6/04/2009

BAB IV - Segitunya..

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9.25, bunyi dengkuran dari kamar Ollie mulai terdengar. Gak biasanya jam segini Ollie udah tidur. Sehabis makan malam, Ollie langsung merebahkan badan mungilnya di atas kasur berisi kapuk-kapuk yang menggempal di beberapa bagian. Layaknya debu-debu yang mulai menyumbat hidungnya.

Niat hati Cuma mau tidur-tiduran doang. Apa daya raga tidak kuat. Lupa matiin lampu dan radio kecil yang di bawanya dari rumah. Hmm mungkin inilah dampak keenakkan tidur di atas kasurnya orang kaya.

“Ollie......!”, seseorang membuka pintu kamar tanpa mengetuk lagi. Dan sedikit kecewa ketika melihat sang gadis cantik telah tertidur lelap dengan posisi yang memalukan. “Yah, udah molor. Baru aja pengen ngobrol.” Suara ngorok itu terdengar lebih jelas.

Sekejap saat seseorang mengucapkan kata terakhirnya, Ollie terbangun dari tidur Cuma-cumanya. Ollie yang kaget ketika melihat wanita berpostur supermodel berdiri di dekat pintu seperti malaikat yang akan mencabut nyawanya (lho).

“Ngg syapa ya...? Masuk-masuk-mhwaaaaaw. Hmmm.”, Ollie sambil mengucek-ngucek matanya dan menguap dan yang paling di benci : bau iler.

Orang itu tersenyum-senyum melihat Ollie yang menatap dirinya dengan posisi kepala jungkir balik. Ollie masih mencoba untuk bisa menegakkan kepala dan berusaha memfokuskan kesadarannya yang baru konek 50 %.

“Eh-eh-eh..”

BRUKK

Hasilnya : dia harus rela untuk pindah tempat tidur dari kasur berkapuk menjadi lantai penuh keramik. Benturan cukup keras di sekitar tubuhnya membuat memori kepala Ollie lebih sempurna. Ollie mendongak dan menatap sang sepupu yang tertawa terjungkal-jungkal di samping pintu. “Teh Tia..!!!”

Itulah nama panggilannya. Gadis dewasa berumur 22 tahun ini adalah satu-satunya sepupu kandung Ollie yang tinggal seatap dengan nenek bersama kedua orang tuanya. Padahal sepupu Ollie bisa lebih dari 10 orang, tapi mereka semua sudah tersebar-sebar di hampir seluruh pelosok Indonesia. Ada yang di Jakarta, Yogya, Bali, Papua, bahkan di Melbourne (berharap ia menjadi salah satu anggota Indonesia). Yang di Bandung juga ada, tapi biasanya mereka cari kos-an sendiri. Kini Tia juga sedang berkuliah di salah satu Universitas negeri di Bandung.

“Ya ampu..n. Kalo mo tidur atuh di matiin lampunya.”

Cklik. Tia mematikan lampu.

“Jangan di matiin Teh, mau ngobrol dulu dong.”

Cklik. Lampu kembali menyala. Tia mendekati Ollie yang sudah berdiri walau masih lemas dan kembali menaiki kasurnya. Hup. Keduanya melompat ke atas kasur dan meluangkan 3 detik untuk berpelukan sekedar melepas rindu.

“Dari mana aja teh? kok jam segini baru pulang.”
“Hehe.. jalan-jalan sebentar dari kampus sama ‘temen’.”
“Temen?”
“Iya, mang napa?”
“Temennya dalam tanda kutip, kan..”
“Hhhh.. hayang seri!! Ollie sendiri gimana, dah ada belum?”

Tiba-tiba tenggorokan Ollie tak mengizinkannya untuk berkata dalam be-berapa detik. Namun akhirnya dia bisa bernapas kembali dengan tenang. Kini di otaknya hanya ada wajah Joni yang tersenyum. Dan memanggil-manggil namanya dengan suara yang semakin tersekat. “Mmmnggmmmngg.. belum.”
“Ya ampun, kok serius amat. Ollie kan masih kecil, belum punya mah wajar. Tapi tenang aja, Ollie kuliah di UPB kan? Disitu banyak cowok seger lho.”

Hehe..

***
Pagi hari yang sejuk di rumah nenek. Ollie membuka pintu kamarnya. Sejenak dia berdiri mengucek-ngucek mata yang masih merah dan ber-belek. Dia celingak-celinguk memandangi keadaan di sekitarnya, masih saja seperti kemarin malam.

Ini adalah pagi pertamanya di rumah nenek setelah dua tahun gak pernah lagi. Di rentangkan tanganya agar lebih bisa merasakan aroma sejuk yang dihadirkan oleh udara pagi di luar sana.

Hm.. masih jam 6 pagi, ngapain gue bangun jam segini. Ollie menatap jam tangan yang masih menempel di pergelangan tangannya.

“Huacchhhhi......h!” semburan air liur keluar dari mulutnya.

Ollie akan mencoba untuk bisa lebih beradaptasi dengan udara di sini. Setiap dia kerumah nenek, pasti harus mengalami yang namanya ‘hidung tersumbat ingus’. Kini Ollie mengucek hidungnya. Mungkin karna debu-debu yang menghiasi dinding kamarnya.

Ollie berjalan menuju meja makan.

“Pagi nek.” Salam pertama yang ia ucapkan kepada neneknya yang sedang beres-beres dapur.
“Pagi geulis. Udah bangun. Makan dulu sana.”

Mereka sama-sama berjalan menuju meja makan. Disana udah ada Uwak Didi dan Uwak Ning, dan juga sebakul nasi goreng di sertai teman-temannya. Ollie mengambil 2 centong nasi goreng dan sepuntung pentungan goreng yang sangat lezat (pikirkanlah apa yang di maksud).

“Huacchhhhi......h!” tidak sedikit semburan air yang mendarat di atas calon pengisi perutnya. “Alhamdulillah”
“Ollie pilek lagi?”
“He’eh”
“Kurang adaptasi doang kok.” Uwak Didi meremehkan.
“Ini mah namanya bukan kurang adaptasi lagi. Tapi kurang bersih.” Uwak Ning nyeletuk.
“Ollie nggak pernah lupa mandi.” Ollie melahap makanannya.
“Bukan kamu yang kurang bersih. Kamar kamu itu terlalu berdebu.”
“Huacchhhhi......h!” bersin lagi. “Ollie makan di luar aja ya... gak enak kalo bersin-besin terus di sini, jorok.” Ollie menjauh dari tempatnya duduk setelah mendapat anggukan dari semua makhluk yang ada di meja makan (mungkin nggak termasuk semut-semut liar). Dia masih berjalan ke pintu luar, sampai akhirnya tiba juga di teras depan rumah. Kemudian ia duduk di atas.. tempat duduk pastinya, atau lebih cocok dibilang kursi. Dan melanjutkan makan sambil sedikit bersin-bersin, juga sambil celingukkan melihat apa yang ada di depan matanya, tepatnya 2 rumah yang di sewakan menjadi kamar-kamar kos.

Ups...

Celingukkan mata Ollie terhenti ketika melihat sesosok lelaki beserta se-orang temannya sedang mengobrol ria. Ollie mengerti sekarang. Arti celingukan-nya tadi adalah untuk menemukan dia.

Iwat.. Iwat.. kenapa gue mesti ketemu lo lagi..

Iwat menatap Ollie, tatapannya tak sampai sedetik sebelum ia membuang mukanya. Begitu halnya Ollie, dia tetap konsentrasi terhadap makanan-nya. Iwat dan temannya melanjutkan obrolan. Tiba-tiba saja mereka tertawa, dan teman Iwat menatap singkat ke Ollie. Pasti Iwat sedang ngomongin Ollie. Entah mem-permalukannya atau memperburuk keadannya.

“HEH TANTE, JAM SEGINI EMANG WAKTUNYA NGEGOSIP YA!!!!!!” Ollie membanting piringnya di atas meja kecil samping kursi. Sementara di sebrang sana, mereka menyempatkan tubuhnya untuk sementara mengalami kekagetan. Iwat berdiri dan tersenyum licik.

