Hidup itu seperti permainan catur, yang berpikiran panjanglah yang akan menang. Unggul dalam ingatan, fokus serta konsentrasi, berimajinasi luas, dan tentu saja kuat atas nama logika.
Bagaimana jika kita anggap saja papan catur itu bumi, si bidak adalah fenomena kehidupan, peraturan permainanya adalah apa yang kita sebut dengan hukum alam, dan sang pemain di sisi lawan, tersembunyi dari kita.
Hidup dalam permainan catur dapat berubah-ubah di setiap langkahnya. Entah dapat menjadi baik, atau bahkan bertambah buruk. Sama seperti hidup kita, bukan? Karna saat melakukan kesalahan fatal walau satu langkah saja dapat menjadi bencana seumur hidup. Pasti sulit memperbaikinya.
Catur itu seperti gambaran kehidupan bagiku. Setiap bermain, pasti aku menemukan hal baru yang inginku analisis. Mungkin sudah berpuluh-puluh teori tentang catur dan hidup yang telah ku tanam dalam otakku, sekedar untuk memamerkan ke teman-teman mengenai hal ini dan….syukur-syukur dapat mengubah hidupku.
Mungkin sekarang kalian berpikir bahwa aku adalah pemain catur sejati yang sudah memenangkan beberapa kompetisi, hingga telah meresapi begitu banyak makna kehidupan yang terkandung di dalamnya. Aku sangat senang bila ada yang menanggapi seperti itu, karna kenyataanya semua orang di sekitarku lebih asik menyebutku The Chess Fanatic.
Aku bukanlah Thomas Huxley ataupun Fred Reinfeld. Dan bukan pula Bobby Fischer yang benar-benar tidak terkalahkan. Aku hanyalah seseorang yang sangat mencintai permainan mereka.
Aku bisa bermain catur, bisa, walaupun sepertinya lebih pandai berteori dibandingkan membuat posisi checkmate di atas papan. Pikirku, dengan berteori, otomatis aku telah mendapatkan kuas dan cat untuk melukiskan posisi checkmate tersebut di atas papan catur. Terbukti, aku memang bisa melukiskanya, bahkan untuk beberapa pertandingan. Namun bukanlah seseorang yang handal, seperti yang telah ku jelaskan dalam teoriku.
Terlalu banyak hal yang telah ku kemukakan mengenai sifat catur dalam kehidupan. Saking sibuknya berteori, sampai sepertinya aku pun kurang mempedulikan orang-orang yang telah lebih dulu sukses di sekitarku.
Di sekolahku sudah banyak sekali orang sukses. Daryan, si jenius yang baru saja mendapatkan medali emas untuk olimpiade Matematika. Kevin yang bahagia setengah mati setelah mendengar pengumuman bahwa ia terpilih menjadi salah satu pemain di tim basket nasional junior di luar sana. Saras baru saja mendapatkan penghargaan atas novel ke tiga nya. Dan setauku, Ghea, si pianis cantik itu sedang berada di Holland untuk mengisi konser musik artis ternama yang tak ingin ku pedulikan siapa namanya.
Mereka sukses. Walaupun kesanya aku tidak peduli dengan semua itu, namun—tentunya—hati kecilku mengais untuk bisa menjadi seperti mereka. Setidaknya, aku ingin mereka semua memandangku sebagai pecatur yang luar biasa dalam permainanya. Seperti Samuel, si mighty pawn, si saingan-terberat-bermain-catur yang pernah ku lawan.
Aku tidak tau kalau dia jenius, kalau dia memiliki memori yang kuat dan berimajinasi luas, setidaknya lebih dari yang ku miliki. Namun kenyataanya, dalam beberapa kali (mungkin sudah ratusan) duelku dengannya, aku-selalu-kalah.
Jujur, aku kagum denganya. Atau mungkin lebih bisa dibilang iri. Aku di juluki The Chess Fanatic saat dia mendapat julukan The Mighty Pawn. Maka itu, saking penasaranya, aku tidak tanggung-tanggung untuk mengajaknya berduel setiap hari. Agar dapat mengalahkanya, dan merebut julukanya. Bahkan hari ini.
