6/07/2009

BAB VII - Pacar Baru Iren

(harap baca dari BAB I yaaa)

Di rumah Nandy
Tempat tinggal ini sungguh sunyi. Tak ada jeritan anak kecil yang berlari kian kemari, apalagi gonggongan seekor anjing rabies yang sedang mengejar makan malam-nya. Maklum, di rumah ini Nandy hanya tinggal berdua dengan Bu Wiana, seorang mama berusia 48 tahun yang selalu menyelimutinya dengan kasih sayang. Hari ini sepertinya Bu Wiana sedang berada di rumah, maka itu saat masuk rumah, Nandy langsung menghampiri kamar mamanya.

Sejak Bu Wiana bercerai dari suaminya 8 tahun silam, dia sendiri yang mencari nafkah untuk menghidupi Nandy, anak yang ia bawa sejak ia bercerai. Dia memiliki sebuah perusahaan penerbit buku populer. Jadwal kerjanya sangat padat. Mau nggak mau dia harus menjalani sebuah rutinitas yang menyesakkan, pergi pagi, pulang malam. Dengan adanya perusahaan penerbit ini, tentu saja uang yang ia miliki juga banyak, tapi ia tak pernah silau dengan harta. Setiap hasil yang ia dapatkan selalu ia simpan dengan rapih. Siapa tau saja sebentar lagi dia sudah tak sanggup lagi mengawasi perusahaan itu.

Hari ini Bu Wiana sedang terbaring sakit di atas ranjangnya.

Ciiitt..

Nandy perlahan membuka pintu kamar mamahnya. Sebentar ia menatap mamah-nya yang melirik kearah dirinya. Nandy pun berjalan mendekat.

“Nak, sudah pulang kamu, malam sekali.” Bu Wiana berkata penuh kelesuan.
“Mah, gimana keadaannya? Udah baikan belum?” Nandy menyalami tangan mamanya yang terkulai lemas.

Bu Wiana bercerai dari suaminya karna beberapa masalah yang sudah tak bisa dihindari lagi. Dan akhirnya jalan seperti ini yang harus diambil. Nandy berpisah dari papahnya, dan juga satu adik lelakinya. Awalnya adiknya itu merupakan hak mamahnya, tapi papahnya yang tak mau mengalah, meminta agar satu anaknya mengikutinya ke Jakarta. Sudahlah, Bu Wiana tidak mau mengambil runyam masalah ini. Dia rela berpisah dengan satu anaknya.

“Besok juga sembuh. Tuh, obatnya udah mau abis.” Bu Wiana menunjuk ke arah sebuah toples sebesar jempol orang dewasa yang berisi obat-obat.

Nandy tersenyum melihat ketegaran mamanya. “Ya udah mah, Nandy keluar yah. Mau mandi dulu nih, bau.”

“Tunggu sayang.” Bu Wiana menyambar lengan Nandy yang berniat pergi. “Se-karang tanggal berapa ya?”
“Mmm... 14 mah.”
“14.. berarti bentar lagi Jonathan, 20 tahun ya?”

Jonathan, nama adik Nandy yang sekarang berada di tangan papahnya. Dan hingga saat ini setelah mereka berpisah kenyataan mereka hanya menjalani 1 pertemuan, itu juga tanpa restu papanya yang ternyata tidak mengijinkan mereka berjumpa kembali.

Nandy memang pernah ketemu sekali di Jakarta. Saat itu Nandy sedang mengikuti Bu Wiana yang menghadiri undangan launching sebuah film yang ceritanya terinspirasi dari novel terbitannya, tepat saat 4 tahun ia berpisah, ia dipertemukan kembali dengan adiknya di tempat itu. Dia bersama seorang lelaki yang tentu saja adalah papahnya. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Saat Jonathan sendiri, Nandy pun mendekati. Terjadi tatapan mata yang sunyi selama 5 detik, sebelum Jonathan bergegas bangkit dan pergi meninggalkannya.

Tidak ada sekali-pun terlintas di benak Nandy untuk berlari mengejarnya. Dan mungkin sejak saat itu dia percaya bahwa Jonathan yang tadi adalah Jonathan baru yang telah dirasuki jiwanya oleh ayah yang sudah tak menganggap Nandy sebagai anaknya lagi.

Cerita ini memang tak ada yang menarik untuk di publikasikan. Tapi saat kau me-ngetahui semuanya, cerita ini akan sangat berarti.

***
Tanggal 18 Oktober..

“Aaaaargh. Hari ini Joni ultah, dan gue nggak bisa ngasih apa-apa ke dia.” Ollie mememar-memarkan tubuhnya di atas kasur kamar kos Iren. Dia nggak habis pikir, hari ini ada kekasihnya yang ulang tahun, dan tak ada yang bisa ia kerjakan (buat yang ultah maksudnya. Kalo tidur sih masih bisa).
“Ngak penting banget sih Lie.” Iren masih membaca buku White Broken sambil bersila di atas meja belajarnya.
“Aaaaargh.” Ollie tak menghiraukan pendapat Iren.
“Lagi pula dia juga nggak pernah ngasih.” Iren menambahkan.
“Aaaaargh.” Ollie kembali tak menghiraukan tambahan Iren.
“Aduh Ollie, plis deh. Temen itu nggak wajib di ucapin selamat.”
“AAAAAAAAAAARGHHH.” Ollie lebih tak menghiraukan. “Hah..hah..hah..” Ollie menghembuskan napasnya berkali-kali yang kecapek-an dengan sifatnya yang ke-ter-la-lu-an.
“Capek?”
“Hah..hah..hah..” Ollie masih tak menghiraukan. Sepertinya teriakannya tadi membuat telinga Ollie kabur.
“Terserah dah, gue mau mandi dulu.” Iren menutup buku, turun dari meja, meng-ambil handuknya, lalu bergerak ke pintu kamar. “Baru nyadar ya, ternyata sobat gue punya kelainan.”

Ollie melempar dua bantal sekaligus ke arah kamar mandi yang keburu di tutup Iren. Iren bener-bener udah nggak peduli dengan Joni. Padahal dulu saat Joni ulang-tahun, dia yang peling sibuk menyumbangkan ide kejutan saat otak Ollie (yang sebenernya selalu) mandet.

Salah satunya ide untuk menculik Joni.

1. Pertama, menguntai dari belakang seperti preman yang berprofesi sebagai polisi gadungan.
2. Mengejar seperti preman yang ngeliat polisi beneran.
3. Memasukkannya dalam karung beras yang masih tersisa kutu-kutu nakal seperti preman yang gila beras (ini bukan masalah kutu).
4. Menyeret tubuhnya sampai ke dalam gudang seperti preman yang disuruh bawa maling ke kantor polisi.
5. Melempar agar gampang masuk kedalam gudang seperti preman yang di suruh mengusir gembel dari rumah kontrakan dengan alasan belum bayar uang sewa.
6. Sedikit menggebuk seperti preman yang sedang patah hati.
7. Membunuhnya seperti preman yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran (Sori, kalo ini nggak beneran, yang bener..). Menghidupkannya lagi dengan memberi nafas buatan seperti preman yang takut masuk penjara.
8. Mengejutkannya karna saat karung dibuka, yang terlihat bukanlah suasana gudang tapi cafe (walaupun sesungguhnya gudang) yang di padati kawan-kawannya, seperti preman baru insyaf
9. Terakhir, tentu saja membayar preman-preman yang ikut serta dalam pelaksana-an hal keji ini.

Sekarang dia malah diem. Bener juga sih, apalagi yang diharapkan Ollie?. Bisa apa dia sekarang (ones again, buat yang ultah, kalo tidur sih masih bisa)?

Sudahlah...

Ollie masih memejamkan matanya saat tiba-tiba HP Iren yang berada tepat di sebelah kupingnya, berbunyi. Membuat Ollie cukup terperanjat. Ollie pun mengambil HP itu. Dia lihat nama yang tertera di layar HP. ‘Ruben’. Ternyata itu telpon dari Ruben. HP terus berdering, sedangkan Iren sekarang masih di kamar mandi.

angkat-engga-angkat-engga..

Setelah terjadi beberapa suara dari hatinya, akhirnya Ollie memutuskan untuk mengangkat telpon itu.

“Halo.”
“Halo.”
“Halo.” Ollie kembali memberi salam.
“E... Halo.”
“Oi, gimana sih, udah tau gue nyaut, langsung kek bilang kemauan lo.”
“Iren nih.”
“Bukan sih.. hehe, salah sambung ya?”
“O...h nggak usah bercanda deh, ini Iren kan?”
“Bukan di bilangin.”
“Kalo gitu pasti Ollie. Ini Ruben.”
“Ya iyalah, mana mungkin Iren nggak nyimpen nomor lo.”
“Irennya ada nggak?”
“Tadi kegirangan waktu dapet telpon dari lo. Sekarang dia pingsan, baru aja dikirim ke UGD. Keadaanya kritis.”
“Ollie...” tiba-tiba Iren datang dengan rambut yang basah, sepertinya ia mendengar seluruh perkataan Ollie. Dia pun merebut HPnya secara paksa tanpa meng-hiraukan pemberontakan dari Ollie.
“Ruben ya?” Iren membawa HPnya menjauhi tubuh Ollie. Dengan mengumpat-umpat, dia berbicara panjang lebar.
“Huh!” Ollie melempar tubuh Iren dengan guling.

Setelah dua menit merea bicara, dan dua menit juga Ollie mengganggu, akhirnya Iren mengakhiri pembicaraannya juga. Dengan wajah penuh senyuman, Iren melempar Hpnya ke kasur, disusul tubuhnya yang sengaja meniban tubuh Ollie.

“Aduh, berat lo berapa sih Ren?” Ollie menggusur tubuh Iren dari atas tubuhnya.
“50 kilo.”
“Oh ya? Gue 55.”
“Dan bentar lagi bakal bertambah akibat hadirnya cinta.” Iren berguling menjauhi tubuh Ollie.
“Ciee.. benerkan lo udah jadian?”
“Belum, ih Ollie..” Iren menoyol kepala Ollie. “Malem ini gue di ajak ke CheZZin sama dia.”
“Berdua?” Ollie menyodorkan tanda peace ke atas.
“Berdua.” Iren menyentuhkan peace-nya ke peace Ollie di atas.
“Enak aja. Bertiga dong, gue wajib ikut.” Ollie menambahkan satu jari di tanda peace-nya.

Iren menutup kembali satu jari Ollie yang tadi dinaikkan. Ollie menaikkannya lagi, tapi belum lurus, udah keburu di tutup lagi oleh Iren.

“Sayangnya gue nggak ngizinin lo ikut malem ini.”

***

Suasana malam di rumah nenek. Hanya terdengar suara kuntilanak dari arah pohon jambu yang biasa berkumandang setiap lepas malam. Merasa terbiasa dengan hadirnya makhluk-makhluk non visual di rumah ini, membuat hantu itu selalu dianggap ‘hantu kacangan’ (diharapkan saat membaca untuk tidak menanggapinya secara lanjut).

Termasuk di rumah rumah kos. Semua orang sekarang sedang memfokuskan se-genap jiwa raga nya pada setiap lembaran-lembaran kertas pelajaran yang telah menjadi makan malamnya. Tapi kesibukan ini sama sekali tak dirasakan Iwat, nggak pernah dia memanfaatkan sebuah waktu luangpun untuk membaca catatan. Kecuali saat tugas yang kebetulan sedang membebaninya. Begitulah cara dia untuk mendapat predikat mahasiswa ‘jenius’ atau ‘sok jenius’ bagi mereka yang iri akan kelibihannya.

Sepulang dari CheZZin dan DubZZ (cafe yang berada di sebelah CheZZin), ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tanpa menghiraukan Ipul yang lagi serius mengerjakan PR ‘kurang ajar’ dari SMA ‘keparatnya’ di meja belajar ‘bajinganya’.

Udah hafal betul Iwat suasana hati Ipul jika sedang menunaikan PR matematika-nya. Otak menciut, rambut lusuh berminyak, kulit pucet mengerut, berkeringet dingin, mata merah, gigi kuning (sebenernya ini lebih mengarah ke gejala orang sakau). Berkali-kali Ipul menjeritkan kata-kata kasar kepada guru yang bertanggung jawab akan hidup dan kehidupannya kelak. ‘Bajing Loncat’, ‘budak buduk’, ‘buaya lumpur’, ‘badak cula pantat’, ‘botak eksotis’, karna tak dipungkiri, orang yang bernama asli ‘Batu Bara’ ini pernah menggantung Ipul terbalik di gerbang sekolah dan membiarkannya menjadi bahan tertawaan cewek pujaannya, akibat terang-terangan mengejek si Baba itu ‘manusia berhormon jungkir balik’.

Ke cuekan Iwat dihentikan saat Ipul membanting HP-nya sendiri.

Prang (lho kok ‘prang’)

“Sadar Pul, dunia ini nggak Cuma di atas tangan si Baba itu.”
“Ih, ogah deh menggantungkan dunia gue di atas sebuah tangan kasar yang penuh dosa ini-itu.” Ipul dengan gaya yang ‘oh-lepaskan-aku-dari-pup-anjing-ini!’.
“Kalo gitu nggak usah ngamuk kayak tadi dong.”
“Ngamuk? Maksud lo kayak gini. AAAAARRRRRGGGGGHHHHH!!!!!” Ipul berteriak sekuat tenaga dan hampir membuat lehernya copot dari tubuhnya.

Iwat yang amat merasa terganggu, tak mau ambil pusing, dia membalikkan posisi tidur ke arah dinding sambil menutup kupingnya dengan bantal.

“Wat, ajarin gue dong! Lo itu kan pernah hampir menang olimpiade matematika waktu lo SMA dulu.” Ipul meminta. “Iwaat!!” Melihat Iwat yang tak bergeming, Ipul langsung mengambil jam weker di depannya, dan melemparkan ke Iwat, tepat di pantatnya.
“Aaaw.” Iwat mengelus pantatnya, dia mengmbil jam wekker tadi dan segera melempar balik ke Ipul. “Kampret lo Onta!”

Lemparan nya tadi ditangkap secara tangkas oleh Ipul.

“Ettt, gini-gini gue atlit kasti pentolan lho di sekolah.”
“Pantes buduk.” Iwat kembali membalikkan posisi tidurnya ke arah dinding.
“Wat, please!! Otak gue dah mandet nih kalo lagi ngomongin soal rumus-rumus.” Ipul mendekati Iwat. “Ehem-ehem, Kak Iwat,ayo dong, kakak gak mau adiknya men-dapat masa depan suram kan? Ayolah kak!” Ipul mulai mengelus-elus lengan Iwat.
“Heh, langkahin dulu mayat gue, baru lo boleh nganggep gue kakak lo!” Iwat membalikkan lagi posisi tidurnya, menatap Ipul geli.

Ipul kembali duduk di kursi meja belajarnya. Ia menutup buku-buku matematika nya. “Jenuh gue ngeliat angka-angka. Wat, gue pinjem vespa lo dong. Mau cuci mata nih. Gatel mata gue!”

“Enak aja, langkahin du...” Iwat lebih memilih untuk diam seketika melihat HP-nya yang sudah berada di dalam genggaman Ipul, siap untuk di bumi hancur-kan.

***
Iwat terpaksa mengantar Ipul ke vespa-nya, karna khawatir dengan keadaan Ipul yang belum mahir dalam mengendarai vespa.

Di dalam perjalanan ke vespa, tepatnya saat baru keluar rumah kos, mereka di kejutkan oleh pandangan seorang cewek duduk di kursi depan rumah nenek. Ini lagi gak ngomongin soal kuntilanak, karna yang duduk itu adalah Ollie. Tampangnya mendekati sendu. Iwat pun iseng menghampirinya. Didahului Ipul yang lebih niat iseng meng-hampirinya.

“Sendiri aja?” Iwat duduk pager tembok pendek yang sengaja di buat untuk di jadikan tempat duduk di depan kursi.
“Ya, seperti yang lo liat deh.”
“Nggak baek lo anak gadis sendirian malem-malem di luar!” Ipul menyusul Iwat duduk disebelahnya.
“Elah, mulai deh ceramah, dasar anak onta.” Iwat sedikit menoyol Ipul yang emang kebetulan memiliki paras arab.
“Inikan belum di luar, baru di teras. Kalian mo kema...” kata-kata Ollie terputus seketika ada yang membuka pintu. “Nenek.”

Iwat dan Ipul kelabakan melihat nenek, presiden kos di sini. Mereka lekas berdiri dari duduknya.

“Eh, nenek.” Salam mereka berbarenggan.
“Eleh-eleh, aya si kasep di sini.” Nenek tanpa menyebutkan nama-nya. Jelas aja, dalam kondisi nenek yang mendekati penyakit ‘alzeimer’ alias ‘pikun’, mana mungkin nenek bisa apal semuan nama anak-anak yang tinggal disini. “Ku naon atuh, mmm... ngapel ya?”

Nghaaaa? (suara hati Ollie sekaligus Iwat yang berbarengan dengan teriakan Ipul)

“Nghaaaa?”
“E... engga kok nek, kita kan satu kampus, nggak pa-pa kan kalo mau berbagi pengalaman, apalagi Ollie kan baru masuk.”

Ipul menyikut lengan Iwat seolah bertanya ‘trus-alasan-gue-apa’. Tanggapan EGP keluar beriringan dengan bisikan ‘DL’ dari mulut Iwat.

“Ini kayaknya ada yang mau pergi ya?” Nenek menuduh.

Secepat kilat Iwat menunjuk Ipul. Seolah ingin menghindari sebuah dampak saat nenek mengetuhinya.

“Iya nek, saya pergi dulu ya.” Ipul bergerak keluar teras menjauhi panggilan nenek. Langkahnya terhenti seketika ada yang memanggil, Iwat, bukan nenek, dia me-lemparkan kunci vespa yang masih dalam genggamannya. Ipul menghembuskan nafas gelisah. Dia kembali berjalan, tapi terhenti lagi, yang ini adalah suara nenek. Napas pun ditariknya dengan kasar.

“Nenek nitip batagor ya, biasa, di tempat langganan. Nanti duitnya nenek yang ganti.” Seperti biasa.
***
Sesaat setelah adegan batagor tadi.

Suasana makin ribut di teras nenek. Cekikikan setan-setan tua ditandingi oleh jeritan kawula muda gila yang bersenandung aneh.

Du.. dududu.. du...
Senang hati bebas..
Bangganya ku lepas..
Tinggi melayang mencapai pentas..
Bernyanyi tuntas..
Hingga rasa hati puas..
Dan mati terlindas..

Lagu apa’an tuh? Tepatnya satu bait ciptaan Iwat yang spontan kluar dari hatinya. Sialnya lagu itu langsung memikat hati Ollie sampai-sampai rela menutup telinganya.

“Gue nggak nyangka lo bisa ngerock juga!” Ollie memberi tanggapannya setelah mengetahui tak satu kata lagi yang di keluarkan Iwat.

“Hahah.. emang gue tau kalo gue bisa nyanyi?”

Mereka terus bersenda gurau sejak tadi. Berbincang-bincang hingga satu diantara-nya mengeluarkan joke-joke segar walau sedikit jayuz.

“Suara piano lo jauh lebih indah! Ternyata lo mahir juga ya maen piano. Apa lagi lagu yang waktu itu lo mainin di CheZZin, nyentuh hati gue banget.”

“Lagu yang mana? Banyak kali lagu yang gue mainin di CheZZin.”

“Belum lama ini sih. Oh ya, hari Minggu, kira-kira seminggu setelah lo ngecat kamar gue. Pokoknya hari itu lo make kupluk bertali yang warnanya putih, sama sweater abu-abu. Lagu itu lagu yang terakhir lo mainin.”

Iwat sok berpikir sambil mengeluarkan kata ‘mmmm’ yang biasa digunakan sebagai alasan murid untuk menghindari pertanyaan gurunya. “Gue inget. Emang bener lo suka sama lagu itu?”

“Banget. Ngomong-ngomong, itu lagu siapa Wat?”

Iwat menundukan kepalanya, sejenak untuk melihat 10 jarinya yang bergumal nggak jelas. Kemudian kembali menatap Ollie dengan cengir menjijikan. “Gokil, gue gak nyangka ada yang segitu segannya ama lagu ini. Ini karangan gue, jack.”

Bumm..

Ternyata lagu yang dapat membuat hati Ollie menari-nari hingga berjingkrak sekalipun, adalah hasil karya Iwat. Si cowok kurang ajar yang nggak bisa ngehargain perasaan cewek itu. Mana mungkin Ollie segampang itu percaya.

“Gue kasian sama lo Wat, ngidam pengen bikin lagu profesional, sampe-sampe ngakuin karya orang lain sebagai ciptaan lo sendiri.”

“Kalo gitu buat apa CheZZin di undang sampe ke Amerika segala? Ya itu karna pemain-pemainnya udah termasuk profesional dalam mengarang musik apalagi ngebawainya.”

Ruben emang pernah cerita kalo CheZZin ngadain live concert di Amerika. Dan pianis muda menjadi bintang saat itu. Nggak salah lagi, itu pasti si Keiwataru.

Wow, Iwat keren abis.. udah cakep, genius, jago bikin lagu.. jangan-jangan..

Upps..

Apa’an, ngapain gue ngebangga-banggain si item ini? Kurang ajar, belagu, nggak pernah ngerti perasaan cewek, jorok lagi.. hiii..



L K J



Filsa.

Perempuan berdagu panjang ini berjalan melintasi rumah kos-nya menuju pintu pagar, hendak keluar untuk mengunjungi keluarganya yang tinggal di daerah Subang. Liburan gini emang saatnya untuk sekedar menengok keluarga dan menagih uang saku mereka.

Akhirnya mukanya kembali ceria sejak peristiwa tragis yang jelas melanggar HAM sebagai perempuan yang patut disayangi. Setelah melewati masa penyembuhan pembengkakan bola mata, Filsa pun berani lagi keluar rumah tanpa menggunakan kaca mata hitam.

Dengan dagu yang mengarah lurus ke bawah (Pastinya, apa ada dagu yang me-nyamping?), dia berjalan layaknya seorang penyelamat dunia yang tetap tegar walaupun kaos kaki keramatnya dicuri. Semua anak kos pun tercengok melihat ‘dagu’ nya yang terlihat lebih panjang 1 cm. Filsa makin menarik dagunya tanpa rasa malu sedikitpun (Sayangnya tak ada orang berdagu panjang yang ikut serta dalam penulisan naskah ini).

Saat di luar pagar, tangannya pun mulai melambai keluar bermaksud meng-hentikan angkot yang dari tadi hanya lalu lalang (Tak tertutup kemungkinan bahwa mereka ngeri dengan bentuk dagunya). Lambaian tangannya terhenti seketika ada yang menyambar bahunya, yang membuat ia membalikkan badan.

“Hei Filsa, mau kemana?” Iwat, ternyata ia yang menghentikan lambaian tangan Filsa. Apa maksudnya?

Tentu saja ada yang hampir sport jantung disini. Iwat yang pernah membuat hati-nya menjadi serupa dengan sabun colek, yang membuat matanya melebihi bola ping-pong, dan sempat membuat dagunya menyusut ½ cm, bersikap sok perhatian sekarang.

“Eh, mmm, hhh..” tak sebuah kata yang berguna di keluarkan Filsa.

Dag-dug-dig..

“Ehmmm, aku mau minta maaf soal tempo hari dulu. Waktu itu aku lagi kebawa emosi, jadi nggak bisa menjernihkan pikiranku untuk ngomong sama kamu.” Mukanya memerah padam.

Filsa menatap Iwat serius tanpa terhalang dagunya. “Aku nggak percaya kalo waktu itu kamu lagi emosi. Emang dasar sifat kamu kayak gitu kan? Nggak bisa nge-hargain perasaan cewek. Aku sadar, selama ini kamu baik sama aku Cuma ingin mainin perasaan aku doang, soalnya kamu bisa nebak kalo aku itu udah lama suka sama kamu.”

“Eeee.. nggak-nggak bukan maksud aku buat...”
“Udah lah Wat.”

Mereka sama-sama terdiam. Iwat mengetukan ujung sepatunya berkali-kali ke aspal. Suasana hening beberapa detik saat tak ada lagi mobil yang melintas.

“Trusss..” Filsa memecah keheningan saat tak ada respon lagi yang Iwat berikan.
“Ya... lo mau ma’apin gue nggak?”
“Gue nggak pernah nganggep serius masalah ini. Emang sih saat kejadian itu gue pengen banget nyekek leher lo. Tapi sekarang, biasa lah.”
“Oo...h.” Apa yang di maksud dengan ‘oh’ itu?
“Jadi, lo masih buka kemungkinan buat gue?”

Bumm..

Tenggorokan Iwat tiba-tiba saja tercekat dengan pertanyaan tadi. Tak ada suara sedikitpun yang mampu ia publikasikan saat ini.

“Ya enggak lah Wat, gue bercanda. Respon lo kayaknya sampe segitunya deh. Gue tau, lo lagi pedekate sama cewek lain, pesen gue Cuma satu, jangan buat mata cewek itu membengkak ya!” Filsa melancarkan aliran udara di tenggorokan Iwat.
“Cewek yang mana?”Show All
“Yang mana ya? Gue pergi dulu ya Wat, keburu sore nih.” Filsa kembali berniat menyetop angkot. Namun tangan Iwat kembali menyambar.
“Mau kemana sih? Gue anterin deh.” Iwat berlari kedalam dan kembali sambil mendorong vespa nya. “Silahkan naik!” Iwat duluan yang menuduki vespa itu.
“Mau ke Subang, lo mau nganterin?”
“Subang? Mmmm, gue anterin sampe terminal aja deh.”
“Okay, ngirit biaya nih.” Filsa duduk di belakang Iwat. Tas yang ia bawa tak besar, ialah hanya semalam.

Iwat menggas vespa nya. dia menatap ke pohon jambu sebelum menjalankannya. Disana berdiri seorang Ollie yang dari tadi mengintip. Mereka berdua menyodorkan jempolnya masing-masing. Dua detik, lalu pergi.

Ternyata Ollie lah yang memaksa Iwat untuk menyadari kasalahannya kemarin. Memang pertama Iwat menolak mentah-mentah. Namun 2 jam berikutnya, Iwat pun akhirnya setuju dengan alasan ‘kropos gue 2 jam dengerin khotbah lo’.

***
1 jam sudah waktu yang Ollie hitung saat Iwat pergi mengantar Filsa ke terminal. Dari tadi ia nyengir-nyengir sendiri bila membayangkan peristiwa semalam yang cukup memaksa batin Iwat. Seperti yang di bahas tadi, sampe 2 jam Ollie menceramahi Iwat tentang makna kasih sayang dan kata maaf, sampai akhirnya Iwat luluh. Bukan karna sadar, tapi ia kasihan dengan kupingnya.

Semenit setelah genap 1 jam kepergian Iwat, tiba-tiba lagu sexy back keluar dari speaker HP nya. Itulah tanda telpon masuk.

Ollie dengan sigap segera merogoh kantongnya. Dari layar HP nya, keluar tulisan ‘Iwat Item’. Ollie pun menekan tombol hijau.

“Assalamualaikum, bang!” salam Ollie pada Iwat, lawan bicaranya.
“Walaikumsalam, ngkong. Kagak penting lo pake salam-salaman segala!”
“Mengucapkan salam itukan pahalanya gede.”
“Iya-iya ngkong ku! Puas lo sekarang?”
“Ah.. kurang, mestinya lo nganterin dia sampe Subang, jangan Cuma ke terminal doang, dong!”
“Lo mau bayar ongkos bensinnya?”
“Gue balikin modalnya aja deh.”
“Trus tenaganya?”
“Dasar mata duitan!”
“Emang. Pokoknya sekarang juga lo ke kamar kos gue, pijitin seluruh badan gue 2 jam lamanya!”
“Itu sih mau lo. Dasar item..”
“Emang.”
“Norak..”
“Emang.”
“Gila..”
“Emang.”
“Pacar Filsa.. Emang”
“Em..., ‘Eeeehhh kampret lu.”
“Hahahaha”

***

Ketika sore semakin larut, Iren dengan tampang lesu berjalan mengeluari pintu rumah nenek. Ollie menemaninya sampai ke pintu luar. Setelah puas mereka menggosip, dan menikmati celotehan nenek sambil membantu-bantu di dapur.

Sebelum Iren pergi meninggalkan rumah ini, ia terlebih dahulu mengorek kantong celanaya. Selembar gocengan yang terlihat telah remuk dalam genggamannya. Tiba-tiba ia menaruh uang itu di atas telapak tangan Ollie.

Tentu saja Ollie heran melihatnya. Dia menatap Iren dengan nada ‘what`s wrong’.

“Gue mau berbagi kebahagiaan sama lo.” Iren menjelaskan. Namun tak jua membuat mimik Ollie berubah. “Itu hasil gue sama Ruben. Sorry deh kalo gue telat ngasih tau lo.”

Tampang Ollie mendadak berubah. Wajahnya penuh dengan seri-seri menakut-kan. Bibirnya terlalu lebar untuk tersenyum. Matanya terlalu belo’ untuk melotot. Rambutnya terlalu panjang untuk berdiri. Giginya terlalu kuning untuk unjuk. Nafasnya terlalu bau untuk berteriak....

“KOK CUMA GOCEEE.....NG???? PELIII....T”

***

-bersambung-

No comments: