Langit sore itu begitu menakjubkan. Warna oranye yang mewarnai setiap titik keberadaan awan sendu membuatku tak ingin melewatkan setiap detik keajaibanya. Merasakan sejuknya angin senja yang senantiasa mengayunkan beberapa helai daun di ranting-ranting itu. Aku tersenyum membaringkan badanku di atas taman rumput, menyatu dengan alam, benar-benar tidak ingin beranjak.
Hatiku terenyuh saat mendapati pandangan indah ini memudar, terhalangi oleh genangan air yang membendung di kelopak mataku. Semakin penuh dan pudar, hingga akhirnya rubuh sudah. Setetes air mengalir di pipi, diikuti berpuluh teman-temanya. Banyak hal yang bisa saja kutangisi saat ini. Termasuk saat seekor burung kecil, entah dari mana asalnya, terbang di langit melewati batas pandanganku.
“Aku ingin seperti burung yang bisa terus terbang tinggi. Tak peduli sudah seberapa tinggi ia terbang, seberapa jauh ia meninggalkan tempat asalnya, ia akan terus terbang menemukan tempat baru dimana kehidupan yang ia inginkan berada.”
Jujur, aku baik hampir dalam segala hal. Termasuk berlogika dan apapun yang berhubungan dengan akal sehat. Namun belakangan aku baru menyadari bahwa aku tidak terlalu baik dalam memaknai arti kehidupan. Kalau bukan karna anak ini, mungkin aku sudah buta dengan perasaan.
Ia lah Ihsan Ramadhana, seorang anak laki-laki yang saat ku temukan tengah berumur 17. Dimana nyaris aku membunuh anak itu dengan menabrak hidup-hidup tubuhnya menggunakan mobilku.
Saat itu aku sedang mengendarai sebuah mobil sepulang mengajar dari sebuah bimbingan belajar. Hujan deras yang membahana terang saja menghalangi sebagian pandanganku ke jalan, membuatku nyaris tak bereaksi saat seonggok tubuh manusia mendadak tampak dari depan sana. Siap untuk di seruduk.
BAM!
Rasanya jantung ku sempat berhenti berdetak. Bukan main kagetnya. Beruntungnya tangan ini sempat membanting kemudi ke arah berlwanan (dan yang lebih beruntungnya tidak ada mobil yang balik menabrak mobilku saat ku mengalihkan kemudi, nampaknya akan lebih tragis).
Aku menoleh hendak memastikan bahwa orang itu masih berada di tempatnya berdiri tadi tanpa mengalami lecet sedikitpun. Sialnya, yang kudapati justru kerumunan orang yang sedang mengeremuni sesuatu, orang itu terkapar di tengah jalan!
“Oh man, C’mon!” rintih ku panik sambil membuka pintu mobil dan berjalan menghampiri tempat kejadian, hujan-hujanan tentunya. Beberapa orang disana terdengar mencaci maki diriku dengan kata-kata yang sudah tidak lagi bisa ku cerna dengan akal sehat. Sial, mereka tidak tau bahwa gue—juga—nyaris—mati—kali. Dan sebagian dari mereka mulai mengangkut tubuh itu hendak dibawa ke tempat yang lebih aman, setidaknya tidak di tengah jalan seperti ini. “Mmm maaf pak, masukan ke mobil saya saja, biar bisa langung saya bawa ke rumah sakit.”
Dan tinggalah kami berdua di dalam mobil, sang korban dan korban lain yang tidak diangap. Dengan basah kuyup tentunya, aku kembali menerobos hujan walaupun perasaan canggung masih menyelimuti otak ini. Aku memberanikan diri melirik korban yang sedang terbaring itu melalu kaca di mobilku, anak remaja ternyata.
“Hei, kau masih bisa bertahan, kan? Kumohon jangan mati dulu.” Tanyaku, nyaris setengah sadar saking panik nya. Dan tiba-tiba anak itu bangkit dari tidurnya, duduk tenang sambil menerawang ke luar jendela, seolah-olah baru saja dibangunkan dari tidur siang.
“Helo?” aku heran.
“Kau tidak perlu membawaku ke rumah sakit.” Anak itu akhirnya angkat bicara.
“Ha? Tapi kau kan terluka.”
“Aku tidak apa-apa, hanya lecet sedikit, sudah biasa.”
“Kalau begitu dimana rumahmu? Biar kuantar.”
“Jangan, aku tidak ingin ke rumah, turunkan saja aku disini.”
“Loh, tahu tidak, kau tadi nyaris mati, dan bukan hanya itu, aku juga nyaris mati karna jantungan melihat orang bodoh bengong di tengah jalan. Kenapa sekarang kau berlagak seolah tidak terjadi apa-apa?”
“Hmmm…aku memang bodoh, semua orang bilang seperti itu kok. Makanya aku ingin bunuh diri.”
“………”
Beruntung, hal yang kulakukan selanjutnya bukan menurunkannya saat itu juga dari mobilku, walau dengan emosi yang semakin memuncak di ubun-ubun, kubawa dia ke apartemen ku tak jauh dari tempat tadi. Entah kenapa akhirnya aku memutuskan untuk membawanya kesini. Ya, tentu aku tak bisa berlaga tidak peduli dan membiarkanya bunuh diri dengan cara yang ia mau. Seorang anak muda seperti dia, tampan, dan hidup di era canggih seperti ini, masih berpikiran untuk bunuh diri?
Kubiarkan dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian ku untuk sementara. Kuberi dia secangkir teh hangat, saat ku mulai melontarkan beberapa pertanyaan basa-basi yang sesungguhnya menjerumus ke persoalan bunuh diri tadi. Tentu cukup sulit memancing hingga anak ini ingin menceritakan kehidupan yang mungkin begitu pribadi ini, namun sepertinya tidak akan sesulit bila aku yang bertanya.
Seperti yang pernah ku bilang, aku adalah seorang guru matematika di sebuah bimbingan belajar, ya, sebenarnya itu hanya sebuah selingan untuk mengisi waktu kosong, sekaligus menyalurkan hobi mengajarku. Aku sesungguhnya adalah seorang mahasiswa S2 fakultas psikologi. Bertemu dengan remaja-remaja labil seperti anak ini merupakan sebuah tantangan bagiku. Tantangan untuk menelaah hidupnya, syukur bisa membantu memperbaikinya.
Setelah melalui percakapan panjang hingga akhirnya aku dapat mengetahui nama asli nya, Ihsan pun memulai kisahnya.
“Aku gamau pulang, aku bosan dengan aturan rumah. Mereka selalu menentang apa yang ingin kulakukan seperti seorang bayi yang harus terus diawasi. Kau tidak akan bisa membayangkan betapa sempitnya lingkup duniaku bila tidak merasakanya sendiri, mungkin beribu kali lebih menyakitkan dari yang kini kau bayangkan.” Penjelasan Ihsan yang nampak dipenuh dengan kedengkian. “Sekarang aku sudah kelas 3 SMA, apakah salah jika aku juga ingin melakukan apa yang aku hendaki?”
“Tidak semua apa yang ingin kau lakukan baik di mata mereka Ihsan, mereka adalah orang tua mu, mereka lebih berpengalaman di dalam kehidupan ini. Mungkin mereka sudah merencanakan sesuatu yang kelak lebih berguna untukmu. Bukan kah tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya terpuruk?”
“Kau tau apa yang ingn kulakukan?”
“Memang tidak, tapi apapun itu kurasa harus dipertimbangkan lagi. Karna menjalankan sesuatu tanpa restu orang tua tidak akan berkah. Ingatlah kau bukan satu-satunya anak yang mengalami masalah seperti ini, banyak sekali anak-anak seperti mu.”
“Ya, kau memang tidak tau apa-apa.”
“Kalau begitu apa rencanamu?”
Ihsan menyeruput teh hangatnya yang mungkin sekarang makin terasa hangat seiring dengan obrolan kita yang mulai mendekati ke klimaks. “Aku ingin ikut tes perguruan tinggi, aku ingin ke ITB. Layaknya lulusan sma pada umumnya. Hanya itu kok.”
Aku diam sejenak, berusaha menelusuri alasan masuk akal seorang orang tua sehingga tidak memperbolehkan anaknya berkuliah di ITB. Mungkin mereka ingin Ihsan menjadi dokter? Atau mereka tidak ingin ia pindah ke Bandung? Belum sempat aku menanggapi nya, Ihsan melanjutakan.
“Aku yakin mereka tau sekali kalau ITB adalah impian terbesarku. Memang tidak mudah masuk sana, dan untuk orang biasa saja sepertiku bisa dibilang mustahil bisa keterima. Tapi apa salahnya jika aku mencoba. Dan asal kau tau, jangankan masuk ITB, untuk ikut tes perguruan tinggi saja aku tidak boleh.”
“Lalu yang mereka inginkan apa kalau bahkan ikut tesnya saja kau tidak boleh?” mulai terasa terheran-heran mendengar ceritanya.
“Mereka ingin membawaku ke London.”
“Bukan pilihan yang buruk bukan? Banyak universitas disana yang jauh lebih menjamin daripada ITB.”
“Bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai pasien.”
Untuk kedua kalinya selama percakapan ini, aku tidak bisa berkata apapun. Lagi-lagi berusaha mencerna.
“Hahaha, rasanya salah jika aku menceritakan masalah ini kepadamu. Kau kan guru, bukan dokter.”
“Aku calon psikolog, tidak beda jauh, cerita saja.”
“Kau sedang berbicara dengan anak yang umurnya mungkin tidak akan sampai setahun lagi.” Dia tersenyum, pahit sekali melihatnya. “Katanya, mereka ingin mengenalkanku dengan pengobatan terbaru di London. Bahkan sebelum aku sempat lulus SMA. Tapi bagiku semua tidak akan berguna banyak. Aku tetap saja akan mati. Dan sebelum mati, aku hanya ingin meraih impianku, ya masuk ITB itu. Bukanya liburan di London dan menunggu ajal menjemput dalam kedamaian. Bukan itu yang aku mau.”
Aku tertegun. “Itu alasanya kau ingin bunuh diri?”
“Lebih baik aku mati lebih cepat dari pada menyesal dengan sesuatu yang tidak pernah bisa ku coba.” Ihsan mengernyit saat mendadak setetes darah mengalir dari hidungnya. Dia mengambil selembar tisu dari atas meja dan menghapusnya tenang. “Aku lelah, bolehkan aku numpang istirahat disini?”
“Ehm, ya…tentu. Kamarku disana, biar ku antar agar kau bisa tidur di dalam.” Aku berusaha meredam kepanikanku melihat sepercik darah dan wajahnya yang mendadak menjadi pucat sekali. Aku pun mengantarnya masuk ke dalam kamar dan membiarkanya tidur dalam ketenangan disana.
Entah walaupun belum sehari aku mengenalnya, rasa ingin melindungi dan membantu menyelesaikan problema hidupnya tumbuh begitu besar. Inilah alasan terkuat mengapa aku ingin sekali menjadi guru. Aku ingin merasakan perjuangan perjuangan anak-anak seperti Ihsan dalam meraih impian, aku ingin melihat mereka bahagia pada akhirnya. Bukan hanya itu, aku juga ingin turut andil dalam mempermudah perjuangan tersebut.
Sebelum Ihsan memejamkan mata dan tertidur, ada sesuatu yang ingin kusampaikan, setidaknya agar dia tidak mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya setelah menceritakan hal yang mungkin benar-benar merupakan mimpi terburuk baginya.
“Ihsan, memang tidak selalu apa yang kita inginkan akan berjalan lurus. Semua hal buruk dalam kehidupan ini pasti juga memiliki sisi baik yang terkadang baru muncul di akhir kisah. Impianmu bukanlah suatu hal yang buruk, dan tak ada hal baik yang berujung dengan kesengsaraan. Hidup itu adalah pilihan, kau yang memiliki hidup dan tentunya kau lah yang akan menentukan pilihan itu. Tapi tentunya tidak dengan pilihan untuk bunuh diri. Hanya pecundang yang melakukan itu. Bukankah tidak ada manusia yang benar-benar tau kapan kita akan mati? Kau tidak boleh menyerah semudah itu.”
Ihsan menatapku dalam dari atas tempat tidur, matanya terlihat berkaca-kaca. Kuharap tumbuh penyesalan dalam hatinya karna sempat berpikiran untuk bunuh diri.
“ITB bukan lah hal mustahil untuk dicapai bagi orang yang ingin berusaha. Kalau kau benar-benar ingin masuk sana, tunjukan usahamu. Kurasa sekeras-kerasnya orang tua akan luluh juga bila melihat anaknya bersungguh-sungguh.” Aku tersenyum bahagia, puas melihat air mata yang menetes dari matanya. Membuatku yakin akan penyesalan dan semangat baru nya. “Dan lagi, kau tidak sendiri. Aku, dan ku yakin teman-teman se profesi ku akan sangat senang bila bisa membantumu.”
“Kalau begitu tolong bantu aku ya, guru.” Dia tersenyum dalam air mata nya yang masih mengalir. Aku pun keluar dari kamar, meninggalkanya dalam mimpi indah.
Hari-hari berikutnya kami pun jadi lebih sering bertemu, untuk bercerita dan belajar tentunya. Aku dan teman-temanku pun menerima dengan senang hati kehadiranya di bimbingan belajar tempat kami mengajar. Sama dengan anak-anak lainya, semangatnya begitu membara, dan tidak akan pernah kupadamkan sebelum ia meraih apa yang diinginkan.
Tapi, tentu persoalan dengan orang tuanya tidak tenggelam begitu saja, masih sama seperti dulu. Bedanya kini Ihsan lebih sering berada di apartemenku dibanding di rumahnya sendiri. Jadi intensitas pertemuan dengan orang tuanya pun menjadi sedikit. Hal ini tentu saja mengundang amarah mereka, bukan hanya ke Ihsan, tapi juga kepadaku. Setelah mendapati apartemenku sebagai tempat persembunyian Ihsan selama ini, mereka akhirnya mendatangiku, tidak sendirian, tapi bersama polisi!
Selama beberapa minggu akhirnya aku merelakan beberapa kegiatanku untuk berurusan dengan polisi, tuduhannya benar-benar tidak bercanda. Mereka menuduh kalau aku telah menculik anaknya. Penculikan dimana sang anak masih sering sesekali pulang ke rumah, sedikit aneh bukan. Sempat Ihsan merasa begitu bersalah karna harus menyeretku ke masalah seperti ini, tapi tidak begitu saja menyulutkan rasa menyerah dalam diriku, dan tentunya lagi-lagi ku tanamkan dalam benak Ihsan kalau semua akan indah pada saatnya.
Benar saja, aku menang, aku bebas dari segala tuduhan. Hal itu membuat orang tuanya semakin murka. Dia lagi-lagi mendatangiku, hanya ibunya kali ini. Dan wanita ini menangis saat kutemui di depan pintu apartemenku.
“Anda tidak tau kan rasanya menjadi seorang ibu yang ditinggal pergi anaknya? Rasanya jika anak yang sangat dia sayang mengkhianatinya untuk sesuatu yang tidak ia restui? Rasanya………………..memiliki anak yang umurnya sudah tidak panjang lagi? BIARKAN DIA MERASAKAN WAKTU-WAKTU TERAKHIRNYA BERSAMA IBUNYA!” Tangisan ibu itu semakin menjadi, dia menjerit, memukul pintu, dan menatapku penuh dengan amarah seolah aku adalah penjahat yang akan membunuh anaknya. Tidak membuatku luluh sama sekali.
“Saya rasa seorang ibu tidak akan menjebak anaknya dalam kegalauan yang tidak berujung dan pilihan yang benar-benar tidak bisa ia pilih sendiri. Anda tau kan kalau umur anak anda sudah tidak lama lagi? Apakah anda tidak ingin membuatnya bahagia di saat-saat terakhir hidupnya? Seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya tentu akan ikut bahagia melihat anaknya bahagia, bukan?”
“TAPI SEMUANYA TIDAK SAMA! TIDAK USAH BERTEORI! SAYA TIDAK BODOH, DAN ANDA TIDAK AKAN PERNAH TAU RASANYA MENJADI SAYA SAAT INI!”
“Memang keadaanya sudah beda, tapi anak anda tetap sama seperti anak-anak yang lain, dia juga memiliki impian. Dia tidak ingin dibeda-bedakan. Memang sulit menjadi seorang ibu yang akan ditinggal mati anaknya, TAPI SADARLAH, AKAN JAUH LEBIH SULIT JIKA ANDA MENJADI IHSAN!” Tak terasa nada suaraku pun ikut meninggi seiring memuncaknya emosi di ubun-ubunku. Tangisan ibu itu semakin menjadi, begitu terisak sehingga tidak dapat berkata apa-apa lagi. “Maaf bu, tapi asal anda tau pertama kali saya bertemu dengan Ihsan, dia sedang dalam percobaan untuk mengakhiri hidupnya. Dia merasa lebih baik mati lebih cepat dari pada tidak mencoba melakukan hal yang benar-benar ia inginkan. Tolong bu, yang Ihsan butuhkan kali ini hanyalah dukungan, dan semuanya akan kembali normal, ia akan kembali ke rumah seperti dulu. Tapi biarkan dia hidup bersama perjuanganya meraih impian.”
“Ihsan…………”
Pertemuan itu memang telah berlangsung, dan apa yang selama ini ingin ku ungkapkan terungkap sudah. Tapi entah kenapa, belum terdengar kabar keakraban antara Ihsan dengan orang tuanya. Dia masih saja melarikan diri ke apartemenku. Jelas tidak seperti yang kuharapkan.
Hingga akhirnya sampailah di hari tes seleksi perguruan tinggi. Ihsan yang bermalam di apartemenku bangun pagi sekali. Dengan penuh semangat, dia pun bersiap-siap untuk menghadapi tes hari ini. Walaupun terlihat jelas sekali tubuhnya yang semakin mengurus dan lukisan pucat di wajahnya. Dia bilang kalau tadi subuh ia sempat muntah-muntah karna sedikit merasa stress, yang kuyakini jelas bukanlah disebabkan oleh hal itu, tapi memang karna kondisi tubuhnya yang memburuk. Aku khawatir dengan kondisinya, namun melihat semangatnya yang tidak pernah berkurang membuat ku optimis kembali.
Aku pun mengantarnya ke lokasi tes, dan sesaat setelah memasuk lokasi tersebut, muncul sepasang lelaki dan wanita yang selama ini begitu Ihsan harapkan dukunganya, orang tuanya dating! Mereka bertigapun berpelukan, sungguh pemandangan indah telah yang menyayat hatiku. Kedua mata orang tuanya telah terbuka, dan kini mereka datang untuk menemani Ihsan meraih impianya. Aku bersyukur.
Tiga jam telah berlalu saat Ihsan memasuki ruang tes, dan bel tanda selesai pun telah dibunyikan. Ihsan mengeluari ruangan dengan wajah berbinar. Sukses sepertinya.
Ihsan menghampiri kedua orang tuanya dan mungkin sedang menceritakan apa yang baru saja terjadi di dalam kelas, aku yang berdiri cukup jauh mereka kurang bisa mencerna apa yang mereka bicarakan. Namun tak bisa kupingkiri, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Kuhampiri kehangatan keluarga itu untuk sekedar memberikan selamat pada Ihsan.
“Hey bro!! Selamat ya, akhirnya selesai juga. Gausah dipikirin hasilnya, yang penting udah kasih yang terbaik, bukan?”
Mendadak Ihsan menubruk tubuhku dengan pelukan yang cukup erat. Aku kaget, namun kemudian terbiasa dengan keadaan dimana aku—kesulitan—bernapas.
“Terima kasih, entah apalagi kata yang bisa kuungkapkan selain terima kasih. Kau adalah orang terbaik yang pernah kutemui, kalau tidak ada dirimu mungkin aku sudah mati waktu itu.” Ihsan menangis, begitu bahagia. Aku terlalu terharu untuk dapat mengucapkan sebuah kata. Aku sangat puas melihat Ihsan bahagia. Walaupun belum jelas hasilnya, tapi ia sudah dapat sebahagia ini. Selamat nak.
Tak kuduga sama sekali, ternyata hari itu merupakan pertemuan terakhirku dengan Ihsan. Malam hari, kondisinya memburuk, ia dirujuk ke rumah sakit oleh keluarganya, dan sebelum aku sempat menemuinya lagi, ia lebih dulu dipanggil.
Anak itu telah pergi, kembali ke tempat asalnya. Aku yakin kepergianya diselimuti oleh senyuman saat itu. Kuusahakan sekuat apapun untuk dapat melapangkan semua ini. Karna memang sudah saatnya ini semua akan terjadi. Lagi pula dia sudah melakukan apa yang benar-benar ingin dia lakukan. Ya, walaupun ia harus pergi sebelum hasilnya keluar.
Dan setelah upacara pemakaman selesai, sampailah aku dihari ini, menyempatkan diri untuk mengunjungi taman ini. Aku ingin sendiri, hanya di temani awan sendu dan burung yang kian terbang kesana kemari. Mengenang pertemuan singkat ku dengan anak luar biasa ini.
Satu lagi kisah telah ku ukir dan akan terus ku abadikan di dalam hati. Aku bersyukur karna akhirnya memilih menjadi guru. Telah banyak kutemukan anak-anak luar biasa yang penuh dengan kepercayaan dalam hidup mereka.
Terima kasih karna telah memberikanku arti hidup, teman-teman.
Terima kasih banyak, Ihsan Ramadhana
“Lebih baik merasakan sebuah kegagalan dari pada penyesalan seumur hidup karna tidak memanfaatkan kesempatan yang ada.”
-end-
No comments:
Post a Comment