(harap baca dari BAB I yaaa)Dalam ruang kelas Iwat di kampus. Huh.
Sekali lagi ‘huh’. Kelas ini dipenuhi dengan aura ‘sok tau’ dari para mahasiswa ‘sok tau’ yang berprilaku ‘sok tau’ terhadap pertanyaan-pertanyaan kelas tinggi yang di ajukan oleh seorang dosen killer.
Dan always, Iwat yang duduk di belakang hanya mencoret-coret kertas menung-gu pertanyaan sang dosen yang sepertinya tak mungkin di berikan padanya, karna Iwat hanya menganggap pertanyaan itu akan lebih cocok jika diajukan kepada tukang PLN yang suka manjat-manjat tiang listrik dan rela mati ketubruk burung liar . Cukup, sudah cukup sudah Pak Almat (nama dosen, bukan mas-mas PLN) dipermalukannya dengan pendapat yang jauh berbeda. Dan malangnya, pendapat Iwat itu terbukti lebih cermat dari pada pendapatnya yang seketika mernunduk.
Mungkin kali ini Pak Almat lagi heppi-heppi, karna setiap jawaban yang mahasiswa persentasikan, selalu ia banggakan. Makanya dari tadi mahasiswa-mahasiswa malang ini jadi tampil sok tau. Pertanyaan dan jawaban seperti membandingkan langit dan bumi. Atau dalam arti kata, mereka selalu bilang ubur-ubur itu makan ikan hiu, padahal udah jelas kalo ubur-ubur itu makan cumi-cumi.
Dengan ditemani Dean yang kebetulan lagi sejadwal dengannya, Iwat memainkan permen karet di dalam mulutnya, membuat sebuah balon sederhana, dan tega memecah-kannya di muka Dean. Berulang kali dengan metode ‘reply..ok reply lagi’. Mereka berhenti dan ganti permainan.
“Den, lo tau cinta kan?” Iwat dengan tampang sumringah
“Hah, kaget gue tiba-tiba lo nanya cinta.”
“Mana mungkin ya lo tau cinta.”
“Cinta itu cewek cantik anak seni rupa, pasien terapi kepala yang sekarang mengalami kebotakan, kan?”
“Bukan, ini cinta asli, tresno-tresno (cinta dalam jowo)!”
“Tresno, itu nama ikan gue.”
“Oh iya, ikan lo umurnya berapa?”
“Kok jadi ngomongin ikan? Bukannya lo lagi nyari arti cinta?”
Iwat menarik napas panjang. Di kos dia slalu membodohi Ipul, di kampus dia nggak kalah sering dibodohi Dean. “Ok, intinya... sekarang...... gue ......lagi..... jatuh....... cinta.......... bok. Sama cewek...... bukan cowok.”
“AAAAAAAAAAAAApa.” Dean berteriak sekuat tenaga dan napasnya terhenti di akhir huruf. Dia mengambil napas lagi. “SUMPE LO LAGI JATUH CINTA? BUKANNYA LO BENCI BANGET SAMA CEWEK?”
Iwat enggan berkomentar lagi.....
Dean lebih-lebih....
Suasana di kelas sunyi....
Sangat sunyi.....
Hanya ada nafas kasar Iwat dan Dean.....
Hanya ada lirikan-lirikan tajam para makhluk yang ilfeel terhadap cinta.....
Sang dosen killer pun melangkah mendekat.....
Sunyi..... ‘Oh no....
10 detik kemudian, tentunya telah terjadi peristiwa menggenaskan disana. Dua mahasiswa edan tergelepar pasrah di koridor depan kelas. Bersiap-siap menerima panggilan dari sang dosen, untuk kemudian berserah diri pada Tuhan agar mampu pulang dengan memanggul sejuta tugas tambahan.
“Gue maklumin kebodohan lo yang ngebuat kita jadi kayak gini.” Iwat sok ber-jiwa besar, saat mereka berjalan meninggalkan ruang Pak Almat.
Dean menoyol kepala Iwat agak kencang ke bawah. “Masih untung kita baru di kasih tugas tambahan, dari pada D.O. Gua tuh udah berulang kali keluar masuk ruangan Dosen, Cuma gara-gara bikin gaduh di kelas.”
“Banyakan lo apa gua sih?” Iwat mempercepat jalannya menuruni 4 buah anak tangga. “Tugas tambahan yang lalu aja belum gua bikin tuh, malah gue udah lupa topik-nya apaan.” Yup, saatnya mengerjakan skripsi sepertinya terlalu cepet.
“Lo aneh sih, tiba-tiba bilang kalo lo lagi jatuh cinta. Untung bukan sama gue. Bisa meledak gue kalo kejadian.”
“Gue serius.” Iwat berhenti. Dean ikut berhenti. “Apa ada yang aneh kalo gue jatuh cinta?”
Tatapan Dean seperti memantulkan pertanyaan Iwat tadi, dan meminta Iwat untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
“Ok-ok, gue nyesel udah bilang kalo perempuan itu Cuma bisa nyusahin.” Iwat kem-bali berjalan “Tunggu-tunggu, kok cewek yang gue ledek, tapi lo yang ngambek, jangan-jangan lo merasa lagi.”
“Karna sampe sekarang gue masih nyadar kalo orang yang ngelahirin gue itu seorang perampuan.”
Mereka memilih untuk duduk berteduh di bawah pohon.
“Trus gimana soal cewek yang lo cinta tadi? Jangan lama-lama di pendem lho, kalo lo nggak mau nyesel nantinya.” Dean memulai kembali pembicaraan.
“Begitu-begitu.”
“Gimana begitu-begitu?”
“Ya begitu-begitu tuh begitu-begitu.” Tuh kan tambah bingung. “Lo tau kan ini first love gue! Gue punya rencana malam ini.”
***
From : Iwat Item
Ollie, malem ini lo mampir ke CheZZin ya!!! Kira2 jam ½ 10-an deh, abis gue manggung. Please.Iren membaca inbox HP Ollie yang tertanda Iwat. Dia senyum-senyum bangga terhadap Ollie yang lebih dulu menyodorkan sms itu meminta pengertian lebih lanjut. Di dalam kamar kos Iren, sebuah teriakan kebanggaan berkumandang.
“YIAAAIII.... akhirnya sahabat gue ini nggak merana lagi.” Iren melempar HP Ollie ke kasur.
