap baca dari BAB I yaaa)

Dalam ruang kelas Iwat di kampus. Huh.

Sekali lagi ‘huh’. Kelas ini dipenuhi dengan aura ‘sok tau’ dari para mahasiswa ‘sok tau’ yang berprilaku ‘sok tau’ terhadap pertanyaan-pertanyaan kelas tinggi yang di ajukan oleh seorang dosen killer.

Dan always, Iwat yang duduk di belakang hanya mencoret-coret kertas menung-gu pertanyaan sang dosen yang sepertinya tak mungkin di berikan padanya, karna Iwat hanya menganggap pertanyaan itu akan lebih cocok jika diajukan kepada tukang PLN yang suka manjat-manjat tiang listrik dan rela mati ketubruk burung liar . Cukup, sudah cukup sudah Pak Almat (nama dosen, bukan mas-mas PLN) dipermalukannya dengan pendapat yang jauh berbeda. Dan malangnya, pendapat Iwat itu terbukti lebih cermat dari pada pendapatnya yang seketika mernunduk.

Mungkin kali ini Pak Almat lagi heppi-heppi, karna setiap jawaban yang mahasiswa persentasikan, selalu ia banggakan. Makanya dari tadi mahasiswa-mahasiswa malang ini jadi tampil sok tau. Pertanyaan dan jawaban seperti membandingkan langit dan bumi. Atau dalam arti kata, mereka selalu bilang ubur-ubur itu makan ikan hiu, padahal udah jelas kalo ubur-ubur itu makan cumi-cumi.

Dengan ditemani Dean yang kebetulan lagi sejadwal dengannya, Iwat memainkan permen karet di dalam mulutnya, membuat sebuah balon sederhana, dan tega memecah-kannya di muka Dean. Berulang kali dengan metode ‘reply..ok reply lagi’. Mereka berhenti dan ganti permainan.

“Den, lo tau cinta kan?” Iwat dengan tampang sumringah
“Hah, kaget gue tiba-tiba lo nanya cinta.”
“Mana mungkin ya lo tau cinta.”
“Cinta itu cewek cantik anak seni rupa, pasien terapi kepala yang sekarang mengalami kebotakan, kan?”
“Bukan, ini cinta asli, tresno-tresno (cinta dalam jowo)!”
“Tresno, itu nama ikan gue.”
“Oh iya, ikan lo umurnya berapa?”
“Kok jadi ngomongin ikan? Bukannya lo lagi nyari arti cinta?”

Iwat menarik napas panjang. Di kos dia slalu membodohi Ipul, di kampus dia nggak kalah sering dibodohi Dean. “Ok, intinya... sekarang...... gue ......lagi..... jatuh....... cinta.......... bok. Sama cewek...... bukan cowok.”

“AAAAAAAAAAAAApa.” Dean berteriak sekuat tenaga dan napasnya terhenti di akhir huruf. Dia mengambil napas lagi. “SUMPE LO LAGI JATUH CINTA? BUKANNYA LO BENCI BANGET SAMA CEWEK?”

Iwat enggan berkomentar lagi.....
Dean lebih-lebih....

Suasana di kelas sunyi....

Sangat sunyi.....

Hanya ada nafas kasar Iwat dan Dean.....
Hanya ada lirikan-lirikan tajam para makhluk yang ilfeel terhadap cinta.....

Sang dosen killer pun melangkah mendekat.....

Sunyi..... ‘Oh no....

10 detik kemudian, tentunya telah terjadi peristiwa menggenaskan disana. Dua mahasiswa edan tergelepar pasrah di koridor depan kelas. Bersiap-siap menerima panggilan dari sang dosen, untuk kemudian berserah diri pada Tuhan agar mampu pulang dengan memanggul sejuta tugas tambahan.

“Gue maklumin kebodohan lo yang ngebuat kita jadi kayak gini.” Iwat sok ber-jiwa besar, saat mereka berjalan meninggalkan ruang Pak Almat.

Dean menoyol kepala Iwat agak kencang ke bawah. “Masih untung kita baru di kasih tugas tambahan, dari pada D.O. Gua tuh udah berulang kali keluar masuk ruangan Dosen, Cuma gara-gara bikin gaduh di kelas.”

“Banyakan lo apa gua sih?” Iwat mempercepat jalannya menuruni 4 buah anak tangga. “Tugas tambahan yang lalu aja belum gua bikin tuh, malah gue udah lupa topik-nya apaan.” Yup, saatnya mengerjakan skripsi sepertinya terlalu cepet.
“Lo aneh sih, tiba-tiba bilang kalo lo lagi jatuh cinta. Untung bukan sama gue. Bisa meledak gue kalo kejadian.”
“Gue serius.” Iwat berhenti. Dean ikut berhenti. “Apa ada yang aneh kalo gue jatuh cinta?”
Tatapan Dean seperti memantulkan pertanyaan Iwat tadi, dan meminta Iwat untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
“Ok-ok, gue nyesel udah bilang kalo perempuan itu Cuma bisa nyusahin.” Iwat kem-bali berjalan “Tunggu-tunggu, kok cewek yang gue ledek, tapi lo yang ngambek, jangan-jangan lo merasa lagi.”
“Karna sampe sekarang gue masih nyadar kalo orang yang ngelahirin gue itu seorang perampuan.”

Mereka memilih untuk duduk berteduh di bawah pohon.

“Trus gimana soal cewek yang lo cinta tadi? Jangan lama-lama di pendem lho, kalo lo nggak mau nyesel nantinya.” Dean memulai kembali pembicaraan.
“Begitu-begitu.”
“Gimana begitu-begitu?”
“Ya begitu-begitu tuh begitu-begitu.” Tuh kan tambah bingung. “Lo tau kan ini first love gue! Gue punya rencana malam ini.”

***

From : Iwat Item
Ollie, malem ini lo mampir ke CheZZin ya!!! Kira2 jam ½ 10-an deh, abis gue manggung. Please.


Iren membaca inbox HP Ollie yang tertanda Iwat. Dia senyum-senyum bangga terhadap Ollie yang lebih dulu menyodorkan sms itu meminta pengertian lebih lanjut. Di dalam kamar kos Iren, sebuah teriakan kebanggaan berkumandang.

“YIAAAIII.... akhirnya sahabat gue ini nggak merana lagi.” Iren melempar HP Ollie ke kasur.
“Aaaaaargh. Gue minta pengertian. Maksud sms ini apa?” Ollie mengambil kembali HP nya.
“Lugu banget ya lo! Sampe bahasa gini aja nggak ngerti.”
“Ya.. emang gue lugu kok.”
“Lugu maksud gue itu ‘LUAR BIASA GUOBLOK’ one...ng!!”

Ollie menimpuk Iren dengan bantal. “Trussss.... trussss..”

“Itu maksudnya, dia ngajak lo kencan.” Iren memperjelas kata terakhir sambil menyentuh batang hidung Ollie. “Kencan-kencan... lo ngerti kan! Itu loh, dimana ada cewek dan cowok berduaan di sebuah tempat romantis dengan dandanan yang formal.”
Sejenak Ollie menengadahkan kepalanya ke langit-langit kamar. “Kencan? Ber-arti mesti ada kemben, dong??”

Iren tertawa.

“Oh my god!!! Gue belum siap ngadepin momment-momment kayak gini.” Ollie memegang kepalanya.

Iren terbahak.

“Lagi pula, daster aja gue nggak punya, gimana dress, apalagi yang berkemben!” Ollie menggeleng kepalanya.

Iren tertawa terbahak.

“Duh, gue gak bisa bayangin deh cewek cuek kayak gue mesti berdandan seolah orang yang kelebihan harta.” Ollie menepuk kepalanya.

Iren tertawa terbahak-bahak, hingga Ollie pun merasasudah cukup tega untuk menikamnya sekarang.

“Stop... okay, gue bakal dandanin lo supaya lo bisa pantes berdandan seperti.. siapa.. orang-orang yang kelebihan harta.” Iren dengan sempat merangkul Ollie sebelum ia benar-benar menikamnya. “Kita nggak perlu buang-buang duit ke salon apa lagi buat beli perlengkapannya. Gue bawa kemben punya kak Irty. Gak pernah lupa dong, persediaan siapa tau gue juga kebagian waktu kencan sama cowok. Untung gue punya kakak yang bercowok tajir. Jadi gue bisa sesuka minjem-minjem barang mahal dia, toh barang itu juga bukan punya dia kan.” Mungkin Iren sedikit menyinggung kebaikan hati Irty, kakak kandungnya, seorang karyawati swasta yang tengah berpacaran dengan anak, atau calon direktur utama di perusahan tempatnya bekerja.

“Lengkap dengan high heels?”
“Of course... high heels, pinter lo!”

Mati gue...
***

Malam bahagia di suasana yang sunyi. Alunan musik-musik klasik hangat menembus telinga. Sepasang high heels putih berusaha untuk meneruskan setiap langkahnya menembus gemulainya angin malamGeriknya masih menunjukan sebuah keawaman. Entah, mungkin ia belum pantas berdandan layaknya seorang putri. Berkali-kali ia mengeluh atas ketidak nyamanan yang tak berarti.

Ya.. dasar Ollie. Cewek cuek nan kumel yang jarang memperhatikan penampilan, kini disulap untuk ‘bisa’ menjadi primadona. Iwat, hari ini katanya sih dia yang mau ngajak kencan Ollie. Oke.. oke.. mungkin ini bukan kata Iwat, tapi kata Iren. Si calon dokter cinta yang bisa dibilang melebihi standar orang sok tau.

Ollie datang ke CheZZin didampingi Iren. Ada alasan tertentu juga kenapa Iren rela mengantar Ollie sampai ke CheZZin..... kali-kali cewek ngapelin pacar boleh juga kan? Dengan dandanan yang seadanya, Iren mencoba mempraktekan ajarannya cara menonjolkan ke anggunan wanita, pada Ollie.

Berusaha untuk stay beauty, Ollie masuk ke dunia CheZZin. Mereka menduduki tempat duduk yang tak jauh dari pintu keluar. Iren celingukan melihat sekitarnya, Ollie diam saja melihat sahabatnya yang sepertinya amat mengharapkan kehadiran seseorang.

“Ruben mana ya?” Iren masih celingukan.
“Kalo nggak janjian mana bisa ketemu.”
“Pasti ketemu lah, orang dia kerja disini.”
“Tempat ini Buesarr Iren, lagi pula siapa tau dia di cafe sebelah.”

Iren menghentikan pencariannya. Dia menatap HP untuk sekedar memastikan jam berapa sekarang. 09.14, angka-angka itulah yang tertera di sana.

“Ollie, sekarang jam sembilan seperempat, berarti suara piano ini Iwat yang mainin. Ya kan?”

Ollie diam, ia memperhatikan denting-denting piano yang mengalun.

“Mungkin.”
“Cie.. yang mau jadian!!”
“Ngomong apa sih lo? Siapa yang mau jadian.” Ollie memasang mimik wajah ‘gue cekek lo’. “Sssst! Tuh.” Ollie menunjukan matanya ke seseorang di belakang Iren yang berjalan mendekati mereka.

Iren mencoba memalingkan pandangannya ke belakang, sebelum akhirnya dua telapak tangan menutup kedua matanya. Dua detik Iren tak berkutik. Ollie cengingisan.

“Ruben, lepasin gak?” Iren memastikan seseorang yang iseng menyumpel mata-nya itu.

Tak lama kemudian, orang itu melepaskan tangannya. “Ya.. ketauan deh.” Ruben, yak tepat. Dia lah yang menyumpel mata Iren.

“Siapa sih yang gak kenal parfum melati kamu?” Iren meladeni pacarnya yang minta untuk di cipika-cipiki. “Kok kamu tau aku ada di sini?”
“Kontak batin, kita kan soul mate. Tiba-tiba aja aku ngerasa kangen dan mau ketemu kamu sekarang disini. Tepat di meja ini.” Ruben menduduki kursi sebelah Iren.
“Ehem-ehem. Gini ya kalo pacaran? Orang ketiga nya nggak di anggep.” Ollie sewot dengan sedikit sindirannya.
“Oh iya, kan ada Ollie...... ya....” Ruben memalingkan pandangannya menuju Ollie. Tatapannya kaku seketika melihat seseorang di depannya. Sepertinya kenal. Uuuh menakjubkan. Begitulah tanggapan hatinya. “Ollie?”
“Aduh tuh kan, Ruben aja sekaget ini. Tanggung jawab ya, Ren kalo nenek gue mendadak jantungan waktu gue balik nanti!” Ollie melirik Iren tajam. Penuh kebencian sementara.
“Mau ngapain sih? Kok dandanan lo jadi kayak emak gue?” Ruben tertawa sebelum akhirnya mendapat pandangan jitu dari Iren yang seakan berkata ‘itu hasil karya gue’. “Keren kok. wonderful baanget! Siapa sih yang bisa ngedandanin secantik ini?” Gombal Ruben, untuk Iren sebenarnya. Tapi sepertinya pipi Ollie yang lebih menyerupai tomat busuk.
“Ehemm.. ehemm.” Iren menjawab pertanyaan Ruben tadi (yang ‘mau ngapain’ bukan yang ‘cewek edan mana yang nyulap lo kayak gini ini’). “Ben, mumpung kita ketemu disini, langsung cabut aja yuk. Kamu udah selesai manggung bukan?”

Ruben dengan matanya yang muter-muter sok mikir dengan kalimat ‘mmmm’ yang biasanya lebih sering orang kluarin saat minta di sun oleh maminya. Yup, sama seperti perlakuan anjing galak lain bila melihat gaya seperti ini, dia akan membuat sang korban berteriak karna kekejamannya.

“Aaaaaaaaaaarghhh.”
“Gak usah banyak gaya deh. Sok sibuk banget sih lo!” Ollie belum melepaskan cubitannya di paha Ruben. Jangan aneh kalo tiba-tiba aja Ruben berniat memamerkan ukiran tangan Ollie di pahanya itu dengan blak-blak-an, dan minta segera dioleskan obat penawar rabies.
“Iren.... Iren.... tolong...” Dengan segala cara Ruben mencoba melepaskan cubitan Ollie. Sedetik setelah Ruben mengeluarkan air mata, akhirnya Ollie mengalah juga. “Aduh. Makin bengkak deh bisul gue. Lu kenapa sih Lie? Tempramental banget. Baru gaya gitu. Belum gaya manja gue.” Ruben berkata selayaknya perempuan yang baru di aniyaya suaminya.
“Hmm.. kalo lo sampe manja sama Iren di depan mata gue, bisa bolong tuh paha!” Sebuah telunjuk tega menyentil bisul di paha Ruben yang---tampaknya---makin membesar. Kembali dengan tampang judes sedikit sangarnya, Ollie, si anjing ganas, mengernyitkan dahinya ke arah Iren sambil menunjuk angka jam pada hp-nya.

Iren mengangguk dan menepuk pundak Ollie, kemudian ia berdiri, meraih tangan Ruben, dan hang out dari tempat itu. “Ok deh Lie, semoga berhasil kencan pertama-nya!” Iren melambaikan tangan sambil masih menyeret Ruben. Baru saja beberapa meter mereka melangkah, tiba-tiba Iren membalikkan tubuhnya. Melepaskan tangan Ruben dan berlari ke arah Ollie, cepat. Dia melempar kunci mobilnya ke Ruben, menyuruh agar Ruben pergi duluan. Dia menyambar pundak Ollie dan mengangkatnya berdiri, dan ber-jalan menuju tempat lain.

Ollie yang gak tau apa-apa terpaksa mengikuti kemauan Iren. Dengan keadaannya yang ber-hak tinggi, mungkin sulit untuk melakukan pamberontakan. “Apaan sih Ren, lo kenapa?”

“Lo gak akan percaya sama yang tadi gue liat.” Iren berbisik di telinga Ollie. “Gue liat Justin di meja gak jauh dari meja kita. Dan dia kayak lagi ngliat lo gitu.”
“Justin, Justin siapa? Emang dia kenapa? Dia mau culik gue ya?”
“Iya kayaknya sih. Tapi, masasih seorang Justin Timberlake mau nyulik lo?”
Ollie menepuk punggung Iren yang sedang terkikik. “Ah elo, kerjaannya ngerjain gue mulu.”
“Udah, pokoknya sekarang lo SMS Iwat supaya cepetan dateng. Tenang Lie, pokoknya lo bakal lebih pewe di deket panggung. Ah udah ya, gue cabut dulu. Setelah ini, pokoknya lo harus langsung ngehubungin Iwat. Oke.. cahyo!” Iren pergi

Ollie merasa dia duduk lebih dekat ke panggung. Entahlah apa yang sedang Iren rencanakan. Tapi, semestinya, jam segini Iwat sudah di atas panggung sedang memain-kan piano-nya. Kok sekarang orangnya gak ada?

Ollie segera mengangkat HP-nya.

To : Iwat Item
Gw udah nyampe d CheZZin dr tadi, lo dimana?


SMS itu terkirim, dan report menyatakan bahwa SMS itu telah sampai. Entah apakah Iwat segera membacanya, atau mungkin HP-nya tertinggal di kamar kos dan tak sengaja dibaca Ipul yang kemudian menghampirinya di CheZZin. Dengan harap-harap cemas Ollie menanti balasan. ½ menit setelah SMS itu terkirim, tiba-tiba musik berhenti mengalun. Ya, lagu tadi emang udah abis, jadi gak ada sesuatu yang istimewa dari kejadian ini. Hilangnya suara musik malah membuat Ollie makin gelisah.

Di tengah kegelisahan Ollie, dengan lembut sebuah lagu kembali di mainkan dengan suara piano. Gak salah lagi, ini adalah lagu yang sukses membuat hati Ollie melayang dan nyaman. Ollie merasa mengerti dengan alasan mengalunnya lagu ini.

Untuk aku.....

Ollie membawa matanya untuk menatap sang pianis. Iwat terlihat rapih dengan busana yang di kenakannya. Tak seperti biasanya yang hanya mengenakan sweater, sneakers, dan kupluk kesayangannya. Walaupun masih mengenakan blue jeans, tapi setidaknya ia sekarang berkemeja. Ini kali pertamanya ia menatap secara langsung ketika Iwat sedang memainkan piano. Benar-benar berkesan.

Merasakan hadirnya sebuah getaran saat ia melihat seseorang yang memainkan piano itu. Ollie benar-benar merasa semua ini Iwat lakukan semata hanya untuk dirinya.


Semua pun bertepuk tangan sesaat setelah Iwat mengakhiri pertunjukannya. Iwat menuruni panggung dan melangkah mendekati Ollie. Mata mereka bertatapan penuh makna. Iwat melayangkan senyum manisnya. Ollie menerima senyuman itu dan segera memasukannya dalam hati. Dalem banget.

“Hei Wat. Ada apa?” Ollie bertanya, pelan. Sungguh pelan sampai-sampai Iwat pun tak mendengar apa yang telah ia ucapkan.

Ia masih menatap mata Ollie. “Kamu cantik banget malem ini.” Terpesona lah mereka ke dalam suatu suasana. Dimana saatnya saling memuji dan melempar senyuman.

Musik dansa berkumandang dari arah panggung. Saatnya pesta. Semua peng-unjung di persilahkan berdiri untuk memeriahkan pesta dansa malam hari ini. Pesta dansa di CheZZin memang rutin dilakukan setiap malam minggu lepas jam 22.00. Semua mulai melenggangkan tariannya. Begitu anggun sehingga membuat Ollie seperti orang tersasar yang gak tau adat istiadat dari tempat tinggalnya. Dia nggak bisa dansa, apa lagi yang bernada slow motion. Satu-satunya gaya dansa yang ia punya hanyalah tari bali (itu namanya bukan dansa, tapi tarian tradisional).

Cukup kaget juga saat tiba-tiba Iwat menggenggam tangan, dan melingkarkan tangannya di pinggul Ollie. Ia mengajak Ollie berdansa perlahan-lahan. Tak mahir, jelas. Bukan tak mahir lagi, tapi tak bisa. Langkah kakinya tak senada dengan kaki Iwat. Ia seperti di pontang-panting, lempar kesini, lempar kesana. Tak jarang hak nya menginjak kaki Iwat.

“Iwat, pelan-pelan! Gue gak bisa dansa, kalo jatuh kan gue yang malu. Lo sih bisa aja pura-pura gak kenal.”
“Kamu gak akan jatuh, ada aku yang megang kamu.” Iwat memindahkan tangan-nya dari pinggul meuju punggung Ollie. Menjaga keseimbangan tubuh Ollie. “Tenang aja, kita akan berkuasa di lantai dansa ini.” Iwat mendesah di leher Ollie.

Ollie menatap sekelilingnya. Semua orang berdansa sesuai anjuran musik, ada beberapa, bahkan banyak dari mereka yang berciuman dengan pasangannya. Coba Joni ada disini, mungkin itulah yang ingin dia minta, disini dan menciumnya. Ollie memandang Iwat, ia tak boleh berharap Iwat akan melakukannya.

Mereka tebawa dalam suasana malam ini. Begitu romantis. Iwat perlahan-lahan mengajarkan Ollie berdansa. Sedikit demi sedikit, para pengunjung mulai memper-hatikan mereka berdua. Dansa yang Iwat ajarkan sudah memasuki tahap profesional. Ollie pun mulai mengerti dan hafal langkah-langkah yang di ajarkan Iwat.

Mereka berdua sudah menjadi penguasa lantai dansa malam ini.

Seharusnya Ollie merasa bangga malam ini. Tapi entah kenapa, malam ini ia malah makin merasa terhina. Disini ia sedang hanyut dalam suasana dansa bersama seorang laki-laki. Padahal di tempat lain, ia sudah memiliki kekasih. Ia tak pernah tenang menghadapi setiap detik yang berlalu dalam rangkulan Iwat.

Apalagi saat Iwat menatap dalam matanya. Ada sorot lain yang terpancar, sorot yang membuat Ollie tidak kuat untuk lebih lama melihatnya.

Namun Iwat memaksa Ollie untuk terus memandangnya. Ollie berharap ini bukanlah hipnotis yang di lakukan oleh maling-maling biasanya. Tentu bukan. Iwat bukan maling. Dia hanya seorang lelaki spesial yang berani memegang pipi Ollie lembut, begitu lembut.

Ollie tidak kuat melawan kenyataan. Ia tidak bisa menampar Iwat lagi sekarang, meskipun ini terlalu kurang ajar. Matanya terpejam ketika ia merasakan wajahnya melayang dengan sentuhan lembut tangan Iwat di pipinya.
.......
Ollie sadar dengan apa yang sedang ia lewati ini.
Ollie menjerit dalam hati. Ia sudah tak sanggup membendung air matanya.
Saat ia merasakan ada kelembutan membelai bibirnya. Kelembutan yang diberikan bibir Iwat.
Dan cinta itu memaksa menerobos menyusup di antara dua hati yang masih dilanda ketidak pastian. Mungkinkah semua itu telah terjawab mulai detik ini?

Sejak awal malam ini, Ollie merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Saat bertemu dengan Iwat, Ollie semakin takut dengan perasaannya.
Kenapa? Apa dia takut berkhianat? Apa dia takut jatuh cinta lagi?

Usai sudah pesta dansa hari ini. Semua orang kembali ke tempat duduknya mesing-masing. Beberapa orang memilih untuk langsung pulang meninggalkan cafe. Begitulah yang dilakukan Ollie dan Iwat. Setelah selesai, mereka langsung keluar pintu dan berencana segera pulang ke rumah. Ini udah terlalu malam. Bukan saatnya mereka pergi lagi ke tempat lain.

Iwat merangkul pundak Ollie yang kelelahan. Ollie pun memberanikan diri untuk bersandaran di dada Iwat, ketika tiba-tiba seseorang menyambut kemesraan mereka dari belakang.

“Woi!!! Gokil, lo berdua ngapain main rangkul-rangkulan.” Ruben dengan tampang cerianya membuat Ollie menjadi salting dan segera mendorong Iwat agar menjauh dari tubuhnya. “Ow ‘ow, kayaknya gue ketinggalan berita nih!”
“Berita? Apaan sih Ruben, gosip aja.” Ollie mencibir.
“Lagian mesra banget. Lo mau pulang ya Lie, mau gue anterin? Bentar lagi supir gue dateng pake BMW.” Ruben melirik ke arah Iwat dengan harapan Iwat akan menghajarnya saat kalimat terakhir terucap dari mulutnya. “Ok, gue tau lo pasti nolak, kan udah ada Iwat.

Heh Wat, jagain nih anak bae-bae. Sayangin dia kaya gadis normal pada umumnya. Ok!” Ruben berlalu meninggalkan mereka sebelum Ollie merasa baru saja disindir.

Sepertinya Ollie sedang tidak bersemangat untuk berburu sekarang. Dia tidak peduli sedang berlari kemana Ruben. Ollie melanjutkan langkahnya, mendahului Iwat yang sejak tadi tidak berkata-kata. Iwat mengikutinya dari belakang.

Beberapa saat kemudian, Ollie berhenti di samping sebuah Vespa unik milik Iwat. Tepat saat sebuah BMW hitam melintas di jalanan.
Huh, Jemputan Ruben deteng.’ Pikirnya. Dia sedang termangu saat Iwat tiba-tiba ikut-ikutan berdiri disampingnya.

“Kenapa nggak terima aja ajakan Ruben tadi, naik BMW?” Iwat memecah kesunyian yang tadi ia timbulkan.
“Kalo bener-bener diajak sih ya gue mau aja. Jauh lebih asyik-kan? Tapi niat dia ngajak gue tadi kan Cuma buat ngejek.” Ollie duduk di jok Vespa sehingga menimbulkan bunyi ‘Nyiiit’.

Sedangkan Iwat duduk di motor bebek seberang vespanya. Motor bebek berwarna silver milik salah satu pegawai cafe ini. “Jadi, mau pulang naik apa? Vespa gue? Apa nggak ribet apa? Lo kan pake dress.”

“Ya, nggak lah, mana mungkin gue nekat naek vespa dengan pakaian kayak gini.”
“Oh, yaudah gue panggilin taksi dulu ya.” Iwat bangkit dan bergegas pergi, sebelum Ollie menyambar tangannya, dan mencengkram ekstra kuat. Menyuruh Iwat untuk kembali ke tempatnya. “Etss, apaan nih?” Iwat terduduk kembali di motor bebek silver. Berkat dorongan Ollie, hampir saja Iwat menjatuhkan motor itu.

Ollie memandang mata Iwat dalam-dalam, hingga membuat suasana makin terasa mencekam. “Gue mau minta penjelasan sama lo.”
“Penjelasan apa?” Iwat berusaha menghindari, walaupun sesungguhnya ia me-ngerti apa yang Ollie maksud.
“Ah, nggak usah pura-pura lemot deh! Gue tau lo itu jenius, jadi pasti lo tau apa yang gue maksud tadi. Dari tadi lo juga udah mikirin soal itu kan? Gue minta lo ngejelasin kenapa semua itu mesti kejadian?”
“Kenapa itu semua mesti kejadian?! Lo kira itu pertanyaan yang adil buat gue. Lo ada di depan gue. Lo juga ngerasaain betapa tak terkendalinya kerja otak kita. Gue gak maksa lo buat berpasrah diri untuk apa yang bakal terjadi tadi. Kenapa? Apa masih harus gue jelasin pertanyaan yang semestinya dari tadi bisa lo jawab itu?” Iwat mengeluarkan bentakan-bentakan yang makin membuat Ollie merasa panas.
“Tapi gue masih punya harga diri!!” Ollie berdiri tegap sambil menunjuk mukanya. “Lo itu bukan siapa-siapa gue! Lo gak berhak ngerebut first kiss gue!!”
“Kalo lo masih punya harga diri, kenapa lo nggak nampar gue aja, yang jelas-jelas gue itu bukan siapa-siapa lo!?” Iwat ikut-ikutan berdiri dan menunjuk kasar muka Ollie.

Ollie memundurkan sedikit mukanya dengan maksud menghindari jari telunjuk Iwat. Ia sudah tak bisa berkata-kata lagi.

“Gue juga ngerasain apa yang lo rasain. Makanya gue berani ngelakuin itu!!” Iwat duduk kembali di jok motor bebek. Sedangkan Ollie masih terpaku di tempatnya. “Kalo lo mau jujur sama gue, sebenernya di hati lo itu ada cinta buat gue kan?”

Ollie memandang Iwat kaget. Ia meremas kepalan tangannya, seperti saat dia mau menonjok Iwat dulu. Malah sekarang lebih keras. Beberapa detik kemudian, kepalan itu makin melemas, hingga tak terasa lagi. Ollie luluh.

“Lo salah Wat, cinta gue itu udah jadi milik seseorang.” Tiba-tiba Ollie merasa Joni sedang merangkulnya dari samping. “Dan gue, masih teramat mencintai dia.”

Mata Iwat seperti berkaca-kaca saat melihat sinar mata Ollie yang berkeyakinan penuh. Ia memijat-mijat kepalanya yang mendadak menjadi migran. “Ok, sorry kalo gitu atas kesalah-pahamannya. Tapi lo nggak marah sama gue kan? Kita masih temenan kan?”

Tanpa menjawab pertanyaan Iwat tadi, Ollie berlari meninggalkannya ketika sesuatu terasa menyumbat kedua lubang hidungnya. Dia tak mau tahu apa yang dilakukan Iwat setelah ia pergi.

***
Dua pasangan yang sukses merebut kekuasaan lantai dansa tadi telah berpisah.

Setelah Ollie memutuskan untuk menumpangi sebuah taksi dari pada harus sempit-sempitan di atas vespa. Apalagi dengan keadaan hatinya yang lagi tak menentu.

Malam ini rasanya banyak hal yang janggal. Iwat menjadi lebih lembut dan romantis. Dia mau sabar mengajari Ollie berdansa. Padahal biasanya dia ogah-ogahan menghadapi cewek yang manja.

Ollie bersedia berpakaian super formal dengan bejibun bahan-bahan make up di mukanya. Tanpa memperhatikan motonya : ‘hiiiiii..!! Gue gak betah make gitu-gituan’. Dan entah sadar apa tidak, Ollie menerima tangannya di pegang oleh Iwat. Padahal sebelumnya dia belum pernah sama sekali pegangan tangan sejuta rasa bersama laki-laki yang bukan mukhrim, termasuk Joni, pacarnya sendiri. Dan yang lebih tidak lazim, hari ini ia berani menghadapi first kiss-nya, bukan dengan suami maupun pacar, tapi hanya dengan seorang Iwat yang baru saja ia kenal.

Entahlah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.

Perasaan ngantuk yang sedang melanda pikiran Ollie tak dapat melumpuhkan kebimbangannya saat ini. Dari tadi Ollie merasa kehadiran Joni di sampingnya, mulai dari hawa, hangat, belaian, sampai kekangenanya yang terasa berlebihan. Ingat saat Iwat mempertanyakan cintanya dan saat dengan lantang Ollie menolaknya, tiba-tiba saja ia merasa tangan Joni sedang merangkulnya.

Dan kini, saat Ollie mencoba memandang bintang di langit melalui kaca taksinya, ia menyadari bahwa jarak antara ia dan Joni tidak seperti jarak antara Indonesia dan Amerika.

Mungkin ini lebih baik, tapi Ollie merasa bahwa ia belum siap untuk menatap hari esok dengan segala kemungkinannya.
***

“Daridam-dam-dam. Daridam-ridam-ridam.” Nada terkasih perwakilan isi hatinya kini. Sepulang dari kencan rianya dengan Ruben tadi, Iren segera menduduki meja rias. Tak lupa dong, setiap malam harus ada perawatan khusus untuk wajahnya. Seperti yang terjadi tadi, sambil bersenandung nggak jelas, Iren mengambil segala bahan-bahan pembersih wajah. Baru mulailah dari tahap berkaca.

Cewek satu ini memang gak pernah melewati soal perawatan wajah. Biar di-pandang cewek sempurna katanya. Dari paras wajah saja sudah memiliki kelebihan, apalagi postur tubuhnya. Senang bercanda dan terlalu setia kawan. Lagi pula IQ nya juga gak jongkok-jongkok banget kok (se-tidaknya lebih berdiri dari Ollie). Jago ngegaet cowok pula. Dengan demikian sukseslah ia mendapatkan gelar sang dokter cinta.

Iren hidup bersama 2 saudara kandung yang menyayanginya. Irty sebagai kakak berumur 24 tahun dan Tarra sebagai adik berumur 15 tahun. Tentunya mereka semua perempuan. Mungkin selisih umur yang berdekatanlah yang menyebabkan mereka slalu mengambil jalan persaingan untuk mendapatkan sesuatu. Begitulah yang terasa pada penampilan mereka. Berusaha untuk menjadi yang termegah. Apa jadinya 3 wanita sempurna tinggal dalam satu rumah?! Entahlah.

Kini di jam segini tempat tidur mungkin adalah lokasi paling dituju oleh semua insan yang baru diserang sebuah hantaman kegiatan seharian tadi (rasanya terlalu mendaramatisir). Saatnya juga Iren mengikuti jejak mereka.

Hup..
Kebiasaannya terjun ke tempat tidur malah menjadi semenjak ia jadian dengan Ruben.

Beberapa menit setelah menempatkan tubuhnya di tempat tidur, akhirnya ia terbawa juga ke dunia mimpinya. Disini.. Iren kini berada di suasana pagi yang indah. Sejauh mata memandang hanya terlihat rerumputan nan hijau dengan sedikit tumbuh bunga-bunga yang bermekaran. Tiba-tiba dari kejauhan, seorang lelaki berlagak gagah datang mendekati dirinya. Iren sudah bisa melihat bayang-bayang seorang Ruben dari sana.

Wajahnya... posturnya.. wangi parfumnya.. mmm... srut.. srut. Tapi kok, baunya makin lama makin berbeda. Bau sate?! Hah kok postur tubuh Ruben melangsing?! Kok dia jadi kayak cewek?! Aaaarghh..???!!!

“Aaaaaarrrrgggghhhh.... Ruben jadi banci!!!”
“.....”

Hening.

Suasana sudah kembali ke keadaan kamarnya. Sedikit bergeming malu ketika melihat seseorang yang berdiri di depannya.

“Ollie?”
“Ke.. ke.. kenapa lo Ren? Kok Ruben jadi cewek?” Ollie yang berada di depannya itu tercengang menahan tawa.
“Lo tau kan gue Cuma mimpi tau.” Iren bangun dan duduk di kasurnya. Diikuti Ollie yang duduk di kursi meja rias. “Gue kan lagi mimpi enak-enak sama Ruben tadi. Eh lo malah tiba-tiba muncul di hadapan gue. Muka Ruben ya mendadak nyrupain lo.”
“Hahaha.. nggak bisa ngebayangin gue muka Ruben waktu sedikit demi sedikit berubah jadi muka gue.... HAHAHAHA.” Cekakak. Sambil melepas aksesoris-aksesoris di dirinya, Ollie terpingkal-pingkal ketika terbayang Ruben yang menor dan mengenakan gaun berkemben.
“Diem dong, jangan ngebayangin Ruben jadi banci!!!” sedikit dengan nada ngambeknya.
“Buruan telpon tuh cowok lu, siapa tau dia beneran jadi cewek. Mimpi itu kan kadang bisa jadi kenyataan.” Tanpa sebuah izin hak minjem, Ollie memakai perlengkap-an pembersih wajah Iren.

Bukk...
Sebuah hantaman bantal mendarat di kepalanya.

“Lo tidur kok nggak pake kunci pintu? Udah tau ya gue bakal mampir?”
“Tau ah. Gila ya Lie, jam segini baru pulang? Abis ngapain aja sama Iwat?”

Ollie refleks menatap jam di HP Iren yang tergeletak di atas meja rias. 00.44. “Ngapain ya, kayaknya gak ngapa-ngapain tuh.”

“Yang bener? Awas aja tuh Iwat kalo sampe ketauan Ollie udah nggak perawan lagi.”

Bukk...

Ollie mengembalikan bantal yang tadi menghantam kepalanya, ke arah muka Iren. “Ye... emang gue cewek apaan!! Lo sendiri juga baru pulang kan?”

“Hmmm... tadi gue ditraktir nonton dulu sama Ruben.”
“Halah, layar tancep aja, berapa sih harganya?”
“Pokoknya kalo lo ikut, gue jamin lo nggak bakal betah. Tadi itu kita mesra bange.......t.”

Sekejap, pikiran Ollie langsung memasuki suasana layar tancep dengan bejibun penonton bersama pasangannya masing-masing sedang suap-suapan gulali.

“Kisah romantis lo nggak bakal se-romantis gue deh.” Iren melebih-lebihkan.

Bersih sudah seluruh perlengkapan kencan Ollie tadi. Kini pakaiannya sudah kembali normal.

Dia memandang kaca sejenak, melihat dan mencari perubahan darinya. Bibirnya, mungkin. Iren belum tau masalah ini, dan entah harus sampai kapan ini akan di tutupi. Sebagai sahabat sebaiknya Iren tau apa yang baru saja terjadi pada Ollie. Tapi Ollie masih kurang nyali untuk menceritakannya. Paling tidak sampai Iren juga merasakannya.

“Ollie, ngomong-ngomong udah nyaris jam 12 nih, lo gak takut di cariin nenek lo apa?” Iren mengalihkan pandangannya dari jam dinding berbentuk sepatu, ke Ollie yang masih bercermin sambil senyum-senyum g jelaz. “Oi!!”
“Ren, gue mau ngomong sesuatu sama lo.” Ollie memandang Iren lewat pantulan cahaya cermin. “Tapi jangan sekarang.”

Iren menenggelamkan muka-nya di bantal. “Serah lo dah!!! Ga usah d ceritain juga engga pa-pa. Gue ngantuk banget sekarang.”

Ollie pun ikut-ikutan melompat ke kasur Iren. “Malem ini gue tidur di kamar lo ya Ren!!!”

Okelah, Iren sih tidak mempermasalahkan mau sampe kapan dia di kamar ini, tapi........

Di rumah nenek.
“Adu......hhhhh, Ollie teh kemana sih. Jam segini kok belum pulang ya!!!” nenek mondar-mandir mengelilingi seisi rumahnya. Tak lupa ia juga mengikutsertakan peng-huni yang lain untuk menambah suasana panik disana. “Gimana Tia, udah nyambung belum telponnya.

Cklik.
Suara gagang telpon yang di letakkan. Untuk kesekian kalinya Tia menjadi korbaan keganasan nenek yang terus menyuruhnya untuk menelpon Hp Ollie yang ter-sillent di dalam tas pesta Iren. “Udah lah nek, palingan Ollie nginep di rumah temennya. Biasalah, namanya juga ABG. Lagi pula tadi dia udah bilang ke Tia kalo nggak pulang malem ini, berarti dia masih di kamar kos Iren.”

“Nggak bisa-nggak bisa. Nenek nggak akan tenang kalo kayak gini. Aduh Ollie, nih barudak teh meni’ ribet amat ya...” ini mah lo aja yang ambil ribet.

***

Sabtu pagi, memang waktu yang menyenangkan untuk sekedar berlari pagi dijalanan. Udara sejuk di Bandung selalu mendorong mereka untuk semangat menatap kembali indah dunia, walaupun masih dalam isu-isu global warming yang makin mencekat.

Tak seperti biasanya, jalanan kali ini terlihat sepi dari para olahragawan/wati. Tak ada satupun orang yang berceceran di sana. Yang ada malah kendaraan-kendaraan bermotor yang menimbulkan polusi di udara mondar-mandir nggak karuan mencari menu makanan baru yang akan mereka gunakan untuk sarapan pagi.

Ya, cuaca pagi ini memang kurang mendukung untuk pelaksanan lari pagi. Hari ini terlihat mendung dengan jatuhnya titik-titik air yang biasa kita sebut gerimis. Maka itulah, mereka lebih memilih untuk mengoperasikan kendaraan bermotor.

Diantara mobil-mobil yang memadati jalanan, terdapat VW Iren yang ikut beroperasi sejak subuh. Iren terpaksa bangun lebih awal di hari libur ini karna semata-mata untuk kepentingan....

Apa lagi? Siapa lagi’ Iren mengeluh dalam hati.

Ollie memaksanya untuk segera diantarkan ke rumah nenek sejak ia mengetahui bahwa ada 23 missed calls yang masuk ke HP-nya. Siapa lagi?

Suasana memang sangat hening dari tadi. Terasa sekali perasaan Iren yang memang sedang sangat jengkel. Makin lama Ollie berada didalam VW Iren, ia makin terasa gelisah. Entah harus ia mulai dari mana untuk mencairkan suasana.

“Ren,”

Brukk.....

“Kampret lo!!!” Iren berteriak dari jendela mobilnya yang sengaja tak ditutup.

Ya, baru saja Ollie mencoba untuk mengajaknya ngobrol ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet mobil Iren. Dan membuat suasana makin panas. Ollie makin takut untuk mengajaknya bicara.

“Sialan banget sih emang motor. Dia tuh selalu merasa bahwa jalanan Cuma punya dia, sehingga dia bisa enak-enakan nyelap-nyelip. Giliran jatuh, mobil yang di salahin.” Iren ngambek, entah dia ngomong sama siapa.

Ollie diam, dan... “Lo, ngomong sama gue Ren?” dia tercekat.

“Ya iyalah, lo kira ada orang lain di mobil ini. Tapi gue ngomong gini diperuntuk-an kepada seluruh pengendara motor, bukan elo yang ngendarain motor aja nggak bisa.”

Rasa damai sekarang menyelimuti hati Ollie. Walaupun nadanya masih galak, tapi yang penting Iren masih mau mengajaknya ngobrol.

Ok, kita mulai, jangan sampe gue ngungkit masalah ketakutan gue soal muremnya muka Iren pagi ini

“Iya bener tuh, dasar motor, maunya sendiri. Kenapa harus ada motor, coba semua orang pake mobil aja, kan lebih aman dan nyaman!!!” Ollie menyumbangkan aspirasinya.

Iren nyengir dan sepertinya kurang mendukung masukan Ollie tadi. “Ya, nggak gitu juga kali Lie, kalo semua orang pake mobil, apa nggak tambah macet jalanan kita? Dengan populasi mobil yang segini aja udah bikin gue pusing, apa lagi kalo ditambah motor-motor yang tiba-tiba berubah jadi mobil.”

“Oh, yaudah. Gue Cuma becanda kok, iya Cuma becanda.”
“Lie, lo hari ini lagi stres berat ya? Kok sampe keringet dingin kayak gitu sih? Takut nenek lo ngamuk, nanti? Santai aja lagi.”

Pagi ini Ollie memang terlihat lebih tegang dan dingin. Bukan karna nenek, tapi lebih karna Iren. Ollie merasa bahwa kini ia seperti orang yang salting. Makanya dia memilih untuk diam dari pada nggak nyambung.

“Oh iya, tadi malem janjnya lo pengen cerita kan sama gue.” Iren mengubah topik, dan membuat Ollie lebih damai.
“Hmm..” Pikiran Ollie mendadak melesat ke keadaan tadi malem. “Tadi malem, gue kangen banget sama Joni.”
“Yee.. biasanya juga gitu kan?”
“Tapi yang kemaren beda. Lebih nyesek. Malah gue ngerasa kehadiran Joni selama gue berduaan sama Iwat. Dia kayak lagi nguntit gue gitu. Makanya, sepanjang malam itu, gue ngerasa Joni lagi marah banget sama gue.”
“Marah? Emang apa yang lo lakuin sampe Joni marah gitu?” tanya Iren, lalu menghembuskan napas panjang, “Udahlah Lie, itu kan Cuma perasaan lo doang. Lo Cuma dansa sama Iwat kan, masa gara-gara itu lo sampe ngerasa Joni hadir, emangnya dia hantu apa?”
“Gue buat kesalahan besar sama dia, terlalu besar, dan itu yang buat gue ngerasa Joni marah banget sama gue!”
“Kesalahan besar?”
“Iya, gue.. gue.. udah ngehianatin Joni. Tadi malem gue sama Iwat...”
“Jangan bilang kalo first kiss lo udah diambil sama Iwat!!” Iren menatap kasar wajah Ollie, sambil mencengkeram keras stir mobilnya.

Seluruh badan Ollie terasa bergetar. Dia tidak tau harus menjawab apa. Dia tidak sanggup untuk berkata jujur apa lagi untuk berbohong. Ollie hanya menunduk ke bawah dan sepertinya dengan diam saja Iren sudah tau apa maksudnya..

Iren kembali menaatap keluar jendela. Dia juga tidak tau harus berkata apa.

“Keadaannya beda. Tadi malem itu semuanya kayak jungkir balik. Iwat jadi lembut dan sayang sama gue. Dan gue mau aja ngelakuin apa yang dia mau. Gue juga nggak ngerti, dan setelah gue menyadari itu, Joni kayak lagi berdiri disisi gue dan dia marah besar.”
“Itu namanya lo lagi jatuh cinta.” Iren dengan tenangnya memberikan solusi. Singkat padat dan sepertinya Ollie sudah menyadarinya.
“Gue tau.. Tadi malem Iwat juga udah nanya gitu, dan dari saat itu gue jadi marah banget sama Iwat, soalnya dia buat gue makin tertekan dan Joni...”
“Joni lagi, lo masih mikirin Joni, kenapa? Belum tentu kan dia mikirin lo! Apa sih yang lo harepin dari Joni? Apa dengan kontak lo sama Joni yang putus, lo nggak ngerasa kalo lo lagi dihianatin sama dia? Lie, lo nggak boleh bergantung sama Joni. Anggep aja lo nggak pernah pacaran sama dia. Lo udah punya cinta baru Lie, jangan lepasin cinta itu, karna Cuma dengan cinta Iwat itu yang bisa ngebuat lo lupa sama Joni. Ngapain juga lo ngerasa berkhianat? Emangnya Joni tau kalo tadi malem ada yang nyium lo?”
“Gue masih cinta banget sama Joni, gue belum sanggup kehilangan dia.”
“Lo bisa ngomong kayak gitu sekarang. Tapi coba nanti, kalo tiba-tiba ada Joni di hadapan lo dan dengan lantangnya mempertanyakan cinta lo sama dia sekarang! Lo pasti pengen nampar dia kan?” Iren menutup pelampiasan kekesalan dalam hatinya pada Joni.

Ollie mencoba menahan tangisnya, namun semua orang tau itu tidak mudah. Sebutir air mata jatuh ke pipi Ollie, diikuti dengan berjuta- juta temannya.

Ia mengerti apa yang Iren rasakan, tapi ia meminta agar Iren yang juga mau mengerti perasaannya. Kemarin malam itu berbagai macam firasat mendarat di pikiran-nya.

Tadi malam gue ngerasa ada yang lain dari bintang di langit’. Dan pemandang-an itu membuat Ollie takut kalau cepat atau lambat dia akan segera bertemu dengan Joni. Dan dia belum siap untuk menyambut kedatangannya.
***
Ollie mengucek kedua matanya yang merah sehabis nangis ketika ia berada di depan pintu rumah nenek. Dengan didampingi Iren, Ollie mencoba mengetuk pintu.

“Assalamualaikum.” Ollie dan Iren berbarengan. 5 detik kemudian seseorang membukakan pintu. Nenek.
“Ollie!!! Dicariin dari tadi malem, kenapa baru pulang?” Sambutan yang penuh kejutan, sambil mempersilahkan mereka masuk.

Iren mengerti keadaan Ollie yang belum sanggup untuk berbicara. Jadi dia berniat untuk menjawab pertanyaan nenek. “Iya nek, tadi malem Ollie ketiduran di kamar kos Iren. Makanya baru sekarang pulang. Trus, HP nya Ollie ketinggalan di dalem tas, jadi nggak sempet ngasih kabar.”

“Oh, tapi Ollie nggak apa-apa kan? Kok mukanya meni beureum kitu (merah banget).”
“Oh, Ollie Cuma pilek kok.” Mereka berjalann menuju ruang keluarga sebelum Olliie melihat sesosok anak laki-laki mendekat di sampingnya.
“Oi mbak, gila ya lo seharian gak pulang, nggak pake ngasih kabar pula.” Anak lelaki itu menyambutnya dengan sedikit hantaman kepalan tangan di pundaknya. Ollie dan Iren tercengang.
“Regha!!!” Iren yang duluan bersuara, sementara Ollie masih bengong tak percaya.
“REGHA!!!!” kesadaran Ollie mulai memulih seketika ia melihat adiknya sedang berdiri di depanya. “Ngapain lo kesini? Sama siapa? Kok gue nggak ngeliat mobil ayah?”

Regha menarik tangan Ollie agar lebih mendekat ke ruang TV. “Lo pasti nggak nyangka gue bawa siapa kesini.” Regha berhenti di depan seorang lelaki. Ollie belum dapat melihat dengan cermat siapa orang yang berdiri di depannya.

Iren datang mendekati Ollie yang berdiri terpaku di ruang TV. Iren baru saja ingin berteriak ketika tiba-tiba Ollie mencengkeram kuat tanganya, sangat kuat, sampai-sampai Iren merasa darahnya tidak mengalir lagi di daerah sekitar telapak tangannya.

“Hai Ollie, Iren.”
***

-bersambung-

6/07/2009

BAB VII - Pacar Baru Iren

(harap baca dari BAB I yaaa)

Di rumah Nandy
Tempat tinggal ini sungguh sunyi. Tak ada jeritan anak kecil yang berlari kian kemari, apalagi gonggongan seekor anjing rabies yang sedang mengejar makan malam-nya. Maklum, di rumah ini Nandy hanya tinggal berdua dengan Bu Wiana, seorang mama berusia 48 tahun yang selalu menyelimutinya dengan kasih sayang. Hari ini sepertinya Bu Wiana sedang berada di rumah, maka itu saat masuk rumah, Nandy langsung menghampiri kamar mamanya.

Sejak Bu Wiana bercerai dari suaminya 8 tahun silam, dia sendiri yang mencari nafkah untuk menghidupi Nandy, anak yang ia bawa sejak ia bercerai. Dia memiliki sebuah perusahaan penerbit buku populer. Jadwal kerjanya sangat padat. Mau nggak mau dia harus menjalani sebuah rutinitas yang menyesakkan, pergi pagi, pulang malam. Dengan adanya perusahaan penerbit ini, tentu saja uang yang ia miliki juga banyak, tapi ia tak pernah silau dengan harta. Setiap hasil yang ia dapatkan selalu ia simpan dengan rapih. Siapa tau saja sebentar lagi dia sudah tak sanggup lagi mengawasi perusahaan itu.

Hari ini Bu Wiana sedang terbaring sakit di atas ranjangnya.

Ciiitt..

Nandy perlahan membuka pintu kamar mamahnya. Sebentar ia menatap mamah-nya yang melirik kearah dirinya. Nandy pun berjalan mendekat.

“Nak, sudah pulang kamu, malam sekali.” Bu Wiana berkata penuh kelesuan.
“Mah, gimana keadaannya? Udah baikan belum?” Nandy menyalami tangan mamanya yang terkulai lemas.

Bu Wiana bercerai dari suaminya karna beberapa masalah yang sudah tak bisa dihindari lagi. Dan akhirnya jalan seperti ini yang harus diambil. Nandy berpisah dari papahnya, dan juga satu adik lelakinya. Awalnya adiknya itu merupakan hak mamahnya, tapi papahnya yang tak mau mengalah, meminta agar satu anaknya mengikutinya ke Jakarta. Sudahlah, Bu Wiana tidak mau mengambil runyam masalah ini. Dia rela berpisah dengan satu anaknya.

“Besok juga sembuh. Tuh, obatnya udah mau abis.” Bu Wiana menunjuk ke arah sebuah toples sebesar jempol orang dewasa yang berisi obat-obat.

Nandy tersenyum melihat ketegaran mamanya. “Ya udah mah, Nandy keluar yah. Mau mandi dulu nih, bau.”

“Tunggu sayang.” Bu Wiana menyambar lengan Nandy yang berniat pergi. “Se-karang tanggal berapa ya?”
“Mmm... 14 mah.”
“14.. berarti bentar lagi Jonathan, 20 tahun ya?”

Jonathan, nama adik Nandy yang sekarang berada di tangan papahnya. Dan hingga saat ini setelah mereka berpisah kenyataan mereka hanya menjalani 1 pertemuan, itu juga tanpa restu papanya yang ternyata tidak mengijinkan mereka berjumpa kembali.

Nandy memang pernah ketemu sekali di Jakarta. Saat itu Nandy sedang mengikuti Bu Wiana yang menghadiri undangan launching sebuah film yang ceritanya terinspirasi dari novel terbitannya, tepat saat 4 tahun ia berpisah, ia dipertemukan kembali dengan adiknya di tempat itu. Dia bersama seorang lelaki yang tentu saja adalah papahnya. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Saat Jonathan sendiri, Nandy pun mendekati. Terjadi tatapan mata yang sunyi selama 5 detik, sebelum Jonathan bergegas bangkit dan pergi meninggalkannya.