“Ada cairan bening tuh kluar dari idung lo. Ha..ha..” Iwat dan temannya kembali tertawa. Refleks Ollie mengelap hidungnya, gak sadar, ternyata memang ada.

“Huacchhhhi......h!”

Iwat.. Iwat.. Kalo gini terus, gimana gue bisa akur sama lo..

Ollie gak mau diem aja, jayus gak jayus, dia harus bales.

“Woi darah kentel lo masih ngalir, mau adu jotosan lagi gak?” Ollie senang ketika masih bisa melihat perban di hidung Iwat hasil dari kenakalannya.

Iwat kembali tertawa. Menatap Ollie lagi dan menaikkan bahunya seolah ber-kata ‘terserah lo aja deh’. Dia masuk ke dalam rumah kos, disertai temannya yang didahului dengan mengedipkan sebelah mata ke arah Ollie.

Iwat.. Iwat.. Kenapa nama lo mesti Iwat, enek tau gue dengernya..

***

“Asyik.”

Sebuah kata yang di ucapkan Ollie ketika mengetahui bahwa kamarnya ini akan di cat ulang oleh Uwak Didi. Hihi.. mungkin karna gak tahan kalau mesti ngeliat Ollie terus menerus yang slalu diwarnai oleh hidung merahnya. Ya semoga saja dengan barunya warna cat, otomatis volum debu yang menyebar akan ber-kurang.

Sudah cukup lama dia bernyanyi di dalam kamar, sambil mengemas kembali barang-barangnya untuk sementara di pindahkan keluar. Setelah menyadari seluruh barang telah berada di luar, dan perabotan-perabotan di dalam sudah di balut oleh koran, Ollie mulai melepas big poster ber gambar Justin Timberlake.

“Oh my prince.. I love u.. I love u.. I love u..” Ollie merangkai kata-kata dan menjadikannya sebuah nada yang menyilaukan telinga bagi pendengarnya, sambil mencium-cium foto Justin, dia melakukan gerakan-gerakan menyerupai sebuah tarian yang menyilaukan mata bagi penatapnya. “I promise.. my love is just for u.. just for u.. I promise.. OOOOHHHppp..” seluruh perbuataan Ollie saat itu terhenti seketika Ollie melihat ada seorang lelaki yang berdiri mematung di depan pintu sedang membawa 2 kaleng cat beserta peralatan lainnya untuk mengecat. Posisi Ollie kini sungguh memalukan, mengangkat poster di tangannya sambil berdiri memakai satu kaki seolah seorang balerina. Secepat mungkin dia menaturalkan tingkahnya.

“Iwat.. ngapain lo disini?”
“Udah 3 menit gue disini.” Iwat cengingisan.
“Berarti lo...”
“Ya... Oh My prince I love u.. I love u..”
“Shut UP!!!” muka Ollie memerah.. sangat merah.. mungkin dapat di gambarkan seperti udang rebus. “Ngapain sih lo disini?”
“Dapet amanat dari Uwak Didi untuk ngecat sebuah kamar, beliau sibuk hari ini.” Iwat mulai memasuki kamar Ollie setelah memastikan bahwa kamar inilah yang layak untuk di cat ulang. Sambil menaruh semua peralatan, Ollie membuka kaleng cat. “Yacksss pink... kenapa milih warna pink, inikan just for girls”
“Woi.. hallow.. gue ini termasuk cewek kan?”
“Iya apa.. cewek sekasar lo? Lebih pantes di sebut cewek jadi-jadian.” Sambil mengecat .
“Gue tau gue salah, makanya ma’apafinin gue dong, gue khilaf waktu itu.”
“Bagus lah kalo nyadar.”
Mereka tak berkata sejenak. Rasanya Ollie mulai jengkel lagi.
“Bukan mestinya gue doang yang minta maaf sama lo. Lo juga kok yang main api, ngapain ngelempar tas gue.”
“Salah sendiri ngejudesin gue, kan gue udah bilang sorry.”
“Lagian lo nubruk gue! Untung aja nggak ada tulang yang patah.”
“Makanya jalan itu pake mata!”
“Dibilangin gue nggak bisa jalan pake mata, mata gue itu ada di kepala, masa gue mesti jungkir balik?”

Udah la...h kok jadi nge rewind kejadian kemarin sih!!!!!!!!

***

Hari semakin malam, sudah mulai ada tanda-tanda kedekatan antara Iwat dan Ollie, walaupun dalam perbincangannya masih saja terselip penghinaan untuk para lawan jenis. Tapi mereka seolah telah melupakan kejadian tempo hari.

Iwat pun juga telah menyelesaikan tugas mengecatnya, cukup singkat mungkin. Ya.. karna dalam pengecatan ini mengambil sistem ‘asal nempel’. Cat sebelumya tak di keletek atau bahasa resminya tak di protolin dahulu. Tapi hasilnya lumayan kok.

Ia membereskan kembali barang-barang yang tadi ia bawa, lalu bergegas keluar kamar yang sudah di tinggal duluan oleh Ollie. Langkahnya terhenti sesaat ketika ia mendapati sebuah big poster bergambar Justin Timberlake yang tadi senantiasa di cium-cium oleh Ollie.

Iwat tersenyum melihatnya. Ollie pun datang memasuki kamar sambil membawa 2 buah jeruk yang slalu menjadi buah kesukaannya. Sekilas ia memperhatikan hasill kerja Iwat.

“Udah selesai nih?”

Alis mata Iwat dinaikan seolah berkata ‘seperti yang lo saksikan’.

“Rapih juga, bakat ya lu jadi kuli.” Ollie tersenyum, Iwat menanggapinya dengan pasrah. “Mau jeruk?” Ollie melempar satu jeruknya ke tangan Iwat. Lantas langsung ia tangkap, walaupun harus menjatuhkan barang-barang yang ia bawa. “Oh iya, nama gue Ollie. Masa dari tadi kita ngobrol, lo gak nanya nama gue sih.”
“Jeruk kok makan jeruk.”

Ollie melongo kaget menatap Iwat, sambil duduk di atas kasur yang sudah tak beralas koran lagi.

“Adakan istilah kayak gitu?”
“Tapi lu nggak ngalamin itu kan?”
“Ya nggak lah, gue normal.” Iwat menyusul duduk di sebelah Ollie.

Mereka mulai mengupas jeruk. Sedikit demi sedikit, jeruk itu mulai me-nampakkan dagingnya, ketika satu persatu kulitnya terjatuh. Keadaan di sana sangat sunyi, hanya ada suara serat jeruk yang tidak kuat lagi menyatukan antara kulit dan dagingnya. Iwat dan Ollie serius menjalani kesibukannya. Sebelum..

“Fans berat Justin juga ya?” Iwat memecah kesunyian.
“Fans? Gue kekasihnya! Calon istrinya!” Ollie melahap satu dari delapan bagian jeruk.
Iwat tak menghiraukan pernyataan Ollie tadi. Keliatan dari raut mata Ollie yang belum dan ingin sekali bertemu walau hanya sekejap.

“Kok, cuman punya satu.. koleksinya?”
“Di Jakarta banyak, tapi udah pada di tempel di dinding kamar.”
“Percaya nggak kalo gue pernah ketemu dia langsung?”
“Huahahahahaha......!” Ollie terbahak, hingga satu potong jeruk yang baru saja ingin di makanya, nyemplung ke dalam kaleng cat.
“Ke kamar kos gue yuk.” Iwat melahap potongan jeruk terakhir, sambil berdiri dan meminta Ollie mengikutinya. “Ada yang mau gue tunjukin ke loe.”

Iwat dan Ollie udah ada di dalem rumah kos cowok sekarang. Cukup rame penghuninya. Dari tampangnya sih, tak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah se-orang mantan narapidana, maupun buronannya. Mereka terlihat sangat ber-sahabat dan akrab, walaupun terdapat beberapa peralatan fitnes yang seakan menggambarkan kepribadian metroseksual mereka.