“Aaaaaargh. Gue minta pengertian. Maksud sms ini apa?” Ollie mengambil kembali HP nya.
“Lugu banget ya lo! Sampe bahasa gini aja nggak ngerti.”
“Ya.. emang gue lugu kok.”
“Lugu maksud gue itu ‘LUAR BIASA GUOBLOK’ one...ng!!”
Ollie menimpuk Iren dengan bantal. “Trussss.... trussss..”
“Itu maksudnya, dia ngajak lo kencan.” Iren memperjelas kata terakhir sambil menyentuh batang hidung Ollie. “Kencan-kencan... lo ngerti kan! Itu loh, dimana ada cewek dan cowok berduaan di sebuah tempat romantis dengan dandanan yang formal.”
Sejenak Ollie menengadahkan kepalanya ke langit-langit kamar. “Kencan? Ber-arti mesti ada kemben, dong??”
Iren tertawa.
“Oh my god!!! Gue belum siap ngadepin momment-momment kayak gini.” Ollie memegang kepalanya.
Iren terbahak.
“Lagi pula, daster aja gue nggak punya, gimana dress, apalagi yang berkemben!” Ollie menggeleng kepalanya.
Iren tertawa terbahak.
“Duh, gue gak bisa bayangin deh cewek cuek kayak gue mesti berdandan seolah orang yang kelebihan harta.” Ollie menepuk kepalanya.
Iren tertawa terbahak-bahak, hingga Ollie pun merasasudah cukup tega untuk menikamnya sekarang.
“Stop... okay, gue bakal dandanin lo supaya lo bisa pantes berdandan seperti.. siapa.. orang-orang yang kelebihan harta.” Iren dengan sempat merangkul Ollie sebelum ia benar-benar menikamnya. “Kita nggak perlu buang-buang duit ke salon apa lagi buat beli perlengkapannya. Gue bawa kemben punya kak Irty. Gak pernah lupa dong, persediaan siapa tau gue juga kebagian waktu kencan sama cowok. Untung gue punya kakak yang bercowok tajir. Jadi gue bisa sesuka minjem-minjem barang mahal dia, toh barang itu juga bukan punya dia kan.” Mungkin Iren sedikit menyinggung kebaikan hati Irty, kakak kandungnya, seorang karyawati swasta yang tengah berpacaran dengan anak, atau calon direktur utama di perusahan tempatnya bekerja.
“Lengkap dengan high heels?”
“Of course... high heels, pinter lo!”
Mati gue...
***
Malam bahagia di suasana yang sunyi. Alunan musik-musik klasik hangat menembus telinga. Sepasang high heels putih berusaha untuk meneruskan setiap langkahnya menembus gemulainya angin malamGeriknya masih menunjukan sebuah keawaman. Entah, mungkin ia belum pantas berdandan layaknya seorang putri. Berkali-kali ia mengeluh atas ketidak nyamanan yang tak berarti.
Ya.. dasar Ollie. Cewek cuek nan kumel yang jarang memperhatikan penampilan, kini disulap untuk ‘bisa’ menjadi primadona. Iwat, hari ini katanya sih dia yang mau ngajak kencan Ollie. Oke.. oke.. mungkin ini bukan kata Iwat, tapi kata Iren. Si calon dokter cinta yang bisa dibilang melebihi standar orang sok tau.
Ollie datang ke CheZZin didampingi Iren. Ada alasan tertentu juga kenapa Iren rela mengantar Ollie sampai ke CheZZin..... kali-kali cewek ngapelin pacar boleh juga kan? Dengan dandanan yang seadanya, Iren mencoba mempraktekan ajarannya cara menonjolkan ke anggunan wanita, pada Ollie.
Berusaha untuk stay beauty, Ollie masuk ke dunia CheZZin. Mereka menduduki tempat duduk yang tak jauh dari pintu keluar. Iren celingukan melihat sekitarnya, Ollie diam saja melihat sahabatnya yang sepertinya amat mengharapkan kehadiran seseorang.
“Ruben mana ya?” Iren masih celingukan.
“Kalo nggak janjian mana bisa ketemu.”
“Pasti ketemu lah, orang dia kerja disini.”
“Tempat ini Buesarr Iren, lagi pula siapa tau dia di cafe sebelah.”
Iren menghentikan pencariannya. Dia menatap HP untuk sekedar memastikan jam berapa sekarang. 09.14, angka-angka itulah yang tertera di sana.
“Ollie, sekarang jam sembilan seperempat, berarti suara piano ini Iwat yang mainin. Ya kan?”
Ollie diam, ia memperhatikan denting-denting piano yang mengalun.
“Mungkin.”
“Cie.. yang mau jadian!!”
“Ngomong apa sih lo? Siapa yang mau jadian.” Ollie memasang mimik wajah ‘gue cekek lo’. “Sssst! Tuh.” Ollie menunjukan matanya ke seseorang di belakang Iren yang berjalan mendekati mereka.
Iren mencoba memalingkan pandangannya ke belakang, sebelum akhirnya dua telapak tangan menutup kedua matanya. Dua detik Iren tak berkutik. Ollie cengingisan.
“Ruben, lepasin gak?” Iren memastikan seseorang yang iseng menyumpel mata-nya itu.
Tak lama kemudian, orang itu melepaskan tangannya. “Ya.. ketauan deh.” Ruben, yak tepat. Dia lah yang menyumpel mata Iren.
“Siapa sih yang gak kenal parfum melati kamu?” Iren meladeni pacarnya yang minta untuk di cipika-cipiki. “Kok kamu tau aku ada di sini?”
“Kontak batin, kita kan soul mate. Tiba-tiba aja aku ngerasa kangen dan mau ketemu kamu sekarang disini. Tepat di meja ini.” Ruben menduduki kursi sebelah Iren.
“Ehem-ehem. Gini ya kalo pacaran? Orang ketiga nya nggak di anggep.” Ollie sewot dengan sedikit sindirannya.
“Oh iya, kan ada Ollie...... ya....” Ruben memalingkan pandangannya menuju Ollie. Tatapannya kaku seketika melihat seseorang di depannya. Sepertinya kenal. Uuuh menakjubkan. Begitulah tanggapan hatinya. “Ollie?”
“Aduh tuh kan, Ruben aja sekaget ini. Tanggung jawab ya, Ren kalo nenek gue mendadak jantungan waktu gue balik nanti!” Ollie melirik Iren tajam. Penuh kebencian sementara.
“Mau ngapain sih? Kok dandanan lo jadi kayak emak gue?” Ruben tertawa sebelum akhirnya mendapat pandangan jitu dari Iren yang seakan berkata ‘itu hasil karya gue’. “Keren kok. wonderful baanget! Siapa sih yang bisa ngedandanin secantik ini?” Gombal Ruben, untuk Iren sebenarnya. Tapi sepertinya pipi Ollie yang lebih menyerupai tomat busuk.
“Ehemm.. ehemm.” Iren menjawab pertanyaan Ruben tadi (yang ‘mau ngapain’ bukan yang ‘cewek edan mana yang nyulap lo kayak gini ini’). “Ben, mumpung kita ketemu disini, langsung cabut aja yuk. Kamu udah selesai manggung bukan?”
Ruben dengan matanya yang muter-muter sok mikir dengan kalimat ‘mmmm’ yang biasanya lebih sering orang kluarin saat minta di sun oleh maminya. Yup, sama seperti perlakuan anjing galak lain bila melihat gaya seperti ini, dia akan membuat sang korban berteriak karna kekejamannya.
“Aaaaaaaaaaarghhh.”
“Gak usah banyak gaya deh. Sok sibuk banget sih lo!” Ollie belum melepaskan cubitannya di paha Ruben. Jangan aneh kalo tiba-tiba aja Ruben berniat memamerkan ukiran tangan Ollie di pahanya itu dengan blak-blak-an, dan minta segera dioleskan obat penawar rabies.
“Iren.... Iren.... tolong...” Dengan segala cara Ruben mencoba melepaskan cubitan Ollie. Sedetik setelah Ruben mengeluarkan air mata, akhirnya Ollie mengalah juga. “Aduh. Makin bengkak deh bisul gue. Lu kenapa sih Lie? Tempramental banget. Baru gaya gitu. Belum gaya manja gue.” Ruben berkata selayaknya perempuan yang baru di aniyaya suaminya.
“Hmm.. kalo lo sampe manja sama Iren di depan mata gue, bisa bolong tuh paha!” Sebuah telunjuk tega menyentil bisul di paha Ruben yang---tampaknya---makin membesar. Kembali dengan tampang judes sedikit sangarnya, Ollie, si anjing ganas, mengernyitkan dahinya ke arah Iren sambil menunjuk angka jam pada hp-nya.
Iren mengangguk dan menepuk pundak Ollie, kemudian ia berdiri, meraih tangan Ruben, dan hang out dari tempat itu. “Ok deh Lie, semoga berhasil kencan pertama-nya!” Iren melambaikan tangan sambil masih menyeret Ruben. Baru saja beberapa meter mereka melangkah, tiba-tiba Iren membalikkan tubuhnya. Melepaskan tangan Ruben dan berlari ke arah Ollie, cepat. Dia melempar kunci mobilnya ke Ruben, menyuruh agar Ruben pergi duluan. Dia menyambar pundak Ollie dan mengangkatnya berdiri, dan ber-jalan menuju tempat lain.
Ollie yang gak tau apa-apa terpaksa mengikuti kemauan Iren. Dengan keadaannya yang ber-hak tinggi, mungkin sulit untuk melakukan pamberontakan. “Apaan sih Ren, lo kenapa?”
“Lo gak akan percaya sama yang tadi gue liat.” Iren berbisik di telinga Ollie. “Gue liat Justin di meja gak jauh dari meja kita. Dan dia kayak lagi ngliat lo gitu.”
“Justin, Justin siapa? Emang dia kenapa? Dia mau culik gue ya?”
“Iya kayaknya sih. Tapi, masasih seorang Justin Timberlake mau nyulik lo?”
Ollie menepuk punggung Iren yang sedang terkikik. “Ah elo, kerjaannya ngerjain gue mulu.”
“Udah, pokoknya sekarang lo SMS Iwat supaya cepetan dateng. Tenang Lie, pokoknya lo bakal lebih pewe di deket panggung. Ah udah ya, gue cabut dulu. Setelah ini, pokoknya lo harus langsung ngehubungin Iwat. Oke.. cahyo!” Iren pergi
Ollie merasa dia duduk lebih dekat ke panggung. Entahlah apa yang sedang Iren rencanakan. Tapi, semestinya, jam segini Iwat sudah di atas panggung sedang memain-kan piano-nya. Kok sekarang orangnya gak ada?
Ollie segera mengangkat HP-nya.
To : Iwat Item
Gw udah nyampe d CheZZin dr tadi, lo dimana?SMS itu terkirim, dan report menyatakan bahwa SMS itu telah sampai. Entah apakah Iwat segera membacanya, atau mungkin HP-nya tertinggal di kamar kos dan tak sengaja dibaca Ipul yang kemudian menghampirinya di CheZZin. Dengan harap-harap cemas Ollie menanti balasan. ½ menit setelah SMS itu terkirim, tiba-tiba musik berhenti mengalun. Ya, lagu tadi emang udah abis, jadi gak ada sesuatu yang istimewa dari kejadian ini. Hilangnya suara musik malah membuat Ollie makin gelisah.
Di tengah kegelisahan Ollie, dengan lembut sebuah lagu kembali di mainkan dengan suara piano. Gak salah lagi, ini adalah lagu yang sukses membuat hati Ollie melayang dan nyaman. Ollie merasa mengerti dengan alasan mengalunnya lagu ini.
Untuk aku.....Ollie membawa matanya untuk menatap sang pianis. Iwat terlihat rapih dengan busana yang di kenakannya. Tak seperti biasanya yang hanya mengenakan sweater, sneakers, dan kupluk kesayangannya. Walaupun masih mengenakan blue jeans, tapi setidaknya ia sekarang berkemeja. Ini kali pertamanya ia menatap secara langsung ketika Iwat sedang memainkan piano. Benar-benar berkesan.
Merasakan hadirnya sebuah getaran saat ia melihat seseorang yang memainkan piano itu. Ollie benar-benar merasa semua ini Iwat lakukan semata hanya untuk dirinya.
Semua pun bertepuk tangan sesaat setelah Iwat mengakhiri pertunjukannya. Iwat menuruni panggung dan melangkah mendekati Ollie. Mata mereka bertatapan penuh makna. Iwat melayangkan senyum manisnya. Ollie menerima senyuman itu dan segera memasukannya dalam hati. Dalem banget.
“Hei Wat. Ada apa?” Ollie bertanya, pelan. Sungguh pelan sampai-sampai Iwat pun tak mendengar apa yang telah ia ucapkan.
Ia masih menatap mata Ollie. “Kamu cantik banget malem ini.” Terpesona lah mereka ke dalam suatu suasana. Dimana saatnya saling memuji dan melempar senyuman.
Musik dansa berkumandang dari arah panggung. Saatnya pesta. Semua peng-unjung di persilahkan berdiri untuk memeriahkan pesta dansa malam hari ini. Pesta dansa di CheZZin memang rutin dilakukan setiap malam minggu lepas jam 22.00. Semua mulai melenggangkan tariannya. Begitu anggun sehingga membuat Ollie seperti orang tersasar yang gak tau adat istiadat dari tempat tinggalnya. Dia nggak bisa dansa, apa lagi yang bernada slow motion. Satu-satunya gaya dansa yang ia punya hanyalah tari bali (itu namanya bukan dansa, tapi tarian tradisional).
Cukup kaget juga saat tiba-tiba Iwat menggenggam tangan, dan melingkarkan tangannya di pinggul Ollie. Ia mengajak Ollie berdansa perlahan-lahan. Tak mahir, jelas. Bukan tak mahir lagi, tapi tak bisa. Langkah kakinya tak senada dengan kaki Iwat. Ia seperti di pontang-panting, lempar kesini, lempar kesana. Tak jarang hak nya menginjak kaki Iwat.
“Iwat, pelan-pelan! Gue gak bisa dansa, kalo jatuh kan gue yang malu. Lo sih bisa aja pura-pura gak kenal.”
“Kamu gak akan jatuh, ada aku yang megang kamu.” Iwat memindahkan tangan-nya dari pinggul meuju punggung Ollie. Menjaga keseimbangan tubuh Ollie. “Tenang aja, kita akan berkuasa di lantai dansa ini.” Iwat mendesah di leher Ollie.
Ollie menatap sekelilingnya. Semua orang berdansa sesuai anjuran musik, ada beberapa, bahkan banyak dari mereka yang berciuman dengan pasangannya. Coba Joni ada disini, mungkin itulah yang ingin dia minta, disini dan menciumnya. Ollie memandang Iwat, ia tak boleh berharap Iwat akan melakukannya.
Mereka tebawa dalam suasana malam ini. Begitu romantis. Iwat perlahan-lahan mengajarkan Ollie berdansa. Sedikit demi sedikit, para pengunjung mulai memper-hatikan mereka berdua. Dansa yang Iwat ajarkan sudah memasuki tahap profesional. Ollie pun mulai mengerti dan hafal langkah-langkah yang di ajarkan Iwat.
Mereka berdua sudah menjadi penguasa lantai dansa malam ini.
Seharusnya Ollie merasa bangga malam ini. Tapi entah kenapa, malam ini ia malah makin merasa terhina. Disini ia sedang hanyut dalam suasana dansa bersama seorang laki-laki. Padahal di tempat lain, ia sudah memiliki kekasih. Ia tak pernah tenang menghadapi setiap detik yang berlalu dalam rangkulan Iwat.
Apalagi saat Iwat menatap dalam matanya. Ada sorot lain yang terpancar, sorot yang membuat Ollie tidak kuat untuk lebih lama melihatnya.
Namun Iwat memaksa Ollie untuk terus memandangnya. Ollie berharap ini bukanlah hipnotis yang di lakukan oleh maling-maling biasanya. Tentu bukan. Iwat bukan maling. Dia hanya seorang lelaki spesial yang berani memegang pipi Ollie lembut, begitu lembut.
Ollie tidak kuat melawan kenyataan. Ia tidak bisa menampar Iwat lagi sekarang, meskipun ini terlalu kurang ajar. Matanya terpejam ketika ia merasakan wajahnya melayang dengan sentuhan lembut tangan Iwat di pipinya.
.......
Ollie sadar dengan apa yang sedang ia lewati ini.
Ollie menjerit dalam hati. Ia sudah tak sanggup membendung air matanya.
Saat ia merasakan ada kelembutan membelai bibirnya. Kelembutan yang diberikan bibir Iwat.
Dan cinta itu memaksa menerobos menyusup di antara dua hati yang masih dilanda ketidak pastian. Mungkinkah semua itu telah terjawab mulai detik ini?
Sejak awal malam ini, Ollie merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Saat bertemu dengan Iwat, Ollie semakin takut dengan perasaannya.
Kenapa? Apa dia takut berkhianat? Apa dia takut jatuh cinta lagi?
Usai sudah pesta dansa hari ini. Semua orang kembali ke tempat duduknya mesing-masing. Beberapa orang memilih untuk langsung pulang meninggalkan cafe. Begitulah yang dilakukan Ollie dan Iwat. Setelah selesai, mereka langsung keluar pintu dan berencana segera pulang ke rumah. Ini udah terlalu malam. Bukan saatnya mereka pergi lagi ke tempat lain.
Iwat merangkul pundak Ollie yang kelelahan. Ollie pun memberanikan diri untuk bersandaran di dada Iwat, ketika tiba-tiba seseorang menyambut kemesraan mereka dari belakang.
“Woi!!! Gokil, lo berdua ngapain main rangkul-rangkulan.” Ruben dengan tampang cerianya membuat Ollie menjadi salting dan segera mendorong Iwat agar menjauh dari tubuhnya. “Ow ‘ow, kayaknya gue ketinggalan berita nih!”
“Berita? Apaan sih Ruben, gosip aja.” Ollie mencibir.
“Lagian mesra banget. Lo mau pulang ya Lie, mau gue anterin? Bentar lagi supir gue dateng pake BMW.” Ruben melirik ke arah Iwat dengan harapan Iwat akan menghajarnya saat kalimat terakhir terucap dari mulutnya. “Ok, gue tau lo pasti nolak, kan udah ada Iwat.
Heh Wat, jagain nih anak bae-bae. Sayangin dia kaya gadis normal pada umumnya. Ok!” Ruben berlalu meninggalkan mereka sebelum Ollie merasa baru saja disindir.
Sepertinya Ollie sedang tidak bersemangat untuk berburu sekarang. Dia tidak peduli sedang berlari kemana Ruben. Ollie melanjutkan langkahnya, mendahului Iwat yang sejak tadi tidak berkata-kata. Iwat mengikutinya dari belakang.
Beberapa saat kemudian, Ollie berhenti di samping sebuah Vespa unik milik Iwat. Tepat saat sebuah BMW hitam melintas di jalanan.
‘
Huh, Jemputan Ruben deteng.’ Pikirnya. Dia sedang termangu saat Iwat tiba-tiba ikut-ikutan berdiri disampingnya.
“Kenapa nggak terima aja ajakan Ruben tadi, naik BMW?” Iwat memecah kesunyian yang tadi ia timbulkan.
“Kalo bener-bener diajak sih ya gue mau aja. Jauh lebih asyik-kan? Tapi niat dia ngajak gue tadi kan Cuma buat ngejek.” Ollie duduk di jok Vespa sehingga menimbulkan bunyi ‘Nyiiit’.
Sedangkan Iwat duduk di motor bebek seberang vespanya. Motor bebek berwarna silver milik salah satu pegawai cafe ini. “Jadi, mau pulang naik apa? Vespa gue? Apa nggak ribet apa? Lo kan pake dress.”
“Ya, nggak lah, mana mungkin gue nekat naek vespa dengan pakaian kayak gini.”
“Oh, yaudah gue panggilin taksi dulu ya.” Iwat bangkit dan bergegas pergi, sebelum Ollie menyambar tangannya, dan mencengkram ekstra kuat. Menyuruh Iwat untuk kembali ke tempatnya. “Etss, apaan nih?” Iwat terduduk kembali di motor bebek silver. Berkat dorongan Ollie, hampir saja Iwat menjatuhkan motor itu.
Ollie memandang mata Iwat dalam-dalam, hingga membuat suasana makin terasa mencekam. “Gue mau minta penjelasan sama lo.”
“Penjelasan apa?” Iwat berusaha menghindari, walaupun sesungguhnya ia me-ngerti apa yang Ollie maksud.
“Ah, nggak usah pura-pura lemot deh! Gue tau lo itu jenius, jadi pasti lo tau apa yang gue maksud tadi. Dari tadi lo juga udah mikirin soal itu kan? Gue minta lo ngejelasin kenapa semua itu mesti kejadian?”
“Kenapa itu semua mesti kejadian?! Lo kira itu pertanyaan yang adil buat gue. Lo ada di depan gue. Lo juga ngerasaain betapa tak terkendalinya kerja otak kita. Gue gak maksa lo buat berpasrah diri untuk apa yang bakal terjadi tadi. Kenapa? Apa masih harus gue jelasin pertanyaan yang semestinya dari tadi bisa lo jawab itu?” Iwat mengeluarkan bentakan-bentakan yang makin membuat Ollie merasa panas.
“Tapi gue masih punya harga diri!!” Ollie berdiri tegap sambil menunjuk mukanya. “Lo itu bukan siapa-siapa gue! Lo gak berhak ngerebut first kiss gue!!”
“Kalo lo masih punya harga diri, kenapa lo nggak nampar gue aja, yang jelas-jelas gue itu bukan siapa-siapa lo!?” Iwat ikut-ikutan berdiri dan menunjuk kasar muka Ollie.
Ollie memundurkan sedikit mukanya dengan maksud menghindari jari telunjuk Iwat. Ia sudah tak bisa berkata-kata lagi.
“Gue juga ngerasain apa yang lo rasain. Makanya gue berani ngelakuin itu!!” Iwat duduk kembali di jok motor bebek. Sedangkan Ollie masih terpaku di tempatnya. “Kalo lo mau jujur sama gue, sebenernya di hati lo itu ada cinta buat gue kan?”
Ollie memandang Iwat kaget. Ia meremas kepalan tangannya, seperti saat dia mau menonjok Iwat dulu. Malah sekarang lebih keras. Beberapa detik kemudian, kepalan itu makin melemas, hingga tak terasa lagi. Ollie luluh.
“Lo salah Wat, cinta gue itu udah jadi milik seseorang.” Tiba-tiba Ollie merasa Joni sedang merangkulnya dari samping. “Dan gue, masih teramat mencintai dia.”
Mata Iwat seperti berkaca-kaca saat melihat sinar mata Ollie yang berkeyakinan penuh. Ia memijat-mijat kepalanya yang mendadak menjadi migran. “Ok, sorry kalo gitu atas kesalah-pahamannya. Tapi lo nggak marah sama gue kan? Kita masih temenan kan?”
Tanpa menjawab pertanyaan Iwat tadi, Ollie berlari meninggalkannya ketika sesuatu terasa menyumbat kedua lubang hidungnya. Dia tak mau tahu apa yang dilakukan Iwat setelah ia pergi.
***
Dua pasangan yang sukses merebut kekuasaan lantai dansa tadi telah berpisah.
Setelah Ollie memutuskan untuk menumpangi sebuah taksi dari pada harus sempit-sempitan di atas vespa. Apalagi dengan keadaan hatinya yang lagi tak menentu.
Malam ini rasanya banyak hal yang janggal. Iwat menjadi lebih lembut dan romantis. Dia mau sabar mengajari Ollie berdansa. Padahal biasanya dia ogah-ogahan menghadapi cewek yang manja.
Ollie bersedia berpakaian super formal dengan bejibun bahan-bahan make up di mukanya. Tanpa memperhatikan motonya : ‘hiiiiii..!! Gue gak betah make gitu-gituan’. Dan entah sadar apa tidak, Ollie menerima tangannya di pegang oleh Iwat. Padahal sebelumnya dia belum pernah sama sekali pegangan tangan sejuta rasa bersama laki-laki yang bukan mukhrim, termasuk Joni, pacarnya sendiri. Dan yang lebih tidak lazim, hari ini ia berani menghadapi first kiss-nya, bukan dengan suami maupun pacar, tapi hanya dengan seorang Iwat yang baru saja ia kenal.
Entahlah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.
Perasaan ngantuk yang sedang melanda pikiran Ollie tak dapat melumpuhkan kebimbangannya saat ini. Dari tadi Ollie merasa kehadiran Joni di sampingnya, mulai dari hawa, hangat, belaian, sampai kekangenanya yang terasa berlebihan. Ingat saat Iwat mempertanyakan cintanya dan saat dengan lantang Ollie menolaknya, tiba-tiba saja ia merasa tangan Joni sedang merangkulnya.
Dan kini, saat Ollie mencoba memandang bintang di langit melalui kaca taksinya, ia menyadari bahwa jarak antara ia dan Joni tidak seperti jarak antara Indonesia dan Amerika.
Mungkin ini lebih baik, tapi Ollie merasa bahwa ia belum siap untuk menatap hari esok dengan segala kemungkinannya.
***
“Daridam-dam-dam. Daridam-ridam-ridam.” Nada terkasih perwakilan isi hatinya kini. Sepulang dari kencan rianya dengan Ruben tadi, Iren segera menduduki meja rias. Tak lupa dong, setiap malam harus ada perawatan khusus untuk wajahnya. Seperti yang terjadi tadi, sambil bersenandung nggak jelas, Iren mengambil segala bahan-bahan pembersih wajah. Baru mulailah dari tahap berkaca.
Cewek satu ini memang gak pernah melewati soal perawatan wajah. Biar di-pandang cewek sempurna katanya. Dari paras wajah saja sudah memiliki kelebihan, apalagi postur tubuhnya. Senang bercanda dan terlalu setia kawan. Lagi pula IQ nya juga gak jongkok-jongkok banget kok (se-tidaknya lebih berdiri dari Ollie). Jago ngegaet cowok pula. Dengan demikian sukseslah ia mendapatkan gelar sang dokter cinta.
Iren hidup bersama 2 saudara kandung yang menyayanginya. Irty sebagai kakak berumur 24 tahun dan Tarra sebagai adik berumur 15 tahun. Tentunya mereka semua perempuan. Mungkin selisih umur yang berdekatanlah yang menyebabkan mereka slalu mengambil jalan persaingan untuk mendapatkan sesuatu. Begitulah yang terasa pada penampilan mereka. Berusaha untuk menjadi yang termegah. Apa jadinya 3 wanita sempurna tinggal dalam satu rumah?! Entahlah.
Kini di jam segini tempat tidur mungkin adalah lokasi paling dituju oleh semua insan yang baru diserang sebuah hantaman kegiatan seharian tadi (rasanya terlalu mendaramatisir). Saatnya juga Iren mengikuti jejak mereka.
Hup..
Kebiasaannya terjun ke tempat tidur malah menjadi semenjak ia jadian dengan Ruben.
Beberapa menit setelah menempatkan tubuhnya di tempat tidur, akhirnya ia terbawa juga ke dunia mimpinya. Disini.. Iren kini berada di suasana pagi yang indah. Sejauh mata memandang hanya terlihat rerumputan nan hijau dengan sedikit tumbuh bunga-bunga yang bermekaran. Tiba-tiba dari kejauhan, seorang lelaki berlagak gagah datang mendekati dirinya. Iren sudah bisa melihat bayang-bayang seorang Ruben dari sana.
Wajahnya... posturnya.. wangi parfumnya.. mmm... srut.. srut. Tapi kok, baunya makin lama makin berbeda. Bau sate?! Hah kok postur tubuh Ruben melangsing?! Kok dia jadi kayak cewek?! Aaaarghh..???!!! “Aaaaaarrrrgggghhhh.... Ruben jadi banci!!!”
“.....”
Hening.
Suasana sudah kembali ke keadaan kamarnya. Sedikit bergeming malu ketika melihat seseorang yang berdiri di depannya.
“Ollie?”
“Ke.. ke.. kenapa lo Ren? Kok Ruben jadi cewek?” Ollie yang berada di depannya itu tercengang menahan tawa.
“Lo tau kan gue Cuma mimpi tau.” Iren bangun dan duduk di kasurnya. Diikuti Ollie yang duduk di kursi meja rias. “Gue kan lagi mimpi enak-enak sama Ruben tadi. Eh lo malah tiba-tiba muncul di hadapan gue. Muka Ruben ya mendadak nyrupain lo.”
“Hahaha.. nggak bisa ngebayangin gue muka Ruben waktu sedikit demi sedikit berubah jadi muka gue.... HAHAHAHA.” Cekakak. Sambil melepas aksesoris-aksesoris di dirinya, Ollie terpingkal-pingkal ketika terbayang Ruben yang menor dan mengenakan gaun berkemben.
“Diem dong, jangan ngebayangin Ruben jadi banci!!!” sedikit dengan nada ngambeknya.
“Buruan telpon tuh cowok lu, siapa tau dia beneran jadi cewek. Mimpi itu kan kadang bisa jadi kenyataan.” Tanpa sebuah izin hak minjem, Ollie memakai perlengkap-an pembersih wajah Iren.
Bukk...
Sebuah hantaman bantal mendarat di kepalanya.
“Lo tidur kok nggak pake kunci pintu? Udah tau ya gue bakal mampir?”
“Tau ah. Gila ya Lie, jam segini baru pulang? Abis ngapain aja sama Iwat?”
Ollie refleks menatap jam di HP Iren yang tergeletak di atas meja rias. 00.44. “Ngapain ya, kayaknya gak ngapa-ngapain tuh.”
“Yang bener? Awas aja tuh Iwat kalo sampe ketauan Ollie udah nggak perawan lagi.”
Bukk...
Ollie mengembalikan bantal yang tadi menghantam kepalanya, ke arah muka Iren. “Ye... emang gue cewek apaan!! Lo sendiri juga baru pulang kan?”
“Hmmm... tadi gue ditraktir nonton dulu sama Ruben.”
“Halah, layar tancep aja, berapa sih harganya?”
“Pokoknya kalo lo ikut, gue jamin lo nggak bakal betah. Tadi itu kita mesra bange.......t.”
Sekejap, pikiran Ollie langsung memasuki suasana layar tancep dengan bejibun penonton bersama pasangannya masing-masing sedang suap-suapan gulali.
“Kisah romantis lo nggak bakal se-romantis gue deh.” Iren melebih-lebihkan.
Bersih sudah seluruh perlengkapan kencan Ollie tadi. Kini pakaiannya sudah kembali normal.
Dia memandang kaca sejenak, melihat dan mencari perubahan darinya. Bibirnya, mungkin. Iren belum tau masalah ini, dan entah harus sampai kapan ini akan di tutupi. Sebagai sahabat sebaiknya Iren tau apa yang baru saja terjadi pada Ollie. Tapi Ollie masih kurang nyali untuk menceritakannya. Paling tidak sampai Iren juga merasakannya.
“Ollie, ngomong-ngomong udah nyaris jam 12 nih, lo gak takut di cariin nenek lo apa?” Iren mengalihkan pandangannya dari jam dinding berbentuk sepatu, ke Ollie yang masih bercermin sambil senyum-senyum g jelaz. “Oi!!”
“Ren, gue mau ngomong sesuatu sama lo.” Ollie memandang Iren lewat pantulan cahaya cermin. “Tapi jangan sekarang.”
Iren menenggelamkan muka-nya di bantal. “Serah lo dah!!! Ga usah d ceritain juga engga pa-pa. Gue ngantuk banget sekarang.”
Ollie pun ikut-ikutan melompat ke kasur Iren. “Malem ini gue tidur di kamar lo ya Ren!!!”
Okelah, Iren sih tidak mempermasalahkan mau sampe kapan dia di kamar ini, tapi........
Di rumah nenek.
“Adu......hhhhh, Ollie teh kemana sih. Jam segini kok belum pulang ya!!!” nenek mondar-mandir mengelilingi seisi rumahnya. Tak lupa ia juga mengikutsertakan peng-huni yang lain untuk menambah suasana panik disana. “Gimana Tia, udah nyambung belum telponnya.
Cklik.
Suara gagang telpon yang di letakkan. Untuk kesekian kalinya Tia menjadi korbaan keganasan nenek yang terus menyuruhnya untuk menelpon Hp Ollie yang ter-sillent di dalam tas pesta Iren. “Udah lah nek, palingan Ollie nginep di rumah temennya. Biasalah, namanya juga ABG. Lagi pula tadi dia udah bilang ke Tia kalo nggak pulang malem ini, berarti dia masih di kamar kos Iren.”
“Nggak bisa-nggak bisa. Nenek nggak akan tenang kalo kayak gini. Aduh Ollie, nih barudak teh meni’ ribet amat ya...” ini mah lo aja yang ambil ribet.
***
Sabtu pagi, memang waktu yang menyenangkan untuk sekedar berlari pagi dijalanan. Udara sejuk di Bandung selalu mendorong mereka untuk semangat menatap kembali indah dunia, walaupun masih dalam isu-isu global warming yang makin mencekat.
Tak seperti biasanya, jalanan kali ini terlihat sepi dari para olahragawan/wati. Tak ada satupun orang yang berceceran di sana. Yang ada malah kendaraan-kendaraan bermotor yang menimbulkan polusi di udara mondar-mandir nggak karuan mencari menu makanan baru yang akan mereka gunakan untuk sarapan pagi.
Ya, cuaca pagi ini memang kurang mendukung untuk pelaksanan lari pagi. Hari ini terlihat mendung dengan jatuhnya titik-titik air yang biasa kita sebut gerimis. Maka itulah, mereka lebih memilih untuk mengoperasikan kendaraan bermotor.
Diantara mobil-mobil yang memadati jalanan, terdapat VW Iren yang ikut beroperasi sejak subuh. Iren terpaksa bangun lebih awal di hari libur ini karna semata-mata untuk kepentingan....
‘
Apa lagi? Siapa lagi’ Iren mengeluh dalam hati.
Ollie memaksanya untuk segera diantarkan ke rumah nenek sejak ia mengetahui bahwa ada 23 missed calls yang masuk ke HP-nya. Siapa lagi?
Suasana memang sangat hening dari tadi. Terasa sekali perasaan Iren yang memang sedang sangat jengkel. Makin lama Ollie berada didalam VW Iren, ia makin terasa gelisah. Entah harus ia mulai dari mana untuk mencairkan suasana.
“Ren,”
Brukk.....
“Kampret lo!!!” Iren berteriak dari jendela mobilnya yang sengaja tak ditutup.
Ya, baru saja Ollie mencoba untuk mengajaknya ngobrol ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet mobil Iren. Dan membuat suasana makin panas. Ollie makin takut untuk mengajaknya bicara.
“Sialan banget sih emang motor. Dia tuh selalu merasa bahwa jalanan Cuma punya dia, sehingga dia bisa enak-enakan nyelap-nyelip. Giliran jatuh, mobil yang di salahin.” Iren ngambek, entah dia ngomong sama siapa.
Ollie diam, dan... “Lo, ngomong sama gue Ren?” dia tercekat.
“Ya iyalah, lo kira ada orang lain di mobil ini. Tapi gue ngomong gini diperuntuk-an kepada seluruh pengendara motor, bukan elo yang ngendarain motor aja nggak bisa.”
Rasa damai sekarang menyelimuti hati Ollie. Walaupun nadanya masih galak, tapi yang penting Iren masih mau mengajaknya ngobrol.
‘
Ok, kita mulai, jangan sampe gue ngungkit masalah ketakutan gue soal muremnya muka Iren pagi ini’
“Iya bener tuh, dasar motor, maunya sendiri. Kenapa harus ada motor, coba semua orang pake mobil aja, kan lebih aman dan nyaman!!!” Ollie menyumbangkan aspirasinya.
Iren nyengir dan sepertinya kurang mendukung masukan Ollie tadi. “Ya, nggak gitu juga kali Lie, kalo semua orang pake mobil, apa nggak tambah macet jalanan kita? Dengan populasi mobil yang segini aja udah bikin gue pusing, apa lagi kalo ditambah motor-motor yang tiba-tiba berubah jadi mobil.”
“Oh, yaudah. Gue Cuma becanda kok, iya Cuma becanda.”
“Lie, lo hari ini lagi stres berat ya? Kok sampe keringet dingin kayak gitu sih? Takut nenek lo ngamuk, nanti? Santai aja lagi.”
Pagi ini Ollie memang terlihat lebih tegang dan dingin. Bukan karna nenek, tapi lebih karna Iren. Ollie merasa bahwa kini ia seperti orang yang salting. Makanya dia memilih untuk diam dari pada nggak nyambung.
“Oh iya, tadi malem janjnya lo pengen cerita kan sama gue.” Iren mengubah topik, dan membuat Ollie lebih damai.
“Hmm..” Pikiran Ollie mendadak melesat ke keadaan tadi malem. “Tadi malem, gue kangen banget sama Joni.”
“Yee.. biasanya juga gitu kan?”
“Tapi yang kemaren beda. Lebih nyesek. Malah gue ngerasa kehadiran Joni selama gue berduaan sama Iwat. Dia kayak lagi nguntit gue gitu. Makanya, sepanjang malam itu, gue ngerasa Joni lagi marah banget sama gue.”
“Marah? Emang apa yang lo lakuin sampe Joni marah gitu?” tanya Iren, lalu menghembuskan napas panjang, “Udahlah Lie, itu kan Cuma perasaan lo doang. Lo Cuma dansa sama Iwat kan, masa gara-gara itu lo sampe ngerasa Joni hadir, emangnya dia hantu apa?”
“Gue buat kesalahan besar sama dia, terlalu besar, dan itu yang buat gue ngerasa Joni marah banget sama gue!”
“Kesalahan besar?”
“Iya, gue.. gue.. udah ngehianatin Joni. Tadi malem gue sama Iwat...”
“Jangan bilang kalo first kiss lo udah diambil sama Iwat!!” Iren menatap kasar wajah Ollie, sambil mencengkeram keras stir mobilnya.
Seluruh badan Ollie terasa bergetar. Dia tidak tau harus menjawab apa. Dia tidak sanggup untuk berkata jujur apa lagi untuk berbohong. Ollie hanya menunduk ke bawah dan sepertinya dengan diam saja Iren sudah tau apa maksudnya..
Iren kembali menaatap keluar jendela. Dia juga tidak tau harus berkata apa.
“Keadaannya beda. Tadi malem itu semuanya kayak jungkir balik. Iwat jadi lembut dan sayang sama gue. Dan gue mau aja ngelakuin apa yang dia mau. Gue juga nggak ngerti, dan setelah gue menyadari itu, Joni kayak lagi berdiri disisi gue dan dia marah besar.”
“Itu namanya lo lagi jatuh cinta.” Iren dengan tenangnya memberikan solusi. Singkat padat dan sepertinya Ollie sudah menyadarinya.
“Gue tau.. Tadi malem Iwat juga udah nanya gitu, dan dari saat itu gue jadi marah banget sama Iwat, soalnya dia buat gue makin tertekan dan Joni...”
“Joni lagi, lo masih mikirin Joni, kenapa? Belum tentu kan dia mikirin lo! Apa sih yang lo harepin dari Joni? Apa dengan kontak lo sama Joni yang putus, lo nggak ngerasa kalo lo lagi dihianatin sama dia? Lie, lo nggak boleh bergantung sama Joni. Anggep aja lo nggak pernah pacaran sama dia. Lo udah punya cinta baru Lie, jangan lepasin cinta itu, karna Cuma dengan cinta Iwat itu yang bisa ngebuat lo lupa sama Joni. Ngapain juga lo ngerasa berkhianat? Emangnya Joni tau kalo tadi malem ada yang nyium lo?”
“Gue masih cinta banget sama Joni, gue belum sanggup kehilangan dia.”
“Lo bisa ngomong kayak gitu sekarang. Tapi coba nanti, kalo tiba-tiba ada Joni di hadapan lo dan dengan lantangnya mempertanyakan cinta lo sama dia sekarang! Lo pasti pengen nampar dia kan?” Iren menutup pelampiasan kekesalan dalam hatinya pada Joni.
Ollie mencoba menahan tangisnya, namun semua orang tau itu tidak mudah. Sebutir air mata jatuh ke pipi Ollie, diikuti dengan berjuta- juta temannya.
Ia mengerti apa yang Iren rasakan, tapi ia meminta agar Iren yang juga mau mengerti perasaannya. Kemarin malam itu berbagai macam firasat mendarat di pikiran-nya.
‘
Tadi malam gue ngerasa ada yang lain dari bintang di langit’. Dan pemandang-an itu membuat Ollie takut kalau cepat atau lambat dia akan segera bertemu dengan Joni. Dan dia belum siap untuk menyambut kedatangannya.
***
Ollie mengucek kedua matanya yang merah sehabis nangis ketika ia berada di depan pintu rumah nenek. Dengan didampingi Iren, Ollie mencoba mengetuk pintu.
“Assalamualaikum.” Ollie dan Iren berbarengan. 5 detik kemudian seseorang membukakan pintu. Nenek.
“Ollie!!! Dicariin dari tadi malem, kenapa baru pulang?” Sambutan yang penuh kejutan, sambil mempersilahkan mereka masuk.
Iren mengerti keadaan Ollie yang belum sanggup untuk berbicara. Jadi dia berniat untuk menjawab pertanyaan nenek. “Iya nek, tadi malem Ollie ketiduran di kamar kos Iren. Makanya baru sekarang pulang. Trus, HP nya Ollie ketinggalan di dalem tas, jadi nggak sempet ngasih kabar.”
“Oh, tapi Ollie nggak apa-apa kan? Kok mukanya meni beureum kitu (merah banget).”
“Oh, Ollie Cuma pilek kok.” Mereka berjalann menuju ruang keluarga sebelum Olliie melihat sesosok anak laki-laki mendekat di sampingnya.
“Oi mbak, gila ya lo seharian gak pulang, nggak pake ngasih kabar pula.” Anak lelaki itu menyambutnya dengan sedikit hantaman kepalan tangan di pundaknya. Ollie dan Iren tercengang.
“Regha!!!” Iren yang duluan bersuara, sementara Ollie masih bengong tak percaya.
“REGHA!!!!” kesadaran Ollie mulai memulih seketika ia melihat adiknya sedang berdiri di depanya. “Ngapain lo kesini? Sama siapa? Kok gue nggak ngeliat mobil ayah?”
Regha menarik tangan Ollie agar lebih mendekat ke ruang TV. “Lo pasti nggak nyangka gue bawa siapa kesini.” Regha berhenti di depan seorang lelaki. Ollie belum dapat melihat dengan cermat siapa orang yang berdiri di depannya.
Iren datang mendekati Ollie yang berdiri terpaku di ruang TV. Iren baru saja ingin berteriak ketika tiba-tiba Ollie mencengkeram kuat tanganya, sangat kuat, sampai-sampai Iren merasa darahnya tidak mengalir lagi di daerah sekitar telapak tangannya.
“Hai Ollie, Iren.”
***
-bersambung-