4/15/2011

THE POWER OF FRIENDSHIP

Para perawat itu terus berlarian membawa Kaysan yang berlumuran darah dan kian merintih kesakitan di atas sebuah kasur beroda rumah sakit. Dafa dan aku pun ikut mendampingi di sisinya, hingga tiba di sebuah pintu bertuliskan ‘Unit Gawat Darurat’ yang memaksa kita berdua melepaskan Kaysan bersama para perawat lainya.

“Ras…. Jangan tinggalin gue!” serunya mengcengkram pergelangan tanganku lemah.

“Lo harus kuat, Kay.” Cuma kata kata itu yang sempat aku katakan sebelum pintu sialan itu memaksaku untuk melepas cengkraman Kaysan.

Sekian meter setelah Kaysan dibawa ke dalam ruangan, aku masih dapat mendengar jeritan kesakitanya. Begitu memilukan hati hingga aku pun tidak sanggup lagi untuk bertumpu dengan kedua kaki ku. Yang aku ingat hanyalah sebuah denyutan keras di kepalaku, dan tubrukan tubuh seseorang, dan teriakan seseorang yang memanggil namaku, panik!

“LARAS!!”

Beberapa saat setelah kejadian itu, yang kusadari aku sudah berada di sebuah ruangan. Sepertinya tak begitu jauh dari tempat tadi. Yang artinya aku masih berada di sekitar rumah sakit ini. Aku mengernyitkan dahi menahan rasa sakit di kepala ku saat aku mencoba untuk bangkit dari tempat itu. Aku terkejut saat menemukan kedua orang tua ku yang sudah berada di hadapan ku, menatap penuh ke-khawatiran.

“Mah, Pah?” tanyaku heran, apa aku udah pingsan selama itu sehingga mereka pun sudah terlihat begitu lusuh, yang ku pikir karna jenuh menunggu ku sadar.

“Laras, kenapa kamu bisa kaya gini sih? Kamu bikin kita panik tau ga?” Papah, mulai memarahiku.

“Udah pah, Laras baru aja siuman, jangan dimarahin.” Mamah menenangkan.

Aku diam, mendadak lupa dengan alasan aku berada disini. Aku mencoba meraba kepalaku, disana sudah terpasang rapih sebuah perban, yang membawa ingatanku ke sebuah malam dimana aku, Dafa, dan Kaysan mengalami kecelakaan mobil. Dimana kepalaku terbentur sebuah benda tumpul cukup keras, dan Kaysan…..

“Ya ampun, Kay…” tanpa menghiraukan mamah dan papah ku yang masih dalam kepanikanya, aku beranjak dari kasur dan bergegas keluar ruangan.

Bodoh, aku bisa lupa dengan Kaysan yang berlumuran darah tadi malam, kenapa aku bisa tertidur di tempat ini sementara sahabat ku sendiri sedang sekarat? Aku pun berjalan di koridor rumah sakit dengan kepalaku yang masih sedikit berdenyut. Beberapa detik kemudian aku baru menyadari bahwa aku berjalan tanpa arah. Dimana ruanganya Kaysan?

Tanpa menghentikan langkah, aku pun berusaha menemukan seorang perawat yang sekiranya dapat mengantar ku kesana. Dalam pencarian itu, tiba tiba aku mendapati Dafa sedang terduduk di sebuah lantai, wow, penemuan yang bagus, pikirku. Aku mendekati nya dengan….. kegalauan.

“Daf.” Sapaku parau, ikut terduduk di lantai itu, khawatir dengan keadanya. “Daf, lo gapapa kan?”

Dafa melepaskan cengkraman kedua tanganya di wajah lembabnya dan menatap mata ku lemah. Dia menangis. “Ras….”

“Dafa lo kenapa?” tanyaku, kaget melihat keadaanya. “Kay mana, Daf?”

“Ras… Kaysan…” ia menatapku dalam. Tidak dapat kupungkiri bahwa firasatku begitu buruk sekarang.

“Kay kenapa Daf?? Yang jelas dong!! Dia ga… ga mati kan?” tanyaku sembarangan.

“Gila lo kalo ngomong, Kay masih hidup Ras. Tapi……..” Dafa membenamkan wajah di telapak tanganya, sesaat sebelum “Dia buta Ras..” Getaran suaranya terasa begitu kuat.

Aku terpaku dengan keadaan ku, tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar tadi. Kaysan yang menjadi idola semua cewe, pemain basket nomer 1 di sekolah, sekarang harus kehilangan kaki dan penglihatanya, how could this happens, God?

“Ini semua salah gue, Ras. Gue yang bikin mobil kita nabrak. Bego”

“Engga Daf, ga ada yang salah, semuanya kecelakaan.”

Dafa menangis lagi, sementara aku masih terpaku dengan ketidak percayaan ku. Aku pun memeluk tubuh Dafa, bendungan air mata di kelopak mataku akhirnya pecah saat ku rasakan getaran hebat dari tubuh Dafa.

“Tapi gue ga bisa berhenti nyalahin diri gue.”

“Sial, kenapa mesti kaya gini sih akhirnya?” aku bertanya lirih di pundak Dafa. Tak ada jawaban berarti dari nya. Yang ku dengar hanyalah suara tangisan yang makin kuat, dan…… sebuah jeritan dari dalam ruangan tepat di sebelah tempat aku dan dafa berada.

Dafa melepaskan pelukanku, dia tercengang sesaat. “Kay….” Dia bergegas bangkit dan memasuki ruangan tersebut. Aku mengikutinya dari belakang.

“GUE GAMAU CACAT, BALIKIN MATA GUE!!” jerit seseoarang yang berada dia atas kasur. Anak itu sudah sadar ternyata, ia kian memberontak di dalam dekapan ibunya.

“Kaysan… cukup nak, cukupp” wanita paruh baya itu menangis, mencoba menenangkan anak nya itu dalam dekapanya.

“ENGGAAA……. AKU GAMAU KAYA GINI MAM. AKU MASIH MAU SEKOLAH, AKU MASIH MAU NGELIAT, AKU MASIH MAU HIDUP!!!” Kaysan lepas kendali, dia mendorong ibunya hingga terjatuh di sisi kasurnya. Dafa pun bergegas meraih wanita itu, berniat membantunya bangkit kembali, namun wanita itu sudah menyerah nampaknya, menangis tak terkendali.

Aku, yang tak menyangka dan masih syok dengan pemberontakan Kaysan pun mulai mendekatinya.

“KENAPA MESTI GUE TUHANN, KENAPAAA?”

“Kay, please, lo tenang dulu, semua pasti ga seburuk yang lo pikirin, masih banyak hal yang bisa lo lakuin walaupun lo kaya gini.”

“APA LAGI RAS? APAA?? JADI TUKANG URUT? HA??”

“Engga gitu, Kay!”

“GUE BUTA RAS, DAN LO JUGA GA MAU KAYA GINI KAN? KENAPA MESTI GUE? INI BUKAN SALAH GUE, KENAPA GA DAFA AJA YANG BUTA? JELAS JELAS DIA YANG NYETIR, YANG BIKIN KITA KECELAKAAN!!”

PLAK’

………………..

Sebuah tamparan sempurna mendarat di pipinya. Suskes membuatnya terkulai tak berdaya di atas kasurnya, masih terisak.

“BERHENTI NYALAHIN ORANG KAY! LO GA PANTES NGOMONG KAYA GITU!!” Aku, yang banjir dengan air mata, merasa tega untuk membentak Kaysan sekarang. “KITA SAMA-SAMA GAMAU INI KEJADIAN KAY. PLEASE SADAR, LO GA BISA KAYA GINI TERUS.”

Kaysan merintih dalam keadaanya, dia benar benar tidak mengerti dengan yang baru saja ia ucapkan. “Gue emang bego ras, dari dulu bukan? Sorry.”

Aku menghampiri Kaysan, memeluknya penuh perasaan. “Gue tau apa yang lo rasain Kay, gue ngerti. Gue juga ga rela lo kaya gini. Tapi lo ga bisa ngelak, ini udah terjadi. Yang harus lo percaya kalo lo ga sendirian di sini, Kay. Masih ada gue, Dafa, temen temen lo yang lain, kelaurga lo. Kita pasti bakal bantu semua apa yang lo butuhin, kita semua sayang sama lo.”

Kami masih berpelukan erat, saat beberapa perawat telah menunggu giliran mereka di depan pintu.

Kaysan berbisik lirih di telingaku, “ Tapi gue ga bisa ngeliat, Ras, gue ga bias ngeliat wajah lo lagi, itu masalahnya.”

Aku merasakan ada pelukan tambahan dari seseorang, membuat suasana makin hangat. Dan aku menyadari itu adalah pelukan Dafa, aku merasa sangat bahagia memiliki mereka.

“Gue bakalan jadi mata lo Kay, kapan pun lo butuh itu, bukan nya kita sahabat?”

Keep shining, Keep smiling……. That’s what friends are for

***

No comments: