3/08/2009

Mati Suri

Pagi hari di Jakarta. Sebuah sekolah elite yang begitu luas menjulang di pusat keramaian Pondok Labu. Ya, Pondok Labu yang identik dengan pasar dan kemacetanya. Mengapa tidak? Terbukti baru jam setengah enam pagi saja jalanan sudah dipadati dengan berbagai macam aktivitas. Baik itu ngojek, narik angkot, ngemis, malakin orang, bahkan shopping di pasar.

Tapi jam setengah 6 bukanlah waktu yang tepat bagi murid-murid SMA Altanara Pondok Labu untuk sudah melakukan aktivitas di sekolah. Masih ada waktu sekitar 1 jam bagi mereka untuk sekedar santai di rumah sebelum akhirnya memerintahkan supir keluarga agar segera mengantar mereka ke sekolah.

Palingan yang sudah ada hanya tukang bersih-bersih, penjaga sekolah dan satpam yang memang sudah tugas mereka datang lebih pagi.

Namun hari ini sepertinya ada penghuni baru yang bersedia datang lebih awal dari pada penghuni lainya. Seorang pemuda berpakaian seragam seadanya dengan baju keluar dan kancing yang tidak tertutup rapih kini menjadi sorotan. Ia berjalan sepanjang koridor sekolah dengan membawa sebuah tas selempang yang sangat tipis, enteng, dan mungkin orang yang melihatnya akan beranggapan bahwa di dalam tas itu hanya berisi satu set pakaian dalam wanita. Gerakan tubuhnya santai, namun terlihat begitu kelelalahan, sambil memegang perutnya yang ceking, sambil sesekali meludahkan cairan merah ke saluran air sekitar koridor. Rambutnya sudah tak berbentuk lagi. Dan makin lama langkahnya makin terhuyung.

Dan matanya kosong, kering, gelap.

Ia berusaha menutup luka memar yang tergambar di sekitar bibirnya dengan sebuah handuk kecil yang ia bawa ketika seorang penjaga sekolah melintas di depan matanya. Melihat aneh kearahnya.

Ia memaksakan kakinya untuk berjalan cepat ke arah toilet laki-laki. Dengan gerakan yang sangat tergesa-gesa, ia menghampiri toilet dan menendang pintunya cukup keras. Sesampainya di toilet, yang masih gelap gulita tentunya, ia kembali meludahkan darah kental dari mulutnya ke wastafel.

Anak ini disini dengan keadaan seperti ini bukan karna habis tawuran atau berantem dengan preman. Palingan ia habis di gebukin oleh papahnya lagi. Namanya juga Andez, tiada hari tanpa ribut dengan papahnya. Padahal jam segini masih bisa dibilang subuh, tapi mereka sudah membuat kejadian saja. Sampai-sampai Andez melarikan diri ke sekolah yang belum ada penghuninya.

Andez membanting tubuhnya di dinding toilet dan melemaskan kakinya hingga dia terduduk sekarang. Ia meremas rambut dengan kedua tanganya hingga rambutnya kini berbentuk seperti rambut Wolfring di film X-Men. Hatinya ingin sekali menjerit, namun selalu saja ia tahan. Entah apa yang membuat dia merasa malu untuk menjerit, mungkin karna ia selalu berusaha tidak menganggap penting kekekerasan yang ia terima dari papahnya. Bila ia terus menghardik, sama saja dengan ia mansukseskan misi papahnya untuk membuatnya membencinya.

Dan beginilah akibatnya, semakin ia pendam, semakin sedikit orang yang tau, semakin ia merasa tersiksa. Tubuhnya bergetar hebat sebelum ia merasakan ada setetes air, dan diikuti beribu teman-temanya mengalir di pipinya.

‘Bangsat, kenapa gue mesti nangis, sih?’ ucapnya dalam hati

Kalau bukan karna mamahnya, mungkin Andez sudah melarikan diri dari rumah itu. Hidup menjadi orang yang kabur dari rumah mungkin akau lebih menyenangkan. Free. Bebas dari peraturan-peraturan bullshit yang telah memberatkanya. Namun rasa sayang terhadap mamahnya lah yang membuat ia selalu berpikir lagi setiap berencana untuk kabur dari rumah.
Air mata tak henti-hentinya mengalir dari kedua matanya. Hal ini telah membuatnya merasa seperti perempuan, menyelesaikan semua masalah dengan tangisan. Namun siapa yang mau peduli? Andez tetaplah Andez. Yang banci, yang pecundang, tidak punya teman setia, tidak punya orang tua yang menyayanginya. Dirinya adalah miliknya, tidak ada yang bisa mengatur lagi. Andez pun meringkuk diantara kedua lututnya. Membenamkan wajahnya sangat dalam, begitu dalam, hingga jiwanya pun ikut tenggelam.

Orang yang melihatnya mungkin akan mengira bahwa ia sedang tertidur. Namun Andez tidak akan semudah itu untuk terlelalap dalam pikiranya yang seperti ini. Ia memang tidak bergerak, sedikit pun, memang seperti orang tidur, tapi ini beda, matanya terbuka di dalam ringkukanya, gelap dan kosong.

Andez kembali mati suri.

***

“Andez, Andez, kamu kenapa nak?”, bisik orang di sampingnya. Suaranya berat dan menyeramkan. Namun bila sudah mendengar suara orang ini, hati Andez sepertinya aman, seperti ada yang menyelamatkanya.

Orang itu membangunkan Andez dari ringkukanya. Ia menyenderkan kepalanya di dinding toilet dan memaksakan matanya yang masih lebam oleh air mata untuk melihat ke sekitar. Cukup ramai, sekitar 5 orang-an yang berada di dalam toilet itu, menatapnya penuh duka. Pak Fabian, guru olahraganya yang sedang berlutut disisinya. Suaranya lah yang telah membangunkan Andez dari mati surinya.

“Ada apa? Apa yang baru saja terjadi? Kenapa muka kamu memar-memar begini?”, tanya seseorang di belakang Pak Fabian, guru BK-nya, Bu Alvina, yang membuat Andez sedikit terenyuh. Seorang perempuan masuk toilet laki-laki? Dan 2 yang lainya adalah guru mata pelajaran yang tidak terlalu ia kenal. Sedangkan 1 nya lagi, penjaga sekolah yang tadi sepertinya. “Andez? Jawab pertanyaan ibu nak?”

Andez membetulkan posisi duduknya yang mulai merosot. “Kenapa? Saya nggak apa-apa.”, telah terdengar suara hiruk pikuk di luar sana. Sepertinya sekolah sudah lumayan ramai. “Wah kayaknya saya ketiduran cukup lama ya disini.”, ia tersenyum, licik sekali.

Pak Fabian menatap ke arah penjaga sekolah, orang itu segera menangkap respon darinya dan tiba-tiba memberikan sebuah handuk kecil ke Pak Fabian yang Andez ketahui adalah miliknya. “Teman kamu, Ingga, menemukan ini di depan toilet ini. Ada bercak darahnya. Apakah ini milik kamu Andez?”

“Dari dulu anak ini memang misterius ya? Punya masalah tapi ga diomongin, jadinya begini kan.”, kata guru mata pelajaran lainya.

Tidak ada sama sekali niat Andez untuk menjawab pertanyaan mereka semua. Yang ia inginkan sekarang hanyalah sendiri.

Bu Alvina mendesah, “Yaudahlah pak, langsung dibawa keluar aja, kasian dia.”

“Ayo.”, Pak Fabian menatap mata Andez dalam, namun seperti biasa, Andez tidak membalas tatapanya. Seketika itu Andez langsung ditarik berdiri. Tubuhnya yang masih lemas dirangkul oleh tangan kekar Pak Fabian mengeluari toilet.

Belum sempat melihat keadaan di luar, tiba-tiba ada tubuh wangi menubruknya. Tubuh mungil ini terus memeluk erat tubuh Andez.

“Ingga?”, bisik Andez di telinganya. Ingga, mantan kekasih Andez, salah satu dari sekian banyak orang yang telah dibencinya.

“Kamu kok bisa jadi kaya gini sih?”, tanya Ingga tersedu. Ya, dia menangis.

Andez diam, dia merasakan ada yang aneh dengan semua ini. Ini bukan kali pertamanya Andez bonyok di sekolah, tapi ini baru pertama kalinya orang-orang jadi perhatian terhadapnya. Ia mencoba melihat keadaan dari atas rambut Ingga. Betul-betul ramai hingga ia tidak dapat membedakan mana teman-temanya yang biasanya memakai seragam sekolah.

Sejauh mata memandang, hanya terlihat bapak-bapak memakai jas hitam kulit dan beberapa memakai kemeja berwarna coklat. Tidak ada yang ia kenal. Mungkin diantara mereka masih ada guru-guru yang ia kenal, namun sama sekali tidak ada teman-temanya.

Ada apa ini? Ada acara apa di sekolah hari ini?

Pelukan Ingga yang begitu keras berhasil dilepas oleh Andez. Ia membutuhkan ruang pernapasan untuk dapat mencerna semua ini. Dan beberapa detik kemudian, setelah seorang dari sekian makhluk berjas hitam kulit menghampirinya, akhirnya Andez menemukan jawabanya.

Polisi, disini, di hadapanya.

“Maaf kami dari kepolisian, ingin menangkap saudara bernama Andezta Andhika Faryandaris, atas tuduhan pembunuhan terhadap saudara Ferry Agusta Faryandaris.”

Fantasi Andez seketika melesat ke kejadian pagi hari tadi. Apa? Apa yang dia lakukan? Tidak ada yang ia ingat. Sama sekali. Yang ia tau ia sudah berada di sekolah dengan tubuh penuh memar yang ia yakini adalah perbuatan papahnya.

Tiba-tiba seorang wanita muncul diantara kerumunan polisi, ia menangis, begitu deras, membuat hati Andez sangat sakit. Itu mamahnya, mungkin yang melaporkanya.

“Maafin mamah, Andez. Mamah ga tau harus ngomong apa. Mamah..mamah.”

Andez tak sanggup lagi melihat wajah mamahnya, yang ia inginkan hanyalah alasan mengapa ia harus ditangkap.

“Tapi kenapa? KENAPA? AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN, PAPAH YANG TERUS MUKULIN AKU!!”, Andez berteriak dan kembali meremas kepalanya.

“KAMU ITU KENAPA ANDEZ? KAMU AMNESIA? KENAPA KAMU TIDAK PERNAH MENGINGAT PERBUATAN BURUK YANG UDAH KAMU PERBUAT?”, mamahnya membalas teriakanya, membuat Andez dan seluruh orang disana terkesima. “ADA APA ANDEZ? SETAN APA YANG UDAH NGERASUKIN KAMU?”

Secara tiba-tiba, bayangan itu muncul, kejadian tadi pagi. Ketika papahnya sedang menghajarnya habis-habisan, ketika Andez berusaha untuk melarikan diri, dan ketika Andez dengan sadis melayangkan sebuah guci ke arah papahnya.

Andez benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah membunuh papahnya sendiri.

Apakah ada sesuatu yang merasukinya?

Atau apa dia memang sedang benar-benar mati suri saat itu?

***