Saat itu pulang sekolah di dalam ruangan perpustakaan, aku sudah berhadapan denganya sekitar lima belas menit yang lalu, papan catur pun sudah terpampang bersama bidak-bidaknya di atas meja. Aku berkeringat dingin, perutku mulas, hal ini sudah biasa kurasakan saat sedang berhadapan denganya. Dan yang selalu kupertanyakan, kenapa dia lebih terlihat seperti seorang ayah yang sedang bermain gundu bersama bocah umur 5 tahun? Aku memang tidak sejago dia, tapi bukan berarti dia bisa meremehkanku seperti ini, bukan?
Saat memasuki menit ke dua puluh kubersamanya, dia mempertanyakan sesuatu kepadaku yang membuatku ingin sekali menyogok mulutnya dengan pion-pion di atas papan catur ini.
“Bagaimana, sudah dapat teori baru, bung fanatic?” sambil tersenyum, licik.
Aku berusaha tidak mempedulikan pertanyaan sindiranya itu, dan memfokuskan pikiranku di atas papan catur yang sedang memanas ini. Dan alhasil, sekian menit aku berhasil pura-pura tidak mendengar perkataan Sam, di menit itu pun aku berhasil menjebak ratu-nya. Kini giliranku tersenyum licik.
“Good positions don’t win games, good moves do.” Ungkapku dengan puas.
Kemudian kami bermain kembali dengan suasana sunyi, selama kurang dari satu menit, saat Sam mengangkat suaranya lagi.
“But, the Pin is mightier than the sword” serentak dengan hentakan pion nya yang sama sekali tak terjamak, di sisi raja milikku. “It’s another ‘Chekmate’.”
Tak percaya, aku terdiam menatap papan, mencari barangkali saja ada celah yang bisa membuatku bertahan. Namun nihil. Sial, belum saja semenit aku merasa berada di atas angin untuk mengalahkannya.
Samuel meninggalkan tempatnya begitu saja sebelum aku selesai berpikir. Ia sudah membuka pintu perpustakaan saat aku meneriaki namanya.
"Sam, bisakah kita mengulanginya sekali lagi? Sekarang?" Ajakanku yang serentak menghentikan langkahnya.
Samuel menoleh, tanpa menutup kembali pintu yang telah ia buka. "Jangan pernah ajak aku bermain lagi, sebelum kau memperbaiki permainanmu. Aku tidak ingin bertanding melawan teori." Ia pun berlalu.
***
Perasaan kesal yang berbaur dengan kebingungan menyelimuti zona pikiranku. Tadi itu bukanlah pertandingan pertamaku denganya, tapi kali pertama saat dia meremehkanku seperti itu. Apa maksudnya tidak ingin bertanding melawan teori? Sial.
Aku membanting tubuhku di atas kasur saat melewati pintu kamar, mendesah kuat. Pandanganku serentak terlempar ke sebuah foto lelaki yang terpampang di dinding. Lelaki yang telah merubah pandangan hidupku. Bobby Fischer.
Untuk menjadi pecatur hebat, kita tidak bisa terlalu baik hati. Kita harus merasa tega untuk menghancurkan satu sama lain. Karna catur itu seperti sebuah peperangan. ‘I am the best player in the world and I am here to prove it’. Itulah analogi Fischer yang paling terngiang di otakku.
Bermain catur merupakan sebuah obsesi terbesarku. Aku rela dikritik sebagai seseorang yg keras kepala dan sombong saat bermain. Aku tidak sungkan untuk menghabiskan seluruh bidak lawanku agar mereka merasa takut dan akhirnya akulah yang menjadi pemenangnya. Semua lawanku begitu, kecuali Samuel.
Dia tidak pernah kesal saat aku mulai menghabiskan bidak-bidaknya. Dia tidak panik saat aku sudah mematahkan strateginya. Dan dia tidak pernah berkeringat dingin saat keadaanya sudah terdesak. Walaupun pada akhirnya, dia dapat memutar balik semua keadaan itu. Hingga aku yang seharusnya menang, tiba-tiba kalah.
Tidak ada yang bisa menjelaskanya, bahkan beribu teoriku pun tidak. Apakah selama ini aku salah, bermain catur dengan ribuan teori dikepala, dan analogi Fischer yang telah mencuci otakku? Entahlah.
Sejenak aku menelungkupkan wajahku ke dalam bantal, mencoba untuk tenang, melupakan segalanya, dan tidur. Selang dua menit setelah aku memutuskan untuk tidur dan beristirahat, terdengar suara pantulan bola cukup ribut dari bawah sana. Sial, atlit dari lurah mana yang main basket siang bolong seperti ini? Merasa terganggu, aku pun bangkit dan berjalan menuju jendela kamar, berniat untuk meneriaki nya dari atas.
Athina, adik perempuanku, sedang asik bermain basket sendirian di halaman rumah. Ya, itulah kebiasaanya sehari-hari, bukanlah biasa bermain basket, tapi kebiasaan mengganggu jam istirahat ku.
“Hei! Bisa tidak entar saja latihan basketnya? Aku sedang berusaha untuk tidur.” Seruku setelah membuka jendela tersebut lebar-lebar yang serentak menghentikan lemparan bola oranye besar ke dalam ring sederhana miliknya itu.
Ia menoleh tidak peduli, dan melanjutkan lemparan bolanya seolah aku hanyalah seonggok ayam yang tengah berkokok di siang bolong, menyebalkan. “Jam segini udah mau tidur? Cupu banget sih.”
“Aku sedang banyak masalah, butuh istirahat. Apa kau memang berniat membunuh kakamu sekarang, ha? Atlit kesiangan?”
“Kalau banyak masalah jangan tidur kali, tidak akan pernah pecahkan masalah.” Athina melakukan aksi lay up nya, sebelum ia menolehkan kepalanya ke jendela kamarku kembali. “Ayo olahraga, main basket bareng Thina, dijamin semua masalah pasti hilang.”
Aku mengernyit jijik mendengar ajakanya tersebut. “Males, ah.” Jawabku ketus.
“Hahaha, pasti kaka takut hitam, kan? Apa takut kalah lawan atlit kesiangan ini?” pertanyaan Athina dengan nada yang super duper meremehkan itu. Membuat ku benar-benar panas dan ingin sekali menjitak ubun-ubunnya dengan bola basket. Sejurus kemudian aku sudah beranjak keluar kamar dan menuju halaman rumah tempat ring basket berada. Hebat sekali adikku itu, bisa membakar amarahku sedemikan rupa hingga membuatku menggebu untuk segera menantangnya. Sama saja seperti Samuel, menyebalkan.
Di luar sana, Athina sudah menunggu dengan senyuman lebar di wajahnya. Entah bahagia karna mempunyai teman bermain atau bahagia karna menemukan lawan yang—pasti—dapat—ia—kalahkan. Aku merebut bola dari tangan mungilnya, dan mulai melempar bola oranye itu ke dalam ring pertanda pertandingan telah di mulai. Dan kami pun bermain one-on-one, seperti permainan catur kelihatannya, begitulah.
Awalnya, dua poin pertama memang jadi milikku, namun setelah 4 menit pertandingan berjalan, ia sudah melampaui 8 poin dari poinku sebelumnya. Hah, apa yang sedang ku lakukan? Kalah dengan perempuan tengil seperti ini? Permainanya terlihat semakin bersemangat dan tanpa ampun, membuat ku ingin segera menghentikan pertandingan ini segera, setidaknya sebelum harga diriku jatuh terlalu jauh dari selisih poin kami sekarang.
Aku mengangkat tangan, bukan pertanda menyerah (walaupun memang terlihat seperti itu). Aku pun duduk di sisi ring basket, saat Athina belum juga menghentikan permainanya.
“Aku tidak tahu kalau kamu bisa bermain basket, sejak kapan?” pertanyaanku setelah menghela nafas yang panjang.
“Bukan aku yang bisa, tapi kaka yang tidak bisa sama sekali.” Ledekanya sambil tertawa penuh kemenangan yang sepertinya tidak akan ia hentikan sampai aku melepas sendalku dan mengarahkan ke wajahnya. Ia meringis.
“Ga sopan!”
Menurut teori yang lainya, catur itu seperti olahraga karena unsur kompetisi di dalamnya tidak hanya mengandalkan kemampuan mental, namun fisik, emosi, sekaligus psikologi juga menentukan. Ada beberapa bentuk permainan catur, seperti juga dalam permainan basket. Permainan satu lawan satu antar teman yang menuntut adanya hasil di akhir pertandinganya, tidaklah dapat dikategorikan kompetisi serius. Karna untuk dapat dikategorikan olahraga, diperlukanlah unsur kompetisi. Aku tahu itu, dan jangan ragukan aku mengenai teori catur, karna dalil-dalil dalam teori catur itu dapat dibuktikan.
“Hehehe, bercanda kak. Sudah lama aku bermain basket, tapi baru kali ini aku merasa mencintai permainan ini.” Jawabnya simpel seraya menghentikan permainanya, dan mengambil posisi duduk di sampingku.
Aku berusaha mencerna kalimat terakhirnya dan menemukan sebuah kata yang janggal di telingaku, ya, sebenarnya sedikit sungkan untuk mengulangi kata itu lagi. “Mencintai?” pekikku lirih.
“Iya, untuk dapat menguasai permainan basket, kita harus mencintai permainannya dulu, kak. Bermain basket itu harus dengan perasaan senang, bukan di bawah tekanan. Menang atau kalah itu hal yang alamiah, sudah biasa terjadi. Masalahnya adalah apakah kita sudah melakukan yang terbaik atau belum. Dulu, aku bermain basket hanya untuk kemenangan semata, bukan kebahagiaan. Tapi aku yang sekarang bukan lagi aku yang dulu.”
Dulu, aku bermain basket hanya untuk kemenangan semata, bukan kebahagiaan. Aku terpaku oleh kalimat yang bukan lagi hanya menusuk telingaku, tapi sudah merasuk ke otakku. Darimana Athina belajar arti kehidupan seperti ini? Kalau aku tanyakan, pasti jawabanya adalah ‘dari basket’. Sama seperti ku yang akan menjawab ‘dari catur’ bila ada yang bertanya demikian.
Aku menyadari permainan catur ku selama ini, permainan yang penuh obsesi dan haus kemenangan. Puluhan teori yang sudah membengkak di kepalaku ini seolah selalu membenarkan permainan yang ku mainkan. Jawabanya adalah salah jika aku hanya bermain karna teori-teori tersebut, teori yang telah membangkitkan obsesi ku, obsesi yang telah menenggelamkan semua kecintaanku dalam bermain catur.
Bobby Fischer memang tidak terkalahkan, semua lawanya takut dengan dia, walau hanya di awal langkah saja. Tapi apakah benar hanya dengan kemampuan dan keangkuhan jalan keluarnya? Kupikir aku telah melewatkan suatu hal penting lainya dari Fischer. Cinta.
Aku bangkit dari tempatku dan berjalan meninggalkan Athina begitu saja. Kini aku lebih bergairah dari sebelumnya. Aku merasa telah menemukan jiwaku yang lama telah terpendam begitu dalam di dasar sana. Tak sabar aku ingin menatap hari esok dan bertemu Samuel di atas papan catur.
“Ka, ada apa?” Tanya Athina yang sepertinya heran melihat semangatku yang mendadak menggebu.
Aku menoleh menghadap Athina, dengan senyum tiga jari yang sudah terlukis di wajahku, mengacungkan sebuah jempol ke hadapanya seolah berkata:
Checkmate.
***
3 comments:
asik deh kakaaaa.
iiiiiii ngomong-ngomong gue bikin blog lhooooo \m/
tebak siapa!!
minta banget di sebut namanya sih................ ^^v
seneng tuh ada yg komen ^^
Post a Comment