Baru pertama kali mungkin dalam hidup Ollie masuk ke dalam rumah kos. Apalagi cowok. Yang terbayang di benak Ollie hanyalah ‘kotor’ dan ‘bau’. Itulah yang terjadi di sini. Semua orang bertebaran di mana-mana. Ada yang lari-lari, baca koran di mana-mana, makan sembarangan, sampe yang tidur di tengah rumah. Tentunya ada bau tidak sedap yang di hasilkan kegiatan mereka tersebut.

Rumah ini memang tidak tingkat, tapi cukup luas. Ollie masih mengikuti Iwat yang dari tadi gak henti menerima sindiran teman kosnya.

“Gila.. bisa juga ya loe cinta ama cewek, Wat.” Atau, “Ternyata selama ini loe normal ya.” Bahkan, “Mau di kemanain tuh Ipu..ll?” bukannya itu nama cowok?

Tapi tak ia hiraukan, sepertinya disini sudah terbiasa saling menyela.

Iwat membuka pintu kamarnya. Ia masuk, begitu pula Ollie. Belum Ollie menginjakkan kakinya di kamar Iwat, aura tak sedap sudah terasa seketika ia melihat sebuah underwear yang tergeletak di depan pintu. Uurgghhh... jorok banget...

“Eh.. sory, gue beresin dulu deh kamarnya. sedikit berantakan.” Iwat menutup kembali pintu kamar dan membiarkan Ollie menunggu di luar.

Ollie menyandarkan tubuhnya di tembok. Sesaat sebelum ada yang mengagetkannya.

“Oi... pacarnya Iwat ya?”
“Bukan, apaan sih.” Ollie mencoba menyingkirkan sebuah tangan di bahunya. Terlihat di sebelah Ollie seorang cowok ber tampang model orang Arab dengan hidung mancung dan mata belo-nya.
“Jangan bohong! Kenalin, temen senasib seperjuangan sejenis sehati dan sekamarnya Iwat, gue Saiful dan lebih sering di panggil ‘Ipul’.”
“Ipul.. Ipul yang pacaran sama Iwat?”
“Gosipnya sih gitu. Hahaha.. gue emang terlalu deket sama Iwat. Apalagi kita itu gak terlalu tertarik dengan perempuan. Ya... dengan alasan-alasan itu, kita emang udah di cap gak normal atau..”

Krek..

Terdengar suara pintu terbuka, nggak salah lagi, Iwat lah yang kluar.

“Woi onta! Males banget sih nyuci... CD loe kemana-manatuh.” Iwat membentak dengan kata Onta sebagai panggilan buat Ipul, menandakan tanah keturunannya itu yang terkandung teman-teman dekatnya.
“Itu belum kotor, Tahu...ww. Tadi gue cepet-cepet mau pergi ketemu cewek.”
“Iya.. cewek itu emak loe, onta betina. Yang kalo telat 1 menit aja bisa di gantung.”
“Udah deh.. kita itu harus profesional. Kalo gue bisa pacaran.. kan loe juga yang seneng. Gue aja seneng kok loe bisa pacaran sama nih cewek.” Ipul menunjuk Ollie.
“Banyak nyongnyong lo, onta!.” Iwat melempar salah satu underware milik Ipul itu. “Ayo Lie masuk.”

Ollie menyelip dari belakang Ipul, sambil cengengesan dan langsung memasuki kamar.

“Waduh... baru pacaran udah masuk kamar.”

Brak...

Iwat membanting pintu.

Saat masuk, Ollie langsung di kejutkan oleh sebuah foto Justin Timberlake yang di bingkaikan. Foto itu terlihat asli. Plus tanda tangan di sebelahnya.