Tidak ada sekali-pun terlintas di benak Nandy untuk berlari mengejarnya. Dan mungkin sejak saat itu dia percaya bahwa Jonathan yang tadi adalah Jonathan baru yang telah dirasuki jiwanya oleh ayah yang sudah tak menganggap Nandy sebagai anaknya lagi.

Cerita ini memang tak ada yang menarik untuk di publikasikan. Tapi saat kau me-ngetahui semuanya, cerita ini akan sangat berarti.

***
Tanggal 18 Oktober..

“Aaaaargh. Hari ini Joni ultah, dan gue nggak bisa ngasih apa-apa ke dia.” Ollie mememar-memarkan tubuhnya di atas kasur kamar kos Iren. Dia nggak habis pikir, hari ini ada kekasihnya yang ulang tahun, dan tak ada yang bisa ia kerjakan (buat yang ultah maksudnya. Kalo tidur sih masih bisa).
“Ngak penting banget sih Lie.” Iren masih membaca buku White Broken sambil bersila di atas meja belajarnya.
“Aaaaargh.” Ollie tak menghiraukan pendapat Iren.
“Lagi pula dia juga nggak pernah ngasih.” Iren menambahkan.
“Aaaaargh.” Ollie kembali tak menghiraukan tambahan Iren.
“Aduh Ollie, plis deh. Temen itu nggak wajib di ucapin selamat.”
“AAAAAAAAAAARGHHH.” Ollie lebih tak menghiraukan. “Hah..hah..hah..” Ollie menghembuskan napasnya berkali-kali yang kecapek-an dengan sifatnya yang ke-ter-la-lu-an.
“Capek?”
“Hah..hah..hah..” Ollie masih tak menghiraukan. Sepertinya teriakannya tadi membuat telinga Ollie kabur.
“Terserah dah, gue mau mandi dulu.” Iren menutup buku, turun dari meja, meng-ambil handuknya, lalu bergerak ke pintu kamar. “Baru nyadar ya, ternyata sobat gue punya kelainan.”

Ollie melempar dua bantal sekaligus ke arah kamar mandi yang keburu di tutup Iren. Iren bener-bener udah nggak peduli dengan Joni. Padahal dulu saat Joni ulang-tahun, dia yang peling sibuk menyumbangkan ide kejutan saat otak Ollie (yang sebenernya selalu) mandet.

Salah satunya ide untuk menculik Joni.

1. Pertama, menguntai dari belakang seperti preman yang berprofesi sebagai polisi gadungan.
2. Mengejar seperti preman yang ngeliat polisi beneran.
3. Memasukkannya dalam karung beras yang masih tersisa kutu-kutu nakal seperti preman yang gila beras (ini bukan masalah kutu).
4. Menyeret tubuhnya sampai ke dalam gudang seperti preman yang disuruh bawa maling ke kantor polisi.
5. Melempar agar gampang masuk kedalam gudang seperti preman yang di suruh mengusir gembel dari rumah kontrakan dengan alasan belum bayar uang sewa.
6. Sedikit menggebuk seperti preman yang sedang patah hati.
7. Membunuhnya seperti preman yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran (Sori, kalo ini nggak beneran, yang bener..). Menghidupkannya lagi dengan memberi nafas buatan seperti preman yang takut masuk penjara.
8. Mengejutkannya karna saat karung dibuka, yang terlihat bukanlah suasana gudang tapi cafe (walaupun sesungguhnya gudang) yang di padati kawan-kawannya, seperti preman baru insyaf
9. Terakhir, tentu saja membayar preman-preman yang ikut serta dalam pelaksana-an hal keji ini.

Sekarang dia malah diem. Bener juga sih, apalagi yang diharapkan Ollie?. Bisa apa dia sekarang (ones again, buat yang ultah, kalo tidur sih masih bisa)?

Sudahlah...

Ollie masih memejamkan matanya saat tiba-tiba HP Iren yang berada tepat di sebelah kupingnya, berbunyi. Membuat Ollie cukup terperanjat. Ollie pun mengambil HP itu. Dia lihat nama yang tertera di layar HP. ‘Ruben’. Ternyata itu telpon dari Ruben. HP terus berdering, sedangkan Iren sekarang masih di kamar mandi.

angkat-engga-angkat-engga..

Setelah terjadi beberapa suara dari hatinya, akhirnya Ollie memutuskan untuk mengangkat telpon itu.

“Halo.”
“Halo.”
“Halo.” Ollie kembali memberi salam.
“E... Halo.”
“Oi, gimana sih, udah tau gue nyaut, langsung kek bilang kemauan lo.”
“Iren nih.”
“Bukan sih.. hehe, salah sambung ya?”
“O...h nggak usah bercanda deh, ini Iren kan?”
“Bukan di bilangin.”
“Kalo gitu pasti Ollie. Ini Ruben.”
“Ya iyalah, mana mungkin Iren nggak nyimpen nomor lo.”
“Irennya ada nggak?”
“Tadi kegirangan waktu dapet telpon dari lo. Sekarang dia pingsan, baru aja dikirim ke UGD. Keadaanya kritis.”
“Ollie...” tiba-tiba Iren datang dengan rambut yang basah, sepertinya ia mendengar seluruh perkataan Ollie. Dia pun merebut HPnya secara paksa tanpa meng-hiraukan pemberontakan dari Ollie.
“Ruben ya?” Iren membawa HPnya menjauhi tubuh Ollie. Dengan mengumpat-umpat, dia berbicara panjang lebar.
“Huh!” Ollie melempar tubuh Iren dengan guling.

Setelah dua menit merea bicara, dan dua menit juga Ollie mengganggu, akhirnya Iren mengakhiri pembicaraannya juga. Dengan wajah penuh senyuman, Iren melempar Hpnya ke kasur, disusul tubuhnya yang sengaja meniban tubuh Ollie.

“Aduh, berat lo berapa sih Ren?” Ollie menggusur tubuh Iren dari atas tubuhnya.
“50 kilo.”
“Oh ya? Gue 55.”
“Dan bentar lagi bakal bertambah akibat hadirnya cinta.” Iren berguling menjauhi tubuh Ollie.
“Ciee.. benerkan lo udah jadian?”
“Belum, ih Ollie..” Iren menoyol kepala Ollie. “Malem ini gue di ajak ke CheZZin sama dia.”
“Berdua?” Ollie menyodorkan tanda peace ke atas.
“Berdua.” Iren menyentuhkan peace-nya ke peace Ollie di atas.
“Enak aja. Bertiga dong, gue wajib ikut.” Ollie menambahkan satu jari di tanda peace-nya.

Iren menutup kembali satu jari Ollie yang tadi dinaikkan. Ollie menaikkannya lagi, tapi belum lurus, udah keburu di tutup lagi oleh Iren.

“Sayangnya gue nggak ngizinin lo ikut malem ini.”

***

Suasana malam di rumah nenek. Hanya terdengar suara kuntilanak dari arah pohon jambu yang biasa berkumandang setiap lepas malam. Merasa terbiasa dengan hadirnya makhluk-makhluk non visual di rumah ini, membuat hantu itu selalu dianggap ‘hantu kacangan’ (diharapkan saat membaca untuk tidak menanggapinya secara lanjut).

Termasuk di rumah rumah kos. Semua orang sekarang sedang memfokuskan se-genap jiwa raga nya pada setiap lembaran-lembaran kertas pelajaran yang telah menjadi makan malamnya. Tapi kesibukan ini sama sekali tak dirasakan Iwat, nggak pernah dia memanfaatkan sebuah waktu luangpun untuk membaca catatan. Kecuali saat tugas yang kebetulan sedang membebaninya. Begitulah cara dia untuk mendapat predikat mahasiswa ‘jenius’ atau ‘sok jenius’ bagi mereka yang iri akan kelibihannya.

Sepulang dari CheZZin dan DubZZ (cafe yang berada di sebelah CheZZin), ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tanpa menghiraukan Ipul yang lagi serius mengerjakan PR ‘kurang ajar’ dari SMA ‘keparatnya’ di meja belajar ‘bajinganya’.

Udah hafal betul Iwat suasana hati Ipul jika sedang menunaikan PR matematika-nya. Otak menciut, rambut lusuh berminyak, kulit pucet mengerut, berkeringet dingin, mata merah, gigi kuning (sebenernya ini lebih mengarah ke gejala orang sakau). Berkali-kali Ipul menjeritkan kata-kata kasar kepada guru yang bertanggung jawab akan hidup dan kehidupannya kelak. ‘Bajing Loncat’, ‘budak buduk’, ‘buaya lumpur’, ‘badak cula pantat’, ‘botak eksotis’, karna tak dipungkiri, orang yang bernama asli ‘Batu Bara’ ini pernah menggantung Ipul terbalik di gerbang sekolah dan membiarkannya menjadi bahan tertawaan cewek pujaannya, akibat terang-terangan mengejek si Baba itu ‘manusia berhormon jungkir balik’.

Ke cuekan Iwat dihentikan saat Ipul membanting HP-nya sendiri.

Prang (lho kok ‘prang’)

“Sadar Pul, dunia ini nggak Cuma di atas tangan si Baba itu.”
“Ih, ogah deh menggantungkan dunia gue di atas sebuah tangan kasar yang penuh dosa ini-itu.” Ipul dengan gaya yang ‘oh-lepaskan-aku-dari-pup-anjing-ini!’.
“Kalo gitu nggak usah ngamuk kayak tadi dong.”
“Ngamuk? Maksud lo kayak gini. AAAAARRRRRGGGGGHHHHH!!!!!” Ipul berteriak sekuat tenaga dan hampir membuat lehernya copot dari tubuhnya.

Iwat yang amat merasa terganggu, tak mau ambil pusing, dia membalikkan posisi tidur ke arah dinding sambil menutup kupingnya dengan bantal.

“Wat, ajarin gue dong! Lo itu kan pernah hampir menang olimpiade matematika waktu lo SMA dulu.” Ipul meminta. “Iwaat!!” Melihat Iwat yang tak bergeming, Ipul langsung mengambil jam weker di depannya, dan melemparkan ke Iwat, tepat di pantatnya.
“Aaaw.” Iwat mengelus pantatnya, dia mengmbil jam wekker tadi dan segera melempar balik ke Ipul. “Kampret lo Onta!”

Lemparan nya tadi ditangkap secara tangkas oleh Ipul.

“Ettt, gini-gini gue atlit kasti pentolan lho di sekolah.”
“Pantes buduk.” Iwat kembali membalikkan posisi tidurnya ke arah dinding.
“Wat, please!! Otak gue dah mandet nih kalo lagi ngomongin soal rumus-rumus.” Ipul mendekati Iwat. “Ehem-ehem, Kak Iwat,ayo dong, kakak gak mau adiknya men-dapat masa depan suram kan? Ayolah kak!” Ipul mulai mengelus-elus lengan Iwat.
“Heh, langkahin dulu mayat gue, baru lo boleh nganggep gue kakak lo!” Iwat membalikkan lagi posisi tidurnya, menatap Ipul geli.

Ipul kembali duduk di kursi meja belajarnya. Ia menutup buku-buku matematika nya. “Jenuh gue ngeliat angka-angka. Wat, gue pinjem vespa lo dong. Mau cuci mata nih. Gatel mata gue!”

“Enak aja, langkahin du...” Iwat lebih memilih untuk diam seketika melihat HP-nya yang sudah berada di dalam genggaman Ipul, siap untuk di bumi hancur-kan.

***
Iwat terpaksa mengantar Ipul ke vespa-nya, karna khawatir dengan keadaan Ipul yang belum mahir dalam mengendarai vespa.

Di dalam perjalanan ke vespa, tepatnya saat baru keluar rumah kos, mereka di kejutkan oleh pandangan seorang cewek duduk di kursi depan rumah nenek. Ini lagi gak ngomongin soal kuntilanak, karna yang duduk itu adalah Ollie. Tampangnya mendekati sendu. Iwat pun iseng menghampirinya. Didahului Ipul yang lebih niat iseng meng-hampirinya.

“Sendiri aja?” Iwat duduk pager tembok pendek yang sengaja di buat untuk di jadikan tempat duduk di depan kursi.
“Ya, seperti yang lo liat deh.”
“Nggak baek lo anak gadis sendirian malem-malem di luar!” Ipul menyusul Iwat duduk disebelahnya.
“Elah, mulai deh ceramah, dasar anak onta.” Iwat sedikit menoyol Ipul yang emang kebetulan memiliki paras arab.
“Inikan belum di luar, baru di teras. Kalian mo kema...” kata-kata Ollie terputus seketika ada yang membuka pintu. “Nenek.”

Iwat dan Ipul kelabakan melihat nenek, presiden kos di sini. Mereka lekas berdiri dari duduknya.

“Eh, nenek.” Salam mereka berbarenggan.
“Eleh-eleh, aya si kasep di sini.” Nenek tanpa menyebutkan nama-nya. Jelas aja, dalam kondisi nenek yang mendekati penyakit ‘alzeimer’ alias ‘pikun’, mana mungkin nenek bisa apal semuan nama anak-anak yang tinggal disini. “Ku naon atuh, mmm... ngapel ya?”

Nghaaaa? (suara hati Ollie sekaligus Iwat yang berbarengan dengan teriakan Ipul)

“Nghaaaa?”
“E... engga kok nek, kita kan satu kampus, nggak pa-pa kan kalo mau berbagi pengalaman, apalagi Ollie kan baru masuk.”

Ipul menyikut lengan Iwat seolah bertanya ‘trus-alasan-gue-apa’. Tanggapan EGP keluar beriringan dengan bisikan ‘DL’ dari mulut Iwat.

“Ini kayaknya ada yang mau pergi ya?” Nenek menuduh.

Secepat kilat Iwat menunjuk Ipul. Seolah ingin menghindari sebuah dampak saat nenek mengetuhinya.

“Iya nek, saya pergi dulu ya.” Ipul bergerak keluar teras menjauhi panggilan nenek. Langkahnya terhenti seketika ada yang memanggil, Iwat, bukan nenek, dia me-lemparkan kunci vespa yang masih dalam genggamannya. Ipul menghembuskan nafas gelisah. Dia kembali berjalan, tapi terhenti lagi, yang ini adalah suara nenek. Napas pun ditariknya dengan kasar.

“Nenek nitip batagor ya, biasa, di tempat langganan. Nanti duitnya nenek yang ganti.” Seperti biasa.
***
Sesaat setelah adegan batagor tadi.

Suasana makin ribut di teras nenek. Cekikikan setan-setan tua ditandingi oleh jeritan kawula muda gila yang bersenandung aneh.

Du.. dududu.. du...
Senang hati bebas..
Bangganya ku lepas..
Tinggi melayang mencapai pentas..
Bernyanyi tuntas..
Hingga rasa hati puas..
Dan mati terlindas..

Lagu apa’an tuh? Tepatnya satu bait ciptaan Iwat yang spontan kluar dari hatinya. Sialnya lagu itu langsung memikat hati Ollie sampai-sampai rela menutup telinganya.

“Gue nggak nyangka lo bisa ngerock juga!” Ollie memberi tanggapannya setelah mengetahui tak satu kata lagi yang di keluarkan Iwat.

“Hahah.. emang gue tau kalo gue bisa nyanyi?”

Mereka terus bersenda gurau sejak tadi. Berbincang-bincang hingga satu diantara-nya mengeluarkan joke-joke segar walau sedikit jayuz.

“Suara piano lo jauh lebih indah! Ternyata lo mahir juga ya maen piano. Apa lagi lagu yang waktu itu lo mainin di CheZZin, nyentuh hati gue banget.”

“Lagu yang mana? Banyak kali lagu yang gue mainin di CheZZin.”

“Belum lama ini sih. Oh ya, hari Minggu, kira-kira seminggu setelah lo ngecat kamar gue. Pokoknya hari itu lo make kupluk bertali yang warnanya putih, sama sweater abu-abu. Lagu itu lagu yang terakhir lo mainin.”

Iwat sok berpikir sambil mengeluarkan kata ‘mmmm’ yang biasa digunakan sebagai alasan murid untuk menghindari pertanyaan gurunya. “Gue inget. Emang bener lo suka sama lagu itu?”

“Banget. Ngomong-ngomong, itu lagu siapa Wat?”

Iwat menundukan kepalanya, sejenak untuk melihat 10 jarinya yang bergumal nggak jelas. Kemudian kembali menatap Ollie dengan cengir menjijikan. “Gokil, gue gak nyangka ada yang segitu segannya ama lagu ini. Ini karangan gue, jack.”

Bumm..

Ternyata lagu yang dapat membuat hati Ollie menari-nari hingga berjingkrak sekalipun, adalah hasil karya Iwat. Si cowok kurang ajar yang nggak bisa ngehargain perasaan cewek itu. Mana mungkin Ollie segampang itu percaya.

“Gue kasian sama lo Wat, ngidam pengen bikin lagu profesional, sampe-sampe ngakuin karya orang lain sebagai ciptaan lo sendiri.”

“Kalo gitu buat apa CheZZin di undang sampe ke Amerika segala? Ya itu karna pemain-pemainnya udah termasuk profesional dalam mengarang musik apalagi ngebawainya.”

Ruben emang pernah cerita kalo CheZZin ngadain live concert di Amerika. Dan pianis muda menjadi bintang saat itu. Nggak salah lagi, itu pasti si Keiwataru.

Wow, Iwat keren abis.. udah cakep, genius, jago bikin lagu.. jangan-jangan..

Upps..

Apa’an, ngapain gue ngebangga-banggain si item ini? Kurang ajar, belagu, nggak pernah ngerti perasaan cewek, jorok lagi.. hiii..



L K J



Filsa.

Perempuan berdagu panjang ini berjalan melintasi rumah kos-nya menuju pintu pagar, hendak keluar untuk mengunjungi keluarganya yang tinggal di daerah Subang. Liburan gini emang saatnya untuk sekedar menengok keluarga dan menagih uang saku mereka.

Akhirnya mukanya kembali ceria sejak peristiwa tragis yang jelas melanggar HAM sebagai perempuan yang patut disayangi. Setelah melewati masa penyembuhan pembengkakan bola mata, Filsa pun berani lagi keluar rumah tanpa menggunakan kaca mata hitam.

Dengan dagu yang mengarah lurus ke bawah (Pastinya, apa ada dagu yang me-nyamping?), dia berjalan layaknya seorang penyelamat dunia yang tetap tegar walaupun kaos kaki keramatnya dicuri. Semua anak kos pun tercengok melihat ‘dagu’ nya yang terlihat lebih panjang 1 cm. Filsa makin menarik dagunya tanpa rasa malu sedikitpun (Sayangnya tak ada orang berdagu panjang yang ikut serta dalam penulisan naskah ini).

Saat di luar pagar, tangannya pun mulai melambai keluar bermaksud meng-hentikan angkot yang dari tadi hanya lalu lalang (Tak tertutup kemungkinan bahwa mereka ngeri dengan bentuk dagunya). Lambaian tangannya terhenti seketika ada yang menyambar bahunya, yang membuat ia membalikkan badan.

“Hei Filsa, mau kemana?” Iwat, ternyata ia yang menghentikan lambaian tangan Filsa. Apa maksudnya?

Tentu saja ada yang hampir sport jantung disini. Iwat yang pernah membuat hati-nya menjadi serupa dengan sabun colek, yang membuat matanya melebihi bola ping-pong, dan sempat membuat dagunya menyusut ½ cm, bersikap sok perhatian sekarang.

“Eh, mmm, hhh..” tak sebuah kata yang berguna di keluarkan Filsa.

Dag-dug-dig..

“Ehmmm, aku mau minta maaf soal tempo hari dulu. Waktu itu aku lagi kebawa emosi, jadi nggak bisa menjernihkan pikiranku untuk ngomong sama kamu.” Mukanya memerah padam.

Filsa menatap Iwat serius tanpa terhalang dagunya. “Aku nggak percaya kalo waktu itu kamu lagi emosi. Emang dasar sifat kamu kayak gitu kan? Nggak bisa nge-hargain perasaan cewek. Aku sadar, selama ini kamu baik sama aku Cuma ingin mainin perasaan aku doang, soalnya kamu bisa nebak kalo aku itu udah lama suka sama kamu.”

“Eeee.. nggak-nggak bukan maksud aku buat...”
“Udah lah Wat.”

Mereka sama-sama terdiam. Iwat mengetukan ujung sepatunya berkali-kali ke aspal. Suasana hening beberapa detik saat tak ada lagi mobil yang melintas.

“Trusss..” Filsa memecah keheningan saat tak ada respon lagi yang Iwat berikan.
“Ya... lo mau ma’apin gue nggak?”
“Gue nggak pernah nganggep serius masalah ini. Emang sih saat kejadian itu gue pengen banget nyekek leher lo. Tapi sekarang, biasa lah.”
“Oo...h.” Apa yang di maksud dengan ‘oh’ itu?
“Jadi, lo masih buka kemungkinan buat gue?”

Bumm..

Tenggorokan Iwat tiba-tiba saja tercekat dengan pertanyaan tadi. Tak ada suara sedikitpun yang mampu ia publikasikan saat ini.

“Ya enggak lah Wat, gue bercanda. Respon lo kayaknya sampe segitunya deh. Gue tau, lo lagi pedekate sama cewek lain, pesen gue Cuma satu, jangan buat mata cewek itu membengkak ya!” Filsa melancarkan aliran udara di tenggorokan Iwat.
“Cewek yang mana?”Show All
“Yang mana ya? Gue pergi dulu ya Wat, keburu sore nih.” Filsa kembali berniat menyetop angkot. Namun tangan Iwat kembali menyambar.
“Mau kemana sih? Gue anterin deh.” Iwat berlari kedalam dan kembali sambil mendorong vespa nya. “Silahkan naik!” Iwat duluan yang menuduki vespa itu.
“Mau ke Subang, lo mau nganterin?”
“Subang? Mmmm, gue anterin sampe terminal aja deh.”
“Okay, ngirit biaya nih.” Filsa duduk di belakang Iwat. Tas yang ia bawa tak besar, ialah hanya semalam.

Iwat menggas vespa nya. dia menatap ke pohon jambu sebelum menjalankannya. Disana berdiri seorang Ollie yang dari tadi mengintip. Mereka berdua menyodorkan jempolnya masing-masing. Dua detik, lalu pergi.

Ternyata Ollie lah yang memaksa Iwat untuk menyadari kasalahannya kemarin. Memang pertama Iwat menolak mentah-mentah. Namun 2 jam berikutnya, Iwat pun akhirnya setuju dengan alasan ‘kropos gue 2 jam dengerin khotbah lo’.

***
1 jam sudah waktu yang Ollie hitung saat Iwat pergi mengantar Filsa ke terminal. Dari tadi ia nyengir-nyengir sendiri bila membayangkan peristiwa semalam yang cukup memaksa batin Iwat. Seperti yang di bahas tadi, sampe 2 jam Ollie menceramahi Iwat tentang makna kasih sayang dan kata maaf, sampai akhirnya Iwat luluh. Bukan karna sadar, tapi ia kasihan dengan kupingnya.

Semenit setelah genap 1 jam kepergian Iwat, tiba-tiba lagu sexy back keluar dari speaker HP nya. Itulah tanda telpon masuk.

Ollie dengan sigap segera merogoh kantongnya. Dari layar HP nya, keluar tulisan ‘Iwat Item’. Ollie pun menekan tombol hijau.

“Assalamualaikum, bang!” salam Ollie pada Iwat, lawan bicaranya.
“Walaikumsalam, ngkong. Kagak penting lo pake salam-salaman segala!”
“Mengucapkan salam itukan pahalanya gede.”
“Iya-iya ngkong ku! Puas lo sekarang?”
“Ah.. kurang, mestinya lo nganterin dia sampe Subang, jangan Cuma ke terminal doang, dong!”
“Lo mau bayar ongkos bensinnya?”
“Gue balikin modalnya aja deh.”
“Trus tenaganya?”
“Dasar mata duitan!”
“Emang. Pokoknya sekarang juga lo ke kamar kos gue, pijitin seluruh badan gue 2 jam lamanya!”
“Itu sih mau lo. Dasar item..”
“Emang.”
“Norak..”
“Emang.”
“Gila..”
“Emang.”
“Pacar Filsa.. Emang”
“Em..., ‘Eeeehhh kampret lu.”
“Hahahaha”

***

Ketika sore semakin larut, Iren dengan tampang lesu berjalan mengeluari pintu rumah nenek. Ollie menemaninya sampai ke pintu luar. Setelah puas mereka menggosip, dan menikmati celotehan nenek sambil membantu-bantu di dapur.

Sebelum Iren pergi meninggalkan rumah ini, ia terlebih dahulu mengorek kantong celanaya. Selembar gocengan yang terlihat telah remuk dalam genggamannya. Tiba-tiba ia menaruh uang itu di atas telapak tangan Ollie.

Tentu saja Ollie heran melihatnya. Dia menatap Iren dengan nada ‘what`s wrong’.

“Gue mau berbagi kebahagiaan sama lo.” Iren menjelaskan. Namun tak jua membuat mimik Ollie berubah. “Itu hasil gue sama Ruben. Sorry deh kalo gue telat ngasih tau lo.”

Tampang Ollie mendadak berubah. Wajahnya penuh dengan seri-seri menakut-kan. Bibirnya terlalu lebar untuk tersenyum. Matanya terlalu belo’ untuk melotot. Rambutnya terlalu panjang untuk berdiri. Giginya terlalu kuning untuk unjuk. Nafasnya terlalu bau untuk berteriak....

“KOK CUMA GOCEEE.....NG???? PELIII....T”

***

-bersambung-

6/05/2009

BAB VI - Dia Lagi Deh

(harap bacanya dari bab I yaa)

Jam lima sore di rumah nenek, aktifitas rutin yang kebanyakan peng-huninya lakukan adalah:

1. Untuk nenek sendiri : masak makanan buat dimakan besok pagi (kenyataan bahwa microwave itu sangat berguna di rumah ini), ngemil kue bikinan sendiri sambil nonton acara sore atau biasa disebut dengan ‘infotaiment’.
2. Uwak Ning : menghindari kemalasan nenek memasak di pagi hari dengan menyiapkan makan malam (untuk malam), ngemil kue bikinan nenek sambil nemenin nenek nonton ‘infotaiment’.
3. Uwak Didik : masih ngurusin (bukan perutnya yang kaya gentong) usaha optik dan apoteknya yang kebetulan mempunyai kesamaan tempat.
4. Teh Tia : sibuk dengan pelajaran dan pengajarannya pada anak SD + SMP yang membutuhkan guru privat matematika (pelajaran yang sukses membuat Ollie pingsan saat ujian). Calon dokter genius yang keseharian-nya selalu diisi dengan membaca (buku pelajaran pastinya).
5. Sedangkan Ollie : dengan bangga memamerkan sebuah suara yang mengguncang di kamarnya. Menunjukan kehebatannya mengenai keberuntungan dalam tes SPMB kemaren.

Emang dari kecil Ollie mempunyai cita-cita untuk dapat menghibur orang dengan senandungnya. Tapi, semenjak menderita karna dilempar botol saat mengikuti lomba nyanyi di sekolahnya... membuat Ollie sadar dan memutuskan bernyanyi demi kesenangan pribadi.

Malam ini Ollie akan pergi lagi ke CheZZin lagi. Bersama Iren. Dan bejibun SMS yang memaksa, seperti...

Message 1, 15.47
From : Iren My Beibilop
Lie... syalan loe!! Kok kabur sih tadi,, pan msh ad yg mau gw omongin.

Message 2, 15.50
From : Iren My Beibilop
Udh kgk usah minta maap,, mlm ini kt k CheZZin, oce!

Message 3, 16.01
From : Iren My Beibilop
Kgk pake Protes!! Gw mau lo ngeliat lagi pianis kmaren. Kalo ganteng, pan lo jg yang seneng. Syapa tau dia yg bkl ngisi hati lo.

Setelah SMS ke-3 ia terima, Ollie jadi bener-bener berpikir. Pianis itu, jam setengah sembilan dia bakal main lagi. Dan Ollie jadi bener-bener membulatkan keinginannya mengikuti kemauan Iren. Mantaps.

Message 4, 16.45
From : Iren My Beibilop
ok deh, sepakat semuanya. Nanti gw jmpt lo jam 7.

Message 5, 17.31
From : _Regha
Ada suami lo tuh d MYTV.

Message 6, 17.33
From : Iren My Beibilop
ollie.. liat MYTV, please. Sekarang, please.

Yak, dari pembahasan tentang pianis, langsung berpindah ke acara Justin Timberlake di MYTV.

Message 7, 18.45
From : Iren My Beibilop
Gw jmpt lo sekarang. Jgn lupa bw White Broken-nya ya! Kt bhs nnt.

Duk-duk-duk..
Terdengar suara pintu di ketuk dari arah pintu utama rumah nenek. Tidak salah lagi, sekarang jam 7 malam, pasti Iren yang datang untuk menjemput Ollie. Ollie dengan segera berlari menyalip nenek yang baru saja ingin membuka pintu.

“Biar Ollie aja nek.” Ollie membuka pintu. Terlihat di luar Iren yang sudah berpakaian rapih, wangi dan cantik. Beda dengan dirinya yang masih memakai kaos oblong dan bercelana pendek. “Hoi.”
Iren menyempatkan 2 detik untuk melihat penampilan Ollie, lalu ia mengernyitkan dahi. “Lo mau pake ginian?”
“Gue belum mandi tau.”
“Hngaa..! Duh Ollie, udah berapa kali sih gue ngirim SMS ke lo, masa gak ada yang di baca?”
“Gue sengaja tau.” Ollie menarik Iren masuk ke dalem. “Supaya lo bisa kenal deket sama nenek gue.”

Mereka sampai di ruang TV. Di sana duduk nenek. Yang lagi asyik ganti-ganti ‘cenel’ TV.

“Nek, Ollie titip Iren ya.” Ollie meninggalkan Iren bersama neneknya. Sedangkan dia pergi ke ruang belakang untuk mandi.
Iren duduk di sebelah nenek, dengan senyum-senyum nakalnya. “Nek.”
“Eh iya, Iren nyak. Ollie teh sering cerita tentang kamu ke nenek. Mau pergi kemana sih, malem-malem, anak gadis juga.”
“Hngg.. mau ke cafe nek sebentar, ada urusan mendadak. Lagi nonton apa nek? Kok di ganti-ganti mulu.”
“Ini, lagi nyari ‘Infotaiment’, kumaha atuh, masa teu’ aya.”

Jeger.. jam 7 nih lebih nih, masih ada gosip?
***
Lima belas menit sudah Iren menunggu, akhirnya Ollie keluar juga dari kamar mandi. Tapi masih ada 10 menit untuk nunggu Ollie dandan, juga 5 menit untuk nunggu Ollie pamitan kepada neneknya.

Mereka berdua melewati gelapnya malam, lalu mereka memasuki mobil VW kodok Iren. Kini penampilan Ollie menjadi lebih fresh. Beda dengan Iren yang sudah mulai ngantuk.

“Gimana Ren pendapat lo tentang nenek gue.”
“Sama kayak lo, doyan nonton gosip.”

Mereka berlalu. Ollie tak akan lupa dengan pesan nenek tadi, ‘Hati-hati nyak geulis, di Bandung banyak brandalan. Jangan coba maen-maen sama mereka. Salah-salah nanti kamu diapa-apain lagi.’ Dan juga gak lupa pesan di sisi yang lain, ‘Kalo pulang, tolong beli’in nenek batagor, nyak!’. Huh.
***
Kembali dalam suasana klasik di CheZZin. Tempat ini kembali dipenuhi oleh wanita-wanita berlipstik dan farfum menyengat mereka. Ollie juga kembali merasakan kejanggalan saat berada disana.

Kalo Ollie nggak terpesona dengan alunan pianis kemaren, mungkin Ollie nggak akan rela balik lagi ke sini walau harus di seret sekalipun. Hanya ada 5 ke-giatan utama yang akan Ollie penuhi disini..

-mendengarkan alunan musik sang pianis kemaren.
-mendekati sang pianis.
-minta kenalan.
-sukur-sukur kalo ganteng minta no. HP
-kabur dari cafe itu dan berjanji tak akan kembali.

Namun sepertinya Iren berkehendak lain. Ada kegiatan di luar kegiatan Ollie tadi yang sudah Iren rencanakan. Penjabaran tentang buku White Broken kepada Ollie yang mungkin kurang mengerti dengan penjelasan-penjelasan dalam buku itu.

“Mana White Broken nya?” Iren menyodorkan tangnnya di depan Ollie.

Ollie mengubek-ngubek tas, dan mengambil sebuah buku yang dimaksud. Di taruhnya buku itu di atas tangan Iren. Iren membacanya sebentar (15 menit itu sebentar lho untuk membaca buku, apa lagi buat yang mau ngeguru).

“Gimana Ren, dapet nggak pokok bahasanya? Gue mah nggak ngerti.”
“Lumayan.” Lumayan, berarti Ollie masih harus menunggu lagi. “Dalem buku ini terdapat jenis-senis patah hati yang sedang pembaca rasain. Pertama patah hati karna kejenuhan dia terhadap lo, kedua patah hati karna penghianatan. Dan ketiga.. patah hati karna ditinggal untuk selamanya.” Iren memulai sesi pengajaran. “Kira-kira lo masuk kategori yang mana, Lie?”
“Menurut loe? Nggak ada apa yang patah hati karna di tinggal pergi ke Amerika dan sampe sekarang kita nggak tau keadaan dia.”
“Isi buku ini nggak mungkin sama persis kaya kisah lo.” Iren melotot dan memperkeras suaranya. “Ya mungkin elo masuk ke dalem kategori nomor 3 deh Lie.”
“Tapi...”
“Lo nggak tau keadaan dia sekarang. Lo sama Joni itu udah kayak di dua dunia. Menjalin cinta tapi tanpa kontak. Dan dalam kategori 3 ini, lo diajak supaya bisa nge ikhlasin kepergiannya karna takdir yang udah diatur. Ngerti.”

Ollie memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia enggan menatap mata Iren yang penuh harapan.

“Kita sama-sama kehilangan, tapi jangan berpiki negatif dulu.” Iren menggenggam pergelangan tangan Ollie yang makin mendingin. Lalu ia menutup buku yang ia pegang. “Kita lanjutin pelajarannya besok aja ya.”
“Lho, kenapa Ren? Gue gak sedih kok, terusin dong!” Ollie memaksa.

Mata Iren menunjuk seseorang yang sedang berjalan mendekati mereka.

“Hei girl!! Ada acara apa’an nih dateng kesini? Pada kangen sama gue ya.” Ruben nyamber dan langsung menduduki kursi yang tersisa di meja itu (meja Ollie dan Iren pastinya).
“Hati-hati, orang ge-er itu bibirnya jeber lho.” Saran Ollie dengan maksud ingin mengejek.
“Nandy mana nih? Kok nggak keliatan.” Ruben celingukan ke sekitar.
“Nggak pa-pakan kalo berdua doang? Aku Cuma mau nganterin Ollie yang mau kenalan sama pujaan hatinya kemaren.”
“Puja’an hati? Nanti dulu dong mbak, kita liat tampangnya dulu.”
“Jadi kalo ganteng, mau lo gaet? Kalo buruk rupa, mau lo apa’in dong?” Iren bertanya. Ollie tersenyum, senyuman yang nakal. “Wah, cewek dangkalan lo!” Dari senyum najong Ollie, mungkin Iren sudah dapat menebak jawabannya.
“Ngomong-ngomong, cowok yang lagi lo omongin ini, pianis kemaren ya?” Ruben memastikan dengan gaya yang ‘gue-alergi-sama-curut’. “Tenang aja, kalo liat tampang sih, lo nggak bakal kecewa.”

Iren dan Ollie saling tatap. Lalu mereka mengeluarkan senyum kemenang-an. “Inner nya gimana, Ben?”

Gaya Ruben kini berubah menjadi gaya yang ‘gue-geli-sama-anjing-buduk’. “Jujur, gue gak terlalu suka sama inner nya.” Ruben menatap pandangan sedikit kecewa dari raut wajah Ollie, begitu juga Iren. “Ya itu baru menurut gue. Semua itu kan relatif. Lo mau kenalan sama dia, Lie?”

“Mau, tapi kok dari tadi dia nggak muncul ya?”
“Hari ini dia lagi main di cafe sebelah. Sini gue anterin, kita nggak perlu keluar kok, tinggal lewat lorong belakang aja.” Ruben menarik tangan Ollie dan Iren. Dengan pasrah, mereka mengikuti kemana Ruben inginkan.

Mereka berjalan memasuki sebuah lorong. Lorong yang cukup besar dan gelap mungkin. Dengan tempelan-tempelan lilin kecil di dinding lorong itu. Lorong itu kira-kira mempunyai panjang 12 meter. Baru memasuki lorongnya saja suara musik dengan volume yang cukup memengangkan telinga sudah menggelegar.

Cafe ini sungguh berbeda dengan CheZZin. Suasananya anak muda banget. Dinding cafe ini hampir seluruhnya terdiri dari kaca. Warna sofanya hitam, merah dan sedikit kuning (maaf bila menjijikan). Orang-orang yang berada di dalem mengenakan baju yang lebih santai. Setara dengan baju yang sedang mereka gunakan. Musik yang dimainkan juga jauh berbeda.

“Cafe ini emang khusus buat kita-kita. Nandy aja yang terlalu tua, doyannya dengerin musik klasik atau jazz.”
“Aku juga suka kok sama selera musiknya mas Nandy.” Ollie protes.

Ruben berhenti pada sebuah sekat yang berisi seperangkat tempat duduk. Lalu ia melepaskan genggaman tangan yang menggenggam tangan Ollie dan Iren. Mereka menduduki pantatnya masing-masing.

“Kok tumben kita nggak duduk di deket panggung?” tanya Iren.
“Yang duduk di sebelah panggung itu khusus buat orang yang mempunyai kekuatan kuping lebih dari orang normal. Musik yang di mainin di panggung itu bisa ngebuat jantung lo lompat-lompat.” Ruben menjelaskan. “Cafe ini masih satu grup sama cafe sebelah. Namanya DubZZ. Oh ya, kayaknya Kei baru selesai main tuh, gue bawa dia kesini ya.” Ruben berlalu setelah mendapat anggukan kepala dari Ollie dan Iren.
“Ren, nama pianis itu siapa? gue lupa.”
“Mmmm.. Keiwataru Takainuchi katanya.”
“Lucu ya, namanya Jepang banget. Padahal katanya Indonesia asli.”
“Bokapnya Jappanesse holic kali.” Iren menatap Ruben yang berjalan men-dekat sambil membawa seorang lelaki. Mereka berjalan di belakang Ollie. Semakin dekat. Iren makin dalam melihat lelaki yang di bawa Ruben.

Siapa ya.. siapa ya.. kok kayaknya gue kenal. Iren bergumam dalam hatinya. “Lie, kayaknya gue pernah liat orang itu deh.”

“Oh iya, itu kan waitress yang nganterin minuman buat kita kemaren ya?”
“Bukan yang itu, di belakang.” Iren menunjuk tanpa memandang mata Ollie yang berlaenan arah.

Ollie membalikkan badannya.

“Lie, Ini yang namanya Kei.” Ruben memperkenalkan orang di sebelahnya.

Jegerr..

Bagai disambar petir rasanya. Lelaki bersweater ijo. Yang melayangkan hati Ollie lewat lagunya kemaren, yang dicari-cari untuk di ajak kenalan, ke’IWAT’aru. Bisa ya. Pertemuan mereka selalu tak bisa diduga.
Maksud semua ini apa?
***
Terpaksalah Ollie harus berbincang-bincang dengan Iwat, juga Iren yang sepertinya dari tadi punya niat buat nyomblangin mereka berdua. Iren bertanya macam-macam kepada Iwat.

“Ren, udah malem nih, nanti gue gak sempet beliin batagor buat nenek gue.” Ollie mulai mengeluh.
“Oh iya, kayaknya bentar lagi gue juga mesti manggung nih.” Iwat mem-bela.
“Ya udah lah, yuk Lie. Dah, Iwat. Lain kali ketemu lagi ya.”

Iren dan Ollie pergi ke lorong lagi untuk mengambil mobil nya di cafe sebelah. Saat ingin memasuki lorong, tiba-tiba ada waitress yang memanggil.

“Permisi teh, ini ada titipan dari A’ Ruben.” Waitress itu mengantarkan sebuah potongan kertas kecil kepada Iren.
“Buat saya?”
“Katanya sih buat Iren.”
“Oh, makasih ya.”
“Sami-sami.” Dia berlalu.

Iren masih bingung dengan kertas itu.

“Buka dong Ren!” pinta Ollie.
“Entar aja ah.” Iren memasukannya ke dalam saku celananya.

***
Di dalam sebuah kamar kos yang simple dan dingin, tergeletek seorang perempuan cantik sedang mengalami kecapekan akibat menemani temannya keliling-liling nyari kios batagor yang berada di Bandung seluas ini.

Sambil tiduran,ia mencoba merogoh kantong celananya, dan mengambil sebuah kertas di dalam (kantong maksudnya). Setelah beberapa detik mencari, akhirnya tersentuh juga (woi.. woi.. maksudnya kertas itu). Dia membuka, dan membaca sebuah tulisan..

08167577xx
Please, call me on 11 o’clock
Ruben


Dia melihat ke jam dinding ber title Monokorobo black and white yang terpaku di atas kasurnya. 11.36, sudah terlambat sih, tapi mungkin Ruben masih menunggunya.

Diambilnya sebuah HP dan langsung ia pencet 10 digit nomor yang telah tertera. Iren (nah akhirnya Iren juga) menunggu, masih menunggu dan saking lamanya menunggu, Iren hampir saja mau menutup sambungan itu. Tapi saat ia ingin memencet tombol merah, tiba-tiba terdengar suara keras keluar dari HP-nya.

“Halo, siapa sih nih? Jam segini nelpan-nelpon, lo kira gue ini kuntil anak apa?” suara itu terdengar kasar dan sedikit semaunya. Mungkin akibat tak sadar-kan diri saat menerima telpon itu
“Ruben. Kamu yang nyuruh aku nelpon, tapi kok kamu yang ngambek?”
“Eh, Iren.” Suara di sana terdengar lebih segeran. “Lagian kamu nelpon jam segini! Aku kan nyuruhnya jam 11.”
“Ya ampun, Cuma kelebihan setengah jam doang.”
“Setengah jam..” Ruben diam, sepertinya ia sedang melihat jam. “Setengah jam tujuh menit.”
“Beda dikit. Mau ngomong apa sih, cepet dikit dong.”
“Mmmm, Ren.”
“Ya...”
“Emm.....”
***
“I MISS YOU...? Hahahahaha.”

Ollie berkaget-kaget ria di kampus saat Iren menceritakan kejadian semalam bersama Ruben. “Gila, 2 kali pertemuan lho.” Ollie menyodorkan tanda peace ke depan mata Iren, dengan suaranya yag masih tersendat-sendat.
“Iya, baru dua kali pertemuan.”
“Hebat lo Ren, itu tandanya si Ruben jatuh cinta sama lo.” Ollie menepuk pundak Iren.
“Gue juga tau, tauan manasih gue sama lo soal cinta?”
“Ya tauan lo dimana-mana lah. ‘Oww, jangan-jangan lo dah jadian lagi. Pajak nya dong?” telapak tangan Ollie terbuka di depan mata Iren.
“Belum.”
“Massssaaak”
“Capek ah ngomong sama lo!” Iren mempercepat jalannya menjauhi Ollie dengan senyum-senyum malu.

Saat Ollie berlari mengejar Iren, tiba-tiba.. “Waaaaw, Outch.” Kakinya terjelembab ke dalam got kecil, dan mengakibatkan sebuah bunyi ‘cklik’ dari telapak kakinya yang berada dalam got. “Adaaaww!!”
***

Iwat berjalan memasuki kantin terbesar di kampus ini. Dan kantin inilah yang paling doyan ia datangi. Selain masakannya enak, letaknya juga tak jauh dari gedung Elektro. Dia biasa datang kesini sekitar jam 12 untuk menemui Dean, selingkuhannya (bussyet). Sama dengan hari sebelumnya, Dean lah yang paling rutin datang, semetara Iwat, kalo dia lagi segan aja.

Masih dengan keadaan santai ia menerobos bau-bau makanan yang menggoda. Tanpa menghiraukan suara misterius yang memanggil-manggil nama-nya. Dia masih berjalan sampai akhirnya menemukan incarannya.

“Hei Bro! Wah, makan apa nih? Bagi-bagi dong.” Iwat nyerocos sambil me-ngangkat semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Dean.
“Heh.” Dean kembali mengambil semangkuk mie ayam yang sayang bila di relakan untuk Iwat. “Tumben lo kemari?”
“Kangen aja sama kamu.” Iwat duduk di samping Dean dan memeluk tubuhnya. Dean yang terganggu langsung memberontak. “Biasa aja kale.”

Dean melahap makanannya dan menunggu Iwat yang sedang memesan makanan juga. Tidak berlangsung lama, Iwat-pun kembali membawa sebotol pepsi.

“Dapet salam tuh dari Dini, katanya dia baru putus sama cowoknya.”

Tak ada reaksi apapun dari Iwat saat mendengar kabar itu, dia masih meminum pepsi nya santai. “Ehemmm. Udah 11 kali gue denger kabar itu. Nggak penting banget sih, ngapain pake nyampe’in ke gue. Mau dia putus kek, mau dia cere’ kek, mau boker, mau ngidam, mau teler, mau mati, yang namanya ‘Dini’ mah bukan urusan gue.”
“Sok jual mahal lo! Cewek sempurna di tolak.”
“Heh, nggak ngerti-ngerti ya lo. Udah gue bilangin, ‘cewek itu nggak penting’ (sialan lo Wat), bisanya Cuma nyusahin cowok doang. Meronta-ronta sok manja untuk minta dikasihani.”
“Dikasihi.”
“Sama aja.”
“Beda kasep (ganteng).”

Istri = Pi, Papi. Mami udah nggak kuat lagi nih, mau ngelahirin.
Suami = Sabar ya Mi, jalanannya masih macet nih.
Istri = Cepeeet,salip-salip aja mobil di depan.
Suami = Sabar Mi, sabar. Mana bisa nyalip, nanti kita nya yang mati.
Istri = Udah deh kalo kayak gini lebih baik Mami aja yang mati sekalian!

“Huh. Bikin ‘Capek deh’.” Iwat berhenti sebentar untuk menyedot pepsi-nya.

Sementara Dean, dia hanya mendengarnya secara pasrah, padahal dia udah sering banget mendapat penjelasan itu dari mulut Iwat sendiri.

“Ehemm. Dan lagi, menurut cowok sinting katanya cewek itu bisa me-muaskan nafsu laki-laki. Tapi apa’an, kebahagiaan yang mereka kasih itu semu. Bisanya Cuma ngasih anak doang, selebihnya, laki juga kan yang ngurus anak itu.”

Suami = Buset dah, stiap hari gue dijejelin bakwan goreng mulu ya.
Istri = Heh, masih mending dimasakin, mami sibuk nih! Gak ada waktu masak.
Suami = Sibuk apa’an? Uang, ada yang ngurus, anak, ada juga yang ngurus. Sibuk shoping mah? Masak itu kan gak lama.
Istri = Papi udah nggak percayaan lagi sama mami, kalo gitu Mami mati aja deh!

“Itu mah emang si Mami-nya kagak normal.” Dean melahap suapan ter-akhirnya.
“Nah, sama aja kayak cewek-cewek biasanya.”
“Kalo gitu elo yang punya kelainan!” Dean bergegas meninggalkan Iwat. “Ada satu pemberian cewek yang gak bakal lo temu’in dalam sosok cowok. Cinta. Setiap cowok bakal luluh bila mendapatkan cinta seorang cewek.” Dean berlalu meninggalkan Iwat yang masih termangu.
“Hmm, cinta.” Iwat berkata seolah ‘gue-nggak-kenal-sama-dia’. “Dasar Ten‘dean’.” Dia menghabiskan pepsi-nya, dan kemudian pergi menjauhi kantin. Iwat.. Iwat, makanya kalo mau ngerasain cinta, belajarlah menghargai cewek!

***
Dalam sebuah ruangan, sepi, seorang wartawan yang wajib menunaikan segala kewajibannya, diminta untuk mengintrogasi seorang psikolog awam tentang apa dan akibat patah hati itu.

“Bagaimana menurut anda tentang manusia yang sedang patah hati?” Wartawan membuka pertanyaan.
“Mmm.. menurut saya manusia yang sedang patah hati itu harus memiliki banyak duit untuk membayar psikolog handal seperti saya. Ooo.. syukur-syukur mereka bersedia untuk melaksanakn operasi pencucian otak. Ya.. sekedar menghindari...”
“Sory-sory pak, apa itu tidak terlalu berlebihan?”
“Okay, bagi orang yang gak mau ambil ribet atau ‘kere’, sepertinya RSJ lah tempat yang cocok untuk mereka.”
“Saya tidak sedang membicarakan orang sakit jiwa.”
“Apa bedanya?”
“Orang patah hati itu cenderung masih nyambung dibanding orang sakit jiwa.”
“Lho.. saya kan pakarnya, kok anda yang sewot sih?”
“Ya.... What ever lah.”
“Truss, apa yang akan anda tanyakan disini?”
“.......”

Sejak saat itu sang wartawan pun menyadari bahwa ternyata orang pintar itu banyak yang sakit jiwa.
Ya.. memang sakit jiwa..
Orang terpelajar itu banyak yang sakit jiwa..
Orang patah hati gak kalah banyak yang sakit jiwa..
Percintaan terhadap sesuatu menjerumuskan kita ke penyakit itu..
Cinta pelajaran, cinta karier, cinta pacar..

Cinta itu bodoh..
Memang cinta itu bodoh..

Ya..

“Memang cinta itu bego.”
BUKK
Sebuah hantaman buku esiklopedia 2380 halaman pun berhasil membangunkan Iwat dari semua mimpi singkatnya.
“KAMU LEBIH BEGO!! Dasar Iwat. Siapa yang nyuruh kamu tidur di kelas saya??!!”

***

Sebuah tragedi di rumah neneknya Ollie.

“AAA....WWW, AMPUUUUN NEKK. SAKKIIIT.”, teriak Ollie yang sukses membangunkan kebo mati di Madiun (entahlah).
“Cicing (diem) atuh, geulis.” Nenek dengan tenaga kebonya dalam proses pe-remukan kaki Ollie yang keseleo.
“Aduh.. duh.. patah nih, patah.” Ollie makin gelisah.

Krek..
Nenek makin sadis.

“ASTAGFIRULLAH......”

***

6/04/2009

BAB V - Denting Pertama

Hmm.. hari pertama ospek. Tegang.. tentu mereka rasakan. Apa lagi buat mereka yang gak kuat di bentak-bentak, seperti Ollie. Sungguh gak bisa nahan untuk mengeluarkan air mata bila dibentak. Tapi dia akan mencoba untuk selalu positive thingking bahwa dia bisa dan tidak akan buat masalah.

Ollie keluar dari mobil Iren, lengkap dengan atribut yang wajib dikenakan, seperti papan nama terbuat dari kardus dan bertalikan ravia yang sudah dikepang, kaos oblong putih, celana levis super duper rusuh, topi tentara, rambut acak-acakan, dan.. segala perlengkapan lagi yang membuat orang lain yakin bahwa ‘mereka lah orang gila depan rumah gue’.

Banyak orang yang berpelengkapan mirip dengan Ollie dan Iren masuk ke dalam kampus. Merekalah teman-teman senasibnya. Ollie menghembuskan nafas-nya panjang, dan menatap Rata PenuhIren dengan perasaan tegang.

“Santai aja kali Lie. Asal lo turutin semua yang mentor suruh, lo gak bakal nangis deh.” Iren menghibur dan sedikit menyindir.
“Gue bakal buktiin kalo gue gak cengeng lagi.”
“Seterah ape kate lo dah!” Baru saja mereka melangkahkan satu kakinya, tiba-tiba tepat di belakang mereka sesuatu teriakan keras yang telah sukses mem-buat kebo terbangun. Teriakkan menyuruh semua untuk segera masuk ke dalam.

Ollie, Iren dan yang lainnya yang masih berada di luar, segera masuk ke dalam kampus. Di sana sudah berkumpul para Junior dan mentornya. Mereka berdiri sembarangan di manapun.

Iren sepertinya sudah mempersiapkan secara mantap, bukti dari tadi dia cengar cengir mulu. Beda dengan Ollie yang gak henti-henti berdoa sambil me-yakinkan hati.

First day... first day. Apa saja bisa terjadi di first day.

***

First day, hmm.. benar-benar melelahkan. Gak ada yang bisa memungkiri-nya. Tapi kesenangan di hari pertama dan terakhir akan melebihi hari berikutnya (Semoga kalian setuju).
Semua mahasiswa keluar dari kampus saat jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Dengan muka yang sudah tak berbentuk lagi. Baju putih mereka sudah ber-mmetamorfosis menjadi sedemikian rupa, ada yang berubah warna, ada yang berubah bentuk, bahkan ada yang lenyap tak tersisa lagi (just for boys!!!).

Kaki mereka seakan berjalan sendiri tanpa ada perintah berarti dari pengendalinya. Kadang ada mata yang tak terbuka. Al hasil, sedikit kecelakaan pun terjadi. Gak sedikit yang saling menubrukkan diri ke pohon, tiang, maupun temannya sendiri.

Ollie yang baru kena hukuman dari mentor karna ke lemotannya men-jalankan perintah, jelas-jelas udah gak sanggup lagi menghentakkan kakinya akibat hukuman berlari berpuluh-puluh menit. Untung saja seorang laki-laki kenalan Iren bernama Nandy yang senantiasa mau membopong Ollie di belakang sampe ke mobil Iren. Padahal Nandy itu kan gak lain adalah mentor mereka juga, yang waktu itu jadi korban curi-curi pandangnya Ollie. Ternyata dia masih kenal sama Iren.

Iren masih setia mengelus-ngelus punggung Ollie sambil berjalan. Padahal dia juga sedang dilanda kecapean.

Ollie-Ollie, untung loe masih punya sahabat yang selalu menyertai loe dimana-mana.

Nandy mendudukkan Ollie di kursi VW Iren. Ollie menghembuskan napasnya (hal ini mungkin lebih wajar di lakukan Nandy).

“Maafin mereka yah, mereka emang keterlaluan. Dari dulu aku emang gak pernah suka sama yang namanya senioritas. Tapi..”
“Gak papa kok Mas Nandy.” Panggilan ‘mas’ menyertai nama Nandy. Walaupun ini adalah Bandung, tapi sebagian besar mahasiswa di sini berasal dari Jawa. Jadi sudah terbiasa para Junior memanggil Senior nya dengan nama panggilan khas Jawa.
“Ya udah, kalo ada apa-apa, ngomong aja sama aku.” Nandy berdiri dan menutup pintu mobil setelah menerima anggukan kepala Ollie. Iren yang udah duduk di sebelah Ollie, segera mengeluarkan mobil dari parkiran, dan me-lambaikan tangannya ke arah Nandy lewat jendela mobil yang terbuka. Bukan terbuka, tapi emang sengaja dibuka. Maklumlah, mobil Iren yang gak ber AC akan membuat nya sesak napas di dalam apabila tidak ada udara yang masuk.

Pandangan Ollie terhadap Nandy semakin dalam. Ollie gak henti me-mandang sampai akhirnya tak terjangkau lagi oleh matanya. “Entah kenapa ya Ren, setiap gue natap Nandy, kok tiba-tiba gue inget jelas Joni. Gue ngerasa kalo di antara mereka berdua ada ikatan batin.”
“Hmm.. emang sih Nandy itu mirip Joni, tapi.. gak mungkin kan mereka kakak-adek?” Iren serentak mengembalikan kartu parkir ke sang penjaga gerbang.
“Gue gak pernah tau kalo Joni punya sodara kandung.” Ollie mengerutkan dahinya. “Ya semoga aja ini jadi pertanda.”
“Pertanda?”
“Pertanda kalo gue masih di ijinin ketemu Joni.”

Iren memaklumi kerinduan Ollie yang udah beberapa bulan ini mesti rela menahannya sendiri “Oh ya Lie, kemaren lo mau curhat apa?”

Ollie tersenyum kecil. “Udah lah, gak begitu penting.” Senyum Ollie makin mengejek.
Ejekan yang terlalu tertuju pada kebodohannya menunggu Joni pulang.

***

Ini dia hari terakhir, setelah seminggu lamanya diadakan. Jelas hari terakhir ini tidak terlalu melelahkan seperti hari pertama. Semuanya bergembira, hari ini penuh tawa. Pukul 7 malam semuanya udah pada bubar dan berhamburan kemana-mana. Beberapa dari mereka ada yang berteriak me-nandakan keresmian mereka menjadi mahasiswa.

Pastinya termasuk Ollie. Dia gak bisa nyangka kalo dia bener-bener bisa jadi mahasiswa Universitas unggulan. Berarti gak lama lagi, cita-cita Ollie untuk menjadi pengusaha sukses disamping cita-cita nya yang ingin menjadi istri Justin Timberlake, akan tercapai.

“Iren.. Ollie..” seseorang memanggil dari belakang. Iren dan Ollie pun serentak menengok.
“Halo Mas Nandy!”
“Hai.. eh selamat ya.. kalian udah berhasil ngelewatin masa-masa menyebalkan ini.”
“Menyebalkan? Masa sih? Masih ada tuh masa yang lebih menyebalkan. Jika harus di cekokin ujian-ujian aneh.” Ollie menggerutu.
“Hahaha.. bisa aja kamu Lie. Ke caffe dulu yuk, refreshing.” Nandy mengajak.
“Caffe, dengan bau badan yang kayak begini?”
“Udahlah nggak apa-apa, gak akan kecium kok, tempatnya gede.”
“Boleh sih, ayo. Mas Nandy naik apa.”
“Aku naik angkot.”
“Yaudah, naik mobil aku aja yah.”

Ya masa sih kalian ngebiarin gue naik angkot sendiri.

***


CheZZin!!
International Cafe and Restaurant


Begitulah nama yang terpampang di cafe bermodel heritage modern ini. Dari gedungnya aja, sudah tergambar suasana classic yang sangat bernilai.

Iren memarkirkan mobilnya, sederet dengan mobil-mobil mewah. Mungkin pemilik mobil mewah akan mengira bahwa salah satu ac disini tidak berfungsi, sehingga harus di service dulu, atau atap dapur yang kebetulan bocor, saat melihat mobil Iren yang terparkir disana.

Mereka masuk ke dalam cafe dengan dipimpin oleh Nandy. Ollie dan Iren celingukkan melihat ke sekitarnya. Semua perempuan yang keluar masuk hampir semua berparfum sungguh menyengat, serta-merta accesoris dan pasangan lelakinya. Mereka seolah menatap ilfill ke arah 3 pemuda berbau apek. Di hati Ollie dan Iren pun serasa ada yang mengganjal. Mereka mulai saling sikut-menyikut.

“Mas Nandy, aku gak tenang nih. Sampai kapan kita berjalan melewati mereka-mereka?” Iren membisik ke kuping Nandy.
“Sampai kita duduk disini.” Nandy menyentuh kursi dan langsung mendudukinya. Kursi dan meja berkaki tinggi yang terletak pas di depan sebuah panggung berisi alat-alat musik pemainnya.

Ollie dan Iren ikut duduk di kursi yang pas tersisa dua. Mereka kembali celingukan.

“Mas gak malu apa? Disini itu tempatnya orang-orang berkelas! Bukan anak bau kencur kayak kita.” Ollie
“Udah lah, kalian pada dengerin musiknya aja, keren-keren. Itung-itung buat cuci otak dari kejadian kemarin.” Emang keren-kerensih musiknya.

Nandy mengambil menu makanan yang sudah tertera di atas meja. Dan segera melambaikan tangan untuk mengharapkan seorang waitress datang. Tak berangsur beberapa menit, salah satu dari mereka menghampiri.

“What can I do for You?” disini semua penghuni memakai bahasa International. Bahkan cleaning service pun bergosip dengan bahasi inggris.
“Kalian mau pesen apa? Apa aja, kali ini aku yang bayarin.” Nandy menyodorkan daftar menu.

Ollie yang duluan menggapainya, mulai melihat-lihat. Iren nebeng. Nama makanannya aneh-aneh. Entah nama makanan dari manakah ini. Mereka nggak berani melihat harganya. Tapi Iren ingin menguji nyalinya. Hampir ia melihat satu angka dari beberapa angka di harga itu, sebelum akhirnya Ollie menutup buku menu itu.

“Ada Mi Rebus telor nggak?” Ollie bertanya seolah mengejek cafe CheZZin ini. Iren menyikut Ollie yang tak bisa menyembunyikan kehumorannya. “Aku bingung Mas Nandy, aku cukup teh anget aja deh.”
“Ollie....” Nandy masih tersendat-sendat setelah tertawa.

Ollie kembali membuka daftar menu di bagian minuman. “Ok, Soft Blue Berry.. apalah itu namanya.” Ollie yang hanya asal nebak, memberikan daftar menunya ke Iren.

Tapi langsung di tutup oleh nya. “Samain aja deh.” Iren mengoper ke Nandy.

“Well, two ‘Soft Blue Berry’ and one ‘Hot Cappucino’.” Nandy berbicara pada waitress. Waitress itu pergi setelah membacakan kembali minuman-minuman yang baru di pesan.
Plok-plok-plok...

Sebuah grup band baru selesai dengan pertunjukannya. Seluruh pemain me-nuruni panggung disertai dengan tepuk tangan para pendengarnya, termasuk tiga remaja tadi. Seseorang yang baru turun dari panggung, datang menghampiri Ollie, Iren, dan Nandy.

“Woi bro! Bawa cewek lo sekarang.” Orang itu menepuk bahu Nandy.
“Temen. Ya.. tepatnya mereka junior gue di kampus.”
“O.. Junior. Hei, I’m Ruben.” Ruben menyodorkan tangannya. Pertama ke Ollie, orang yang dia anggap paling muda.
“Ollie.” Ollie dengan sigap menggapainya.

Seperti yang diperkirakan, tangan Ruben berpindah menggapai tangan Iren yang sudah duluan menyodorkannya. “Iren.”

Nama itu seakan meleleh di kuping Ruben. Tangannya lembut, suaranya lebih lembut. Ruben terpesona dengan Iren. Sepertinya ini sebuah tanda.

“Ehemm.” Ollie menyadarkan Iren dan Ruben yang sudah 5 detik berjabat tangan sambil berpandangan. “Lama banget pegangannya.”

Lantas mereka berdua menarik tangannya kembali. “Sorry.” Ruben membalikkan badannya untuk mengambil sebuah kursi dari meja lain, dan membawanya kesini.

“Udah lama lo gak kesini Nand.” Ruben diam saat seorang waitress datang mengantarkan minuman. “Ngapain aja, setahu gue kerjaan lo belakangan ini Cuma nongkrong di sini sambil minum Hot Cappucino.” Sanggahnya sambil mengangkat segelas Hot Cappucino milik Nandy. Tanpa minta izin, Ruben langsung menyesapnya. Nandy pun tak rela, dia menarik gelas itu. Biasanya kalo Ruben udah ngambil barang miliknya, sulit untuk berharap akan kembali.

Ruben adalah sahabat Nandy yang terbilang paling dan sangat dekat. Belum lama sih, kira-kira sekitar 2 tahun lalu. Nandy memergoki Ruben sedang transaksi obat-obatan terlarang di sudut kota Bandung.

Ruben nekat ingin mencoba obat-obat itu karna tidak sanggup memenuhi kemauan orang tuanya. Mereka memaksa Ruben untuk melanjutkan kuliah dalam bidang hukum, sementara dirinya lebih memilih untuk bermain musik. Waktu itu umurnya masih 18 tahun. Dia kabur dari rumahnya karna merasa terkucilkan oleh saudara-saudaranya. Tapi dia juga tidak tau mau memperdalam hobinya ini kemana. Tak salah lagi, Nandy lah yang melamar Ruben di CheZZin. Dan sampai sekarang dia menjadi salah satu andalan caffe ini dalam bermain gitar.

Kembali ke suasana di caffe.

“Gue sibuk mikirin Ospek belakangan ini.” Nandy menjawab. “Gimana jalan-jalan ke ...... nya?” Kira-kira baru kemarin Ruben balik dari kota itu.
“...... ? Yang bener?” Ollie langsung tertarik. Jelaslah, disitu tempat Joni berkuliah. “Asyik banget sih, ngapain aja?”

Iren menyikut tangan Ollie pelan. Segitu kagetnya apa? Mentang-mentang ada Joni disana.

“Disana gue pentas, bukan gue doang sih, hampir satu DubZZ. Namanya juga caffe International. Semuanya di bayarin deh.”
“Oh ya.. ketemu sama Jon.. mm maksud aku Justin Timberlake nggak?”
“Kebetulan waktu itu dia nonton. Huh banyak cerita nih......” Ruben memulai ceritanya “Bla..bla..bla..”

Entah kenapa Ollie jadi gak konsen dengerin cerita Ruben, padahal dari awal dia yang paling semangat kalo denger cerita tentang Justin Timberlake. Tiga detik setelah cerita di mulai, Ollie mendengar seseorang mendentingkan piano di atas panggung. Sebernya dari tadi piano itu sudah berdenting. Tapi lagunya beda. Mungkin kalo hanya suara piano biasa, dia masih bisa mendengar cerita Ruben, tapi suara ini begitu masuk ke dalam hati Ollie. Dia sungguh terpesona.
Ollie membalikkan badannya bermaksud ingin melihat siapa pemainnya. Baik cowok maupun cewek. Umur 10 tahun atau 80 tahun. Tapi tak terlihat. Yang Ollie lihat hanya sebuah Grand Piano. Pemainya terhalang. Ollie mengernyitkan kening. Masa dia harus medekati piano itu, hanya untuk melihat pemainya.

Lagu itu masih bermain. Tak pernah Ollie sampai seterkesan ini. Apa lagi Ollie mempunyai kenangan tak mengenakkan tentang piano. Ollie dulu pernah kursus piano. Tapi dia merasa tidak pd saat melihat gurunya itu, benar-benar ahli dalam bermain piano. Semenjak itu dia sangat sakit hati bila melihat orang bermain piano.

Setelah +/- 5 menit lagu itu dimainkan, pemainnya berdiri, memberi hormat tanda selesainya lagu. Semua bertepuk tangan, termasuk Ollie, tidak termasuk Nandy, Iren, dan Ruben, mereka masih asyik berbincang. Pianis itu menuruni panggungnya. Dia seorang laki-laki. Belum tua. Sepertinya masih seumuran dengan Ollie. Wajahnya tak terlihat, dia memakai kupluk berwarna putih, dan bertali. Aneh, biasanya pianis-pianis yang pernah Ollie lihat, semuanya memakai Jas dan berdasi. Sedangkan dia hanya memakai sweater abu-abu, blue jeans, dan sneakers. Apalagi di padukan dengan kupluknya. Tubuh Ollie gemetar saat melihat dia turun ke belakang panggung.

“Hua.. ha.. ha.. ha..” Iren, Nandy, dan Ruben tertawa terbahak-bahak secara bersamaan. Suara mereka jelas membuat Ollie sedikit terlompat dari tempat duduknya. “Gila, gokil abiss. Haha.” Iren masih terpingkal-pingkal.
“Kenapa sih?” Ollie bertanya kepada siapa saja yang mau menjawab.
“Kenapa? Emangnya kamu gak dengerin Lie?” Nandy balik nanya.

Ollie perlahan-lahan menggeleng.

“Sorry, gak ada siaran ulang.” Ruben meledek.
“Tadi aku terlalu serius dengerin suara piano.” Ollie memelas. “Ben, ngomong-ngomong tadi siapa sih yang main piano?”

Ruben berpikir sejenak. “Yang mana?”

“Baru aja tadi selesai.”

Ruben menatap jam tangan nya, tertanda jam 8.39. “Hmm.. setengah sembilan. Anak itu ternyata udah pentas.”

“Ooow.. anak Japannesse itu ya?” Nandy memastikan.
“Japannesse? Namanya doang yang terlalu ngayal. Tampangnya Indonesia sengak banget.”
“Emangnya kenapa Lie? Tadi gue juga sempet dengerin lagunya.” Iren
“Gue mah makasih deh.” Ruben mengangkat tangannya. Sepertinya dia benci dengan orang itu.
“Aku kebawa banget sama musik itu. Aku bener-bener seolah terbang waktu dengernya.” Ollie menggambarkan perasaanya.
“Cie.. yang lagi terbuai nih.”
“Namanya siapa sih Ben?” tanya Ollie lagi.
“Keiwataru Takainuchi. Puass?”
“Kalo panggilannya?”
“Nggak penting banget sih nanya gituan.”

Ollie tak menanggapi ketidak sediaan Ruben untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Dia masih menatap ke arah panggung, berharap pemuda tadi akan kembali. Sambil menyedot soft blue berry yang ia pesan tadi, tetes demi tetes ia keluarkan dari sedotan, dan baru lima tetes minuman itu menyentuh lidahnya..

Burrrr...

Ollie tanpa perasaan bersalah, menyemburkan minuman (lebih tepatnya ludah) itu ke Ruben yang berada tepat di depannya. Dia langsung menampakkan tampang kepanikan dan kepahitan.

“Kenapa lo Lie?” Ruben mengusap wajahnya yang penuh dengan cairan berwarna biru tua. Nandy dan Iren kembali tertawa.
“Wek.... minuman apaan nih?” Ollie menjulurkan lidahnya.

Iren mencicipi minuman yang satu menu dengan minuman Ollie, dia malah tak sampai 2 tetes mencicipinya. Dia sudah menjulurkan lidahnya, sama seperti Ollie. Iren menatap Nandy minta penjelasan.

“Ya orang itu alkohol, gue kira dari tadi lo pada emang minum gituan?”
“WHAT” Ollie dan Iren bersamaan.
***

Matahari sudah tinggi di atas para mahasiswa UPB yang berjalan kemana kemari. Kesibukan di sana sudah terasa lagi. Ada yang bener-bener mau belajar, main, pacaran, bahkan yang sekedar minjem lapangan olahraga. Mahasiswa/i disini memang tak setaat yang dipikirkan.

Termasuk Iwat. Mahasiswa semester 3 yang mengambil Tekhnik Elektro ini, sudah terkenal di kalangan dosen sebagai The Danger Student. Sudah berkali-kali dia mendapat surat peringatan, sudah berkali-kali dia berada di ujung tanduk D.O. Cukup banyak alasan kenapa Iwat dijuluki The Danger Student. Pertama, tukang ribut di kelas. Dan kedua, bila dia sudah mengamuk, tak kenal siapapun yang akan dianiaya, dosen pun jadi. Tapi alasan Kampus untuk tidak men D.O. nya juga tak kalah kuat. Prestasinya tak sedikit. Dia selalu mendapat peringkat pertama di setiap semester. Bila ada olimpiade, dia-lah incaran utama.

Siang ini Iwat masih berada di kampus. Dia sudah berkali-kali berjanji pada dirinya untuk tidak lagi meninggalkan kelas. Dan setiap dia berpikir seperti itu, ada saja alasan tak masuk akal yang membuat dia malas masuk kelas. Lagi beres-beres kamar, nganterin temen yang kecelakaan, nemenin kakak belanja, atau menghadiri pemakaman orang yang sama sekali tak ia kenal. Padahal alasan-alasan itu hanya untuk menutupi ke jenuhannya bertemu dosen yang selalu ia kutuk.

Seperti halnya pagi tadi, dia membolos hanya karna ingin makan soto Bu Bariyah yang jelas-jelas lebih enak di nikmati pada malam hari.

Iwat berjalan dengan tenang disekian banyak orang yang mondar-mandir karna takut terlambat masuk kelas. Dengan tas selempang, celana 7/8, kaos lengan panjang, dan sepatu sneakers andalannya, Iwat berjalan dengan bawaan cool nya. Dia selalu menjadi idola para cewek-cewek di sana, dan 90% penggemarnya itu juga menjadi cewek incaran para lelaki malang di kampusnya. Tapi menjadi idola di sini malah membuahkan bencana baginya.

Simaklah apa yang terjadi siang ini..
“Iwa....t. Duh, kamu kok susah banget sih dicari, dari mana aja?” itu Mia, salah satu pengemarnya. Dia doyan makan, tapi badannya kurus sekali. Itu lah yang memperjelas kandungan cacing yang bebas berenang di dalam perutnya.
“Nggak dari mana-mana kok.” Iwat memaksakan senyumnya.
“Wat, makan bareng di kantin yuk.”
“Iya duluan aja, nanti gue nyusul.” Iwat pergi.

Di tempat lain...
“Assalamualaikum, A’ Iwat.” Yang ini Siti, cewek paling alim yang pernah menjadi idola Iwat. Liat aja, dia selalu manggil Iwat dengan sebutan A’a, padahal jelas-jelas lebih tua-an dia dibanding Iwat.
“Walaikumsalam, Sit, kalo mau nanyain tentang ka’idah-ka’idah agama, tunggu gue di kantin aja deh.” Iwat pergi.

Di tempat lain lagi...
“Hei..... kamu lagi sibuk ya, say.” Ini nih yang paling di gemari cowok-cowok di sini, Chintya, cewek berbadan eksotis ini selalu membuat Iwat merinding jika berada di sampingnya.
“Eh.. eh.. aduh.. duh.. tunggu dong Chin, jangan di raba-raba.” Iwat men-coba melepaskan belaian tangan Chintya dari tubuhnya. Bahaya.
“Say.. nanti malem mau kencan sama aku gak?”
“Ok.. ok, kita bicarain ini di kantin.” Iwat pergi.

Di tempat lain lagi-lagi...
“Woii.. Iwat!! Sini lo!! Kita mesti lanjutin pertandingan kemarin. Kemaren emang gue kalah, tapi nggak untuk sekarang!” Kekey, cewek sangar berbadan atletis yang gak henti-hentinya ngajakin Iwat tanding basket.
“....” Iwat tak bisa berkata-kata.
“Ah, cemen banget sih, kalo udah siap, jemput gue di kantin ya!”
Iwat berjalan menjauh tanpa perintah dari otaknya.

Kira-kira 2 meter dari tampatnya berdiri...
“Ehhmmm.. ehmm.. Iwat, mau gak kamu pacaran sama aku?” cewek ini yang paling Iwat benci, Vika, terlalu to the point, dan ke pd-an, udah 9 kali dia nembak Iwat secara langsunf. Iwat kenal dia juga karna dia nembak Iwat. Dan sebelumnya, merasa ketemu aja kagak.
“Enggak!!!!” Iwat kasar dan menjawab mantap. Mantaps.
“Ah bo’ong, pikirin lagi dong. Vika tunggu jawabannya di kantin ya..” Vika pergi menjauh dengan tampang berseri-seri.
“Anjrit.”
Masih berdiri emosi disitu.
“Iwat..”
“Siapa lagi sih?” Iwat menengok gemas ke arah datangnya suara. Ternyata dia bukan perempuan. Dia Dean, cowok terdeket Iwat di kampus. Dean itu tak lain adalah temen satu jurusannya Iwat. “Eh lo, knapa?”
“Lho, mestinya gue yang nanya ‘kenapa’.”
“Capek gue lama-lama ngehadapin yang namanya cewek.” Ya.. seperti yang pernah di bahas, Iwat itu nggak pernah tertarik sama cewek, apalagi sampai jatuh cinta. Pengalaman pacaran sih pernah, tapi itu hanya untuk ajang coba-coba, baru 2 hari jadian, putus, paling lama waktu pacaran Iwat hanyalah 3 hari. Satu lagi, Iwat ini juga di kenal dengan tukang mainin cewek. “Gue mesti gimana ya supaya bisa bebes dari cengkraman mereka.” Iwat mengacak-ngacak rambut jabriknya.
“Hahaha... emang takdir lo kali. Gue pengen makan nih, temenin ke kantin dong.” Iwat menuruti kemauan Dean tanpa berpikir lagi apa yang akan terjadi disana.

Di kantin yang bising..
“Nyet, kita dimana?” tanya Iwat gelisah.
“Di kantin lah.” Jawab Dean santai.
“KANTIN...?”
“IWWWAAAA.....TT!!!!!!” segrombolan kuntilanak berlari mengejarnya.

Malang memang harus di hadapi. Tapi mungkin dia kurang mensyukuri kelebihan tampang yang dimilikinya. Hingga kelebihan itu dapat menjadi bencana.

Untung Iwat masih sempet lolos dari cewek-cewek di kantin tadi. Ini tak sepenuhnya berkat Dean. Dari tadi, disana dia hanya sedikit berusaha melepaskan Iwat dari panggilan-panggilan aneh, selebihnya dia tertawa terpingkal-pingkal bahkan terguling-guling.

Iwat memasuki kelasnya. Dia terlambat 10 menit. Jelas lebih cepat dari biasanya yang bisa masuk 30 menit setelah kelas dimulai. Untung saja kali ini dosennya belum dateng. Iwat mengambil kursi paling belakang, karna kursi bagian depan sudah dipenuhi oleh anak-anak sok pinter yang hanya ingin mendapat pujian karna kesan seriusnya dalam pelajaran. Lagi pula duduk di kursi belakang memang incaran Iwat sejak pertama kali masuk. Dia bisa leluasa makan permen karet, bikin balon dari permen karet, nempelin permen karet di bawah meja, dan tidur. Hip..hip..horrey.

Dia duduk pas di sebelah seorang cewek. Kebetulan ada sesuatu yang ingin di tanyakan.

“Sssst.. cewek. Sst.” Iwat memanggil.

Cewek itu menengok, lalu tersenyum seolah berkata ‘Ada apa’. Iwat sedikit geli menatap senyumnya itu. Sepertinya ini tanda-tanda akan bertambahnya fans Iwat.

“Lo tau gak, kenapa cewek itu Cuma tertarik sama cowok?” pertanyaan nggak jelas yang bisa bikin alis perempuan naik karna matanya yang makin membesar.

Cewek tadi mengernyitkan dahi, dan memutuskan untuk membaca kembali buku yang ia pegang, tanpa harus menjawab dulu pertanyaan yang baru saja Iwat ajukan.

“Oi, bisu ya? Jawab dong kalo lo masih merasa seorang cewek.”
“Cowok waras biasanya masih bisa mikir.” Dia membereskan berbagai pe-ralatan di mejanya, dan bergegas mencari tempat duduk lain untuk menjauhi Iwat.
“Dodol.” Iwat membuka sebuah buku tulis dan mengambil pulpen dari saku celananya. Dengan perasaan yang masih jengkel, dia menulis.. ‘Janji, kalo udah lulus nanti, gue bakal lebih memilih nikah ama cowok..’.

Iwat melepaskan selembar kertas itu dari bukunya. Sejenak ia memandangi dahulu potongan kertas itu. Lalu ia meremasnya, dan melemparkannya kemanapun tulisan itu akan menampakan dirinya.

Selama beberapa detik kertas itu melayang, lalu ia memutuskan untuk kembali mendarat. Tepat disaat Pak Mahmud, seorang dosen yang mempunyai tugas untuk mengajar, memasuki ruangan.
Pluk..

Kertas itu mengenai kepalanya. Pak Mahmud mengambilnya. Ia tentu tertarik untuk segera membacanya, lalu..

“Siapa yang bertanggung jawab atas ini?”

Pak Mahmud sport jantung secara berlebihan yang hampir membuat dirinya tergelepar di lantai, ketika terlihat semua telunjuk mengacung ke Iwat.
***

Lain lagi dengan Ollie, ini saat pertamanya ia belajar di kampus. Tentunya tak banyak yang sudah ia ketahui tentang hidup anak kuliahan. Sedikitnya pengetahuan yang ia ketahui bahwa anak kuliahan itu wajarnya sudah memiliki gandengan, atau wajibnya sudah mulai mencari.

Jam segini, saatnya Ollie untuk bersantai menikmati ke indahan orang-orang di kampus. Kelas pertama Ollie baru selesai 1 jam yang lalu, dan masih butuh beberapa menit lagi untuk kelas berikutnya. Selama waktu kosong ini, Ollie hanya mengisinya dengan membaca buku di bawah sebuah pohon diantara pohon-pohon rindang lainya.

Hanya membaca buku.. ya, buku yang baru kemarin di belikan oleh Iren di toko buku sepulang dari CheZZin. Mungkin kalo cuma novel atau komik, Ollie akan membelinya sendiri, tapi kalo buku tentang ‘tips tips baik melupakan dia’ Iren yakin, Ollie tak akan menyentuhya. Tadinya Ollie juga tak mau menerima buku yang mempunyai judul ‘White Broken’ itu, ngapain juga Ollie nyimpen barang gituan. Kalo Cuma tips seperti itu, gak bakal di ambil hati olehnya. Tapi mungkin Iren terlalu ngebet nyuruh Ollie untuk se-cepetnya ngelupain Joni. Secepetnya bahkan setelah menamati buku itu, perasaan Ollie akan langsung hilang terhadap Joni.

Dari tadi ia memegang buku itu, tak ada satupun kalimat yang dapat ter-cerna dengan baik. Yang ia perhatikan hanyalah cover bukunya yang berwarnya merah marun kombinasi pink dan putih dengan gambar sebuah cocholate heart yang terbelah dua. Selain cover Ollie juga memperhatikan penulisnya.

Kalika Noerin Mentari, nama yang terpampang di dalam profil penulis. Dia menulis buku ini dengan harapan ingin menyadarkan orang-orang yang frustasi karna patah hati, tanpa harus menghancurkan hidupnya sendiri. Dengan jujur dia mengatakan sudah tiga kali menjalin hubungan dan tiga kali kandas di saat mereka mulai serius. Yang pertama, cowoknya harus pergi mengikuti kemauan orang tua untuk mempersunting orang lain. Yang kedua, tiba-tiba saja minta putus tanpa alasan yang jelas, dan baru ketahuan 3 hari setelah mereka putus, ternyata cowoknya itu udah selingkuh semasa mereka masih pacaran. Dan yang ketiga, meninggal karna kecelakaan maut.

Sangat menyedihkan pastinya. Ditinggal oleh orang terkasih secara tiba-tiba. Setelah membaca penggalan cerita ini, Ollie jadi berpikir akan ke pergian Joni selama ini. Apa mungkin dia ke Amerika untuk menemui jodoh yang telah dicarikan oleh ayahnya. Mungkin juga dia sengaja lari ke Amerika bersama cewek selingkuhannya untuk menjauhi gangguan Ollie. Atau... Hhhh sudahlah, Ollie tak akan memaksa untuk berpikir negatif tentang Joni.

Ollie menaruh buku itu di atas pangkuannya. Dia melirik kesekitarnya hanya sekedar untuk menjauhkan anggapannya tadi. Gerakan mata Ollie terhenti pada pohon di seberang pohon yang lagi di tongkrongin Ollie. Laki-laki berkemeja panjang kotak-kotak dengan kancing yang tak terlewatkan, celana jeans, rambut jamur, dan kacamata berukuran super dengan tebalnya yang mungkin mencapai ½ cm, sedang duduk dan sepertinya memperhatikan Ollie.

“Ha..ha..ha..” Ollie terbahak menatap keculunannya. Siapa sangka, orang yang dimaksud itu berjalan mendekati Ollie, tentu saja Ollie jadi gak tenang melihat langkah demi langkah orang itu saat berjalan mendekat.
“Permisi.” Orang itu memulai pembicaraan. “Apakah saya bisa...”
“Ire...n!!!” Ollie memotong kalimat orang aneh itu saat dia melihat Iren sedang berjalan di depan tak jauh dari tempat Ollie duduk. Kebetulan sekali ada Iren di situasi yang nggak jelas kayak gini. “Permisi.” Ollie segera berlari meninggalkan Orang tadi dan mendekati Iren.
“Hei Lie! Kenapa lo? Kok kelabakan gitu.”

Saat ditanya, Ollie langsung memindahkan pandangannya ke orang tadi, dia juga menatap Ollie sambil nyengir-nyengir dan memamerkan giginya yang berbehel. “Hiiiyy.” Ollie sedikit menggetarkan kepalanya.

“Kenapa sih Lie?”
“Itu, ada orang aneh yang nyengirin gue mulu.”

Iren memandang kemana telunjuk Ollie mengarah. Tanpa harus di deskripsikan lebih jelas lagi, Iren sudah dapat menemukan orang yang dimaksud, orang aneh yang lagi ngeliatin Ollie. “Haa..h. maksud orang itu apa’an?”

“Mana gue tau. Tiba-tiba dia ngedektin gue sambil senyam-senyum gitu. Gimana gue nggak ngeri tau nggak.” Ollie berbisik di telinga Iren. Dia mendorong tubuh Iren disertai lari kecil kakinya. Mereka berlalu meninggalkan orang gila yang ternyata bukan satu-satu nya hidup di kampus ini.

Setelah jauh berjalan dari tempat tadi..

Di tempat ini Iren kembali membicarakan soal pertemuan Ollie dengan cowok ingusan. Rambut poni jamur. Behel warna coklat di gigi. Kacamata yang melebihi kapasitas wajah. Dan pakaian era bokap Ollie di jaman dulu.

“Hahaha... sumpah, tuh anak udah jadi model calon kriminalwan (apalah itu namanya) yang udah gak punya lagi harapan sebuah masa depan yang ceria. “Kok bisa cowok berparas kutu yang melekat di buku itu merhatiin lo.”
“Itu bukan kutu buku lagi, tapi jamur di buku.” Ollie meralat.
“Baru tau gua ada jamur yang mau tumbuh di buku.”
“Ya contohnya dia. Udah lah Ren, bosen gue. Ganti topik!”

Ollie dan Iren memasuki kantin, lalu duduk diatas salah satu kursi kantin itu. Selama perjalanan, sudah banyak topik yang mereka bicarakan. Mulai dari saling menukar memori mereka tentang kehidupan di SMA dulu. Menjelek-jelekan saudara kandung sendiri. Mengungkit gosip-gosip seleb tadi pagi. Sampai memperserbasalahkan kejadian impor tomat busuk dari Singapur ke Indonesia.

“Bagaimanapun juga, itutuh salah Singapur, ngapain dia Impor tomat busuk kesini.” Sanggah Iren.
“Ya emang, tapi mungkin Singapur gak tau kalo tomat yang dia Impor itu busuk semua.”
“Ok, mungkin juga wak tu di pak tomat itu belum busuk.”
“Nah. Dan jadi busuk karna kelamaan diperjalanan, atau karna faktor cuaca yang tak memungkinkan untuk kemakmuran tomat-tomat itu.”
“Hmmmm.. tapi Lie, masa segitu begonya Singapur ngirim tomat kesini, padahal mereka harusnya udah tau kalo tomat itu nggak bakal bertahan lama-lama, apalagi kalo nganterinnya Cuma pake kapal.” Iren memprotes. “Lagi pula gue baru denger kalo di Singapur punya kebun tomat yang makmur, sampe-sampe Indonesia minta dikirimin segala. Padahal jelas-jelas Indonesia itu punya bejibun tomat seger di setiap kebunnya.”

Hening, Ollie menahan tawanya.

“Tuh kan, gue kena kibul lagi deh.”
“HaHaHaHa....”
“Kamprettt!!!” Iren menggelitik tubuh Ollie, sebentar sebelum dia me-nemukan sebuah buku di tangan Ollie. Iren menarik buku itu, lalu me-mandanginya. “Ternyata lo mau baca buku ini juga, Lie?”

Ollie dengan sigap merebutnya.

“Nggak usah di sembunyiin, lo emang mau ngelupain Joni kan?” Iren mengeluarkan nada menuduhnya. “Udah sampe pelajaran yang mana?”
“Oh iya, jam segini gue ada kelas. Udah dulu ya Ren, gue gak mau telat nih.” Ollie panik meninggalkan Iren dan kepenasarannya.

***