“Oh mine..” Ollie mendekati foto itu, ternyata foto ini beneran asli dari kamera sendiri.
“Percaya nggak, gue pernah ketemu dia loh, malah sempet moto dan minta tanda tangannya.” Iwat sedikit mamer. Dia tiduran di atas salah satu ranjang di kamar itu. Di sebrang ranjangnya terdapat satu lagi ranjang yang di perkirakan milik Ipul, teman sekamarnya.
“Kapan lo ke Amrik?”
“Belum lama kok.”
“Oh, ya, ngapain? Sumpe lo pernah ke Amrik?” Ollie melotot mengeluarkan seluruh perasaan terkejutnya ke pada Iwat. Sedangkan Iwat sendiri menatap sinis Ollie yang akhirnya merasa pertanyaannya itu sedikit terasa menyinggung dengan penampilan-nya yang terlalu ‘minim’ untuk ukuran Amerika.
“Ehem, gak usah di ambil hati OK.”

Iwat tersenyum simpul menatap ekspresi gugup Ollie.

“Biasa aja lagi.”
“Oh... Truss”
***

“Wat... please dong, buat gue fotonya.” Rengek Ollie. Kata –kata itu lah yang di ucapkan Ollie dari tadi, untuk bisa mendapatkan foto itu tanpa harus membayar. Sampai mereka keluar dari rumah, Ollie masih saja merengek.
“Minta? Bayar dong.”
“Ya ampun Wat.. Lo bukan fans berat dia kan?”
“Lo juga bukan kok. Lo itu kekasihnya kan, calon istrinya, mestinya kan lo..” Iwat tak meneruskan katanya lagi seketika melihat Ollie yang melotot. “Ok, deh. Lo boleh ambil foto itu, asalkan lo bisa ajukan 1 alasan tepat kenapa gue gak sudi ngasih foto ini sekarang.”

Tugas...
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam, tentu saja sekarang Ollie udah tidur-tiduran di atas kasur empuk, sambil ngedengerin siaran radio langganan, dan memandangi poster Justin Timberlake di dinding kamarnya. Poster yang udah dia miliki dari umur 15 tahun ini, gak akan mungkin bisa bosen di pandangnya. Gaya nya cool abis, tatapan matanya tajem, sinar matanya itu telah menusuk hatiku, hoho.. gak salah aku idolain dia.. kata-kata itulah yang selalu dia keluarkan di dalam hatinya setiap saat melihat poster itu. Karna disetiap dia ngeliat foto-foto Justin, selalu keinget sama gaya sang pujaan hati aslinya. Udah lah jangan ngomongin dia.

Gak Cuma satu loh dia punya gambar Justin Timberlake, dulu di kamar Ollie yang di Jakarta, hampir setiap sisi dinding dipenuhi gambar Timberlake, mau yang poster, post card, digunting dari majalah, bahkan dari koran pun dia tempel. Teman SMAnya juga sering ngasih tapi dari sekian banyak foto-foto yang ada. Tapi kalo di kamar dia yang sekarang, hanya ada 1 poster, bukan karena dia mulai bosen, tapi nggak cukup kemungkinan buat dia untuk mencabut ribuan gambar satu persatu di kamarnya dan memindahkanya kesini.

Joni... masih terngiang di telinga Ollie saat dia menjanjikan sebuah foto dan tanda tangan asli Justin Timberlake. Sekarang semua itu sudah ada di depan matanya. Iwat telah memilikinya, walaupun tak bisa dibanggakan oleh Ollie.

Lo boleh ambil foto itu, asalkan lo bisa ajukan 1 alasan tepat kenapa gue gak sudi ngasih foto ini sekarang. Itu alasan Iwat kenapa dia nggak bisa ngasih foto Justin, meskipun sedikit mencerminkan kepelitannya. Apa ada alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Iwat? Mungkin itu kenangan-kenangan dia dari cewe nya waktu ke Amerika bareng. Gak masuk akal, masa fotonya sama Justin, bukan sama cewe nya.

Sudahlah, janji sebuah foto yang diucapkan Joni mungkin sudah tak ia harapkan. Dia bisa berusaha sendiri untuk memecahkan teka-teki Iwat. Kini ia hanya mengharapkan janji Joni untuk kembali kesini.

Sampai gak kerasa, akhirnya Ollie terlelap dalam tidur panjangnya (Eh, sorry bukannya mati). Di dalam mimpinya, ia berada di atas padang rumput luas, udaranya begitu sejuk menusuk hati, ia melihat dirinya yang memakai gaun putih se-lutut, rambutnya yang terjurai panjang, daun-daun yang berhempasan menuju dirinya, melihat sesosok Justin Timberlake yang membawa sepuntung bunga mawar, berjalan mendekati nya. Disaat-saat menegangkan seperti ini, tiba-tiba terdengar lagu ‘Sexy Back’ nya Justin di alam nyata. Ollie terbangun, mungkinkah Justin dateng menghampiriku dan menyatakan cintanya kepadaku... tapi kok back sound-nya gak nyambung, punggung seksi?

Tiba-tiba saja terasa seperti ada yang menggetarkan punggungnya kasar membuatnya terbangun, Ollie segera berdiri dan celingukkan mencari, gak sengaja dia ngeliat HP nya yang berkedap-kedip. Tepat di belakang punggung tempat ia tidur tadi. Oh iya, Ollie lupa kalo lagu ‘Sexy Back’ itu adalah ringtone HP nya. Ollie mengambil kasar HP nya, terlihat nama Iren di layar HP. Ollie pun mengangkatnya. Hayo... kata kasar apa yang akan keluar dari mulut nya, udah sering Iren menelponnya di saat yang tidak tepat. “APA???”

“Tuh, tuh, tuh, pasti setiap gue telpon lo sekitar jam 10, sapaan nya judes banget. Udah tidur ya?”
“Kalo Cuma tidur mah gue gak bakal se kasar ini. Gue lagi mimpiin Justin tau!! Jarang-jarang nih.”
“Oh Justin, sorry. Ngomong-ngomong, udah belum persiapan buat ospek besok? Aduh jangan bilang deh lo lupa?”
“Yap, kali ini gue gak lupa kok.”
“Beneran? Yaudah, bagus kalo gitu, biasanya kan lo sering pikkun. Udah ya Lie, Cuma mau ngingetin kok. Good Night. Oh iya jangan lupa matiin radio tuh!”
“Eh Ren!”
“Knapa?”
“Gue pengen curhat dong, bentar aja.”
“Curhat.. aduh, gimana ya.. pulsa gue gak tralu cukup nih buat denger curhat. Gimana dong?”
“Gitu. Ya udah. Night!”
“Oi.. ngambek ya? Gue serius. Pulsa gue gak banyak.”
“Iya yaudah Ren. Gue gak papa. Masih ada besok-besok kan kalo mau curhat. Sumpah gue butuh lo.”
“Ok deh. Gue bakal bantu lo sebisa gue. See you next time!”
“Bye..!” Ollie menutup telpon dan melemparkan HP itu ke atas kasur. Sebenernya ada sesuatu yang harus diperbincangkan. Ini masalah Joni dan dirinya. Ollie memang bermaksud untuk ngelupain Joni. Tapi semakin Ollie melakukan itu, rasanya ia makin tersiksa, apalagi ditambah hadirnya Iwat yang membuat Ollie makin teringat Joni.

Ollie kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Entah apa yang akan terjadi nanti, apakah mungkin cintanya dan cinta Joni masih memiliki kesempatan untuk saling bersatu.

Dia langsung melihat ke arah bahan-bahan yang akan dia bawa saat Ospek besok. Mungkin terlalu lucu. Ollie tersenyum kecil di balik kegelisahannya.

Ollie siap untuk menanti hari esok yang entah bakal menyenangkan ato menyedihkan. Sebelum dia tidur, dia mematikan lampu dulu, dan mencium poster Justin Timberlake sambil mengatakan “Good night my Princes”. (Jangan lupa matiin radio ya Ollie!). Lalu Ollie langsung merebahkan badannya di atas kasur. (Ollie, radionya matiin dulu dong!). Ollie pun perlahan-lahan mulai membawa dunianya yang sekarang ini kedalam dunia mimpi sambil berharap akan bertemu Justin lagi disana. (Woiiiiiiiiiiii, Radionyaaaaaaaa!!!!!!!!!). Tiba-tiba saja Ollie terbangun dan merasa melupakan sesuatu. “Oh iya Radionya”.

***

No comments: