5/28/2009

BAB III - And His Name is..

Ollie mulai memasuki UPB-Universitas Pendidikan Bandung, kampus yang di gemari hampir seantero negara Indonesia ini kini telah menjadi miliknya. Perasaan bangga sekaligus tegang tak ayal sedang menyelimuti hati Ollie.

Dengan gaya sok tomboy-nya dia berjalan sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Saking enaknya dia berjalan, sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa ada seorang laki-laki berlari dengan kecepatan super cheetah di depannya.

“Waaaa......w!”
“AAHH AWAAAASS!!!”

BRUUAAK

Tabrakan pun tak dapat dipungkiri.
Mereka berdua terjatuh dengan keadaan yang bisa dibilang........ya gitu deh, kedua tangan lelaki itu tidak sengaja melingkari badan Ollie. Jarak muka mereka hanya berkisar 5 centi-an. Kedua mata mereka bertatapan sejenak sebelum Ollie mendorong tubuh lelaki itu dan segera berdiri.

“Eh Sorry.” Lelaki itu refleks berkata.
“Ngapain sih lo? Jijik tau gak?”, omel Ollie sambil menutup mulutnya. “Jangan asal tubruk dong, kan sakit!”
“Yaa gua udah minta maaf kan?”
“Maaf gitu doang sih basi.”
“Lho terus maunya apa?”, lelaki itu membangkitkan tubuhnya.
“Ya ngapain kek.”
“Stres banget sih lo, ngomel sendiri, udah tau ada orang lari didepan. Bukannya ngindar, malah melotot. Kayak di sinetron aja. Gue itu kalo lari susah nyetop, apa lagi larinya kayak tadi.”, lelaki itu balas ngomel.
“Ngapain gue ngeliat loe?”
“Makanya kalo jalan itu pake mata! Bukan kuping!”
“Gue gak bisa jalan pake mata. Mata gue itu di kepala, masa mesti jungkir balik! Dan satu lagi, gue gak pernah jalan pake kuping, gue Cuma bisa jalan pake kaki!”
“Bukan itu maksudnya...”
Belum sempat menjawab lagi, tiba-tiba Ollie menunjuk tas selempang kecil bututnya yang berada di bawah sepatu si lelaki. Tidak melihat reaksi lelaki itu, Ollie langsung berniat menarik tasnya. Tapi keburu ditarik sang lelaki.
“Oh..ini tas lo?”, tanya lelaki itu sambil menyodorkan tas Ollie.

Untuk kedua kalinya, Ollie mencoba mengambil tas nya. Namun dengan tanpa perasaan lelaki itu tiba-tiba melemparnya hingga terjatuh di jarak 10 meteran dari tempat mereka berdiri sekarang. Tanpa menghiraukan perasaan Ollie, lelaki itu mencoba untuk pergi dari tempat itu.

Namun Ollie menghalangi niatnya, ia mendorong bahu lelaki itu dengan tatapan judes sejudes-judesnya.

“Gue itung sampe 5, kalo loe gak ngambil, loe bakal dapet masalah! 1...2...3...”
“Sorry, waktu gue gak banyak buat ngeladenin lo.” Mendengar balasan menyakitkan yang terlontar dari mulut lelaki itu, perasaan Ollie kini jadi gak beraturan. Pengen rasanya menempeleng, nampar, tendang, jambak, bahkan cekik sekalipun hingga dia mati, lalu memotong-motong tubuhnya menjadi 1 lusin bagian per karung.

Tangan Ollie yang menggenggam keras siap untuk mendarat di muka lelaki itu. Sabar....sabar.....hanya kata-kata itu yang mau ia pikirkan di kepalaya. Apa daya lah, untuk orang yang sensitif seperti Ollie, susah untuk mengatasinya dengan menggunakan kepala dingin.
Lelaki itu mencoba meninggalkan tempat itu kembali untuk kedua kalinya. Nggak penting baginya merasakan apa yang dirasakan Ollie sekarang. Baru saja berjalan 4 langkah, tiba-tiba Ollie membalikkan tubuhnya dan langsung menarik kerah baju bagian belakang lelaki itu. Lantas lelaki itu juga terpaksa membalikkan tubuhnya.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Ollie yang makin Panas, refleks menerbangkan sebuah tinju yang kemudian dilandaskan di muka sang lelaki.

BUKK

Betapa besarnya tenaga pukulan Ollie. Terbukti, walau hanya sekali pukulan, tapi mampu membuat orang yang dipukul tergelepar-gelepar di atas aspal (bukan karna kepanasan, melainkan karna kesakitan).

Itu lah yang dialami lelaki tadi, sambil memegang hidung yang sepertinya patah atau remuk atau.. apa sajalah, dia berguling-guling. Gak tau setan apa yang berada di dekat Ollie, pokoknya setan itu membuat Ollie ingin menonjok lelaki itu untuk kedua kalinya saat pertama kali melihat darah segar yang keluar dari lubang hidung korban.

Ollie belutut di samping korban, lalu kembali mengepalkan tangannya di atas kepala korban yang masih memegang hidungnya. Baru saja ingin menjatuhkan tangannya, tiba-tiba....

“OLLIE.......!!!!!!!”, terdengar suara perempuan, perempuan cantik nan tinggi dan putih me-manggilnya dari kejauhan. Iren namanya, dia adalah sahabat Ollie dari TK-kuliah sekarang. Mereka tetanggaan, dia juga tetangga Joni, walaupun sekolahnya tidak pernah sama.

“Iren!”, panggilan Iren tadi sedikit telah menyadarkan Ollie atas perbuatan yang baru saja dilakukannya. Dia mata untuk melihat sekelilingnya, yang kini terlihat telah dipadati banyak orang, dan sepertinya mereka berniat untuk menyaksikan pertunjukan SMACK DOWN yang di lancarkan oleh Ollie. “Astagfirullahalazim.”

Iren berlari mendekati Ollie

“Gila lo lie! Baru pertama kali masuk aja, udah belagu!”, Iren sedikit mengomeli Ollie. “Sorry yaa... temen gue emang kayak gini, sensitif banget, gak bisa nyelesain masalah secara baik-baik!”
Lelaki itu malah membalas permintaan maaf Iren dengan dingin. Dia menatap sinis Iren dan Ollie, lalu langsung pergi meninggalkan tempat itu (tentu saja dengan tangannya yang masih memegang hidung). Para penonton pun dengan serentak membubarkan diri.

“Udah Lie, pergi yuk. Tuh cowok emang ganteng, tapi nyolot banget.”
“Tapi kira-kira dia mau maafin gue gak yah? Sumpah khilaf banget gue”, Ollie bertanya-tanya sambil menatap kepergian lelaki tadi yang udah mengeluari area kampus sambil mengendarai sebuah motor vespa keren berwarna coklat kombinasi merah dengan banyak stiker-stiker unik di body nya.
“Peduli amat, mending ketemu lagi. Orang dikampus ini kan bukan cuma lo sama dia doang. Udah yuk... telat nih!”, Iren langsung menarik tangan Ollie. Ollie yang masih dalam keadaan sadar gak sadar, bengong dan hampir melupakan sesuatu.
“Oh...iya, tas gue!”

Tas malang itu terlihat masih tergeletak lemas dengan benyak cap kaki di sekitarnya. Ollie menyadari kalau tas itu adalah korban amukan massa yang tadi melihatnya melakukan tindak kejahatan.

***

Akhirnya selesai juga pengarahan dari senior-senior Ollie dan Iren. Kira-kira lusa depan, para junior-junior yang baru masuk di UPB, khususnya yang mengambil program studi Teknik Sipil, akan menjalani ospek.

Ollie dan Iren keluar dari tempat perkumpulan dengan tampang yang lesu. Apa lagi Ollie yang udah gak jelas naguk-ngaduk mukanya.

“Hua............h! Akhirnya, selesai juga deh. Hua.....hmp”, Ollie berkata malas sambil menguap lebar.
“Woi, bau’! Jangan lebar-lebar!”, omel Iren serentak menutup mulut Ollie yang makin menjadi nguapanya.
“Ngantuk nih, biasanya jam segini gue udah buka kamar.”, Ollie melihat jam tangan G-SHOCK abu-abunya yang di beli seharga 10.000-an ditukang loak, dengan diberi sedikit fariasi blink-blink sendiri (ngapain mahal-mahal kalo masih bisa dimodifikasi).
“Jam segini Lie, ini kan masih jam 8, masa jam segini lo udah tidur?”
“Yah..... serah apa kata lo dah.” Ollie berkata. “Omongan senior-senior tadi kagak ada yang guna, basa-basi abis! Makanya gue bete.”
“Ssssst, jangan kenceng-kenceng. Kalo kedengeran yang mati bukan lo doang!”, Iren hampir mau ngebekeb mulut Ollie, untung aja Ollie langsung ngambil tindakan dengan menepis tangan Iren.

Ollie yang nggak peduli mau dimatiin sama senior dengan cara apapun kalo ngedenger keluhannya itu, tiba-tiba terpana dengan sosok lelaki yang duduk di sebelah pohon, sedang membolak-balikkan sebuah proposal tentang acara yang akan dilaksanakan saat ospek nanti.

“Eh lo liat deh, cowok disana, yang lagi sendiri.”, Ollie menunjukan lelaki tersebut kepada Iren. “Dari sekian banyak senior yang ngomong , Cuma dia yang paling to the point dan jelas.”
“Oh dia, Nandy namanya. Dia katanya ketua senat fakultas kita lho.”
“Hah.. Nandy, lo kenal gitu?”
“Temen sekelas kakak gue dulu waktu SMA di Bandung. Gak teralu temenan deket sih. Dia pernah mampir ke kos-an waktu gue lagi nengok kakak gue. Gue kenal dia juga kebetulan, malah mungkin dia gak kenal gue. Keliatannya sih baik, dan pengetahuannya luas, tapi kekuperannya itu yang bikin dia jarang punya temen.”

Ollie makin dalam melihat cowok ternyata memiliki nama Nandy itu. Tiba-tiba saja Nandy mendongak, melihat kearah Ollie dan Iren, yang seakan tau kalo dia dari tadi jadi bahan curi-curi pandang.

“Oh my God, ayo kita pulang!”, Ollie mempercepat jalannya, karna malu pengintipan secara diam-diamnya ternyata tak telalu sukses.

***

Sampai juga akhirnya di rumah yang akan menjadi tempat istirahat Ollie selama dia masih belum di nyatakan D.O(Drop Out) dari kampusnya.

Jam tangan Ollie sudah menunjukkan pukul 8.46. Biasanya kalo udah segini Ollie blom pulang, pasti dia udah di kunci’in dari luar sama mamah, dan boleh masuk ketika hari telah berganti. Untungnya ini rumah nenek. Lagi pula Ollie kan punya alasan yang tepat untuk membela dirinya.

“Ini tempat kos punya nenek loe Lie? Gede banget, rumahnya banyak lagi.”, tanya Iren yang baru aja nganterin Ollie pulang make mobil VW kodok tua yang telah berumur puluhan tahun, warisan dari kakek tercintanya.
“Iya lah. Yang di sebelah kiri rumah nenek gue, sedangkan yang kanan tempat kos-nya. Rumah yang cewek sama yang cowok sengaja dipisah. Tempatnya enak loh. Makanya, loe ngekos di sini dong!” Ollie sambil menuruni mobil.
“Promosi nih ye..!!!”
“I...h, bukan gitu, kan kita jadi deketan lagi.” Ollie sedikit melencengkan maksud hatinya yang ingin menghindari kebosanan. “Lo berani gak pulang sendirian?”
“Oh ya Lie, masalah cowok yang nabrak loe tadi, kalo loe tiba-tiba ketemu dia, loe mau ngapain? Cowoknya ganteng loh, siapa tau baik.”
“Mau loe apa? Gue gak kepikiran sampe sejauh itu tuh. Kan loe yang bilang sendiri, dunia ini tuh gak sekecil yang kita bayangin.
“Siapa tau aja itu jodoh lu. Itung-itung penggantinya...” Suara Iren mengecil dan enggan untuk berkomentar lebih lanjut lagi, melihat kepala Ollie yang mulai menunduk. “Aduh Lie, gue keceplosan, yang tadi gak usah di inget lagi ya..!”
“...”

Tak ada sepatah katapun yang keluar lagi dari mulut bawel mereka. Iren bener-bener gak bisa maafin dirinya. Telmi-telmi-telmi...

“Lie.. loe gak pa-pa kan?”
Beberapa detik kemudian, Ollie juga masih belum ngomong, dan itu membuat Iren jadi semakin merasa bersalah.
“Gak pa-pa kok.” Akhirnya Ollie menyuarakan pendapatnya.
“Tapi loe gak marah sama gue kan?”
“Ngapain marah? Gak ada untungnya tau. Lagi pula gue emang niat buat ngelupain dia..”

Hati Iren sedikit tenang. Tapi tetap saja merasa bersalah atas perkataan semena-menanya tadi. Iren melambaikan tangannya ke Ollie karna sekarang dia akan kembali ke tempat kosnya. Ollie pun membalas lambaian tangannya itu dengan senyuman yang terlihat di paksa.

Setelah memastikan mobil Iren bener-bener udah jauh, Ollie dengan lunglai memasuki pagar rumah. Yang ada di pikirannya kini hanya Joni, namun Ollie tak mau larut dalam kesedihan terus menerus. Ollie udah membulatkan hatinya untuk menghapus nama Joni dari daftar nama-nama orang yang dia kenal. Dia gak mau jadi kayak gini Cuma gara-gara orang yang bernama Joni.

Ollie masih berjalan lunglai, kini dia mendekati rumah. Jalannya mendadak terhenti seketika ia menemukan seorang perempuan sedang duduk tepat di sebelah tempat kos wanita. Udah jam segini, kalo bukan kuntilanak, ya.. paling pocong yang berkeliaran. Entahlah itu manusia atau bukan, tapi dia menangis. Seharusnya raga Ollie akan berlari dan segera masuk ke dalam rumah, tapi hati Ollie yang mengatakan agar dia berlari dan segera mengenal wanita itu.

Ollie menyodorkan tangannya di depan muka wanita itu yang tertutupi oleh kucekan jari. Wanita itu membuka matanya melihat tangan Ollie, sejenak dia berhenti menangis. Lalu pandangannya berubah ke arah mata Ollie seolah ber-tanya ‘siapa ya.?’

“Ollie, aku cucu dari yang punya kos ini.” Katanya memperkenalkan diri.

Tangan Ollie segera di gapai-nya. Mereka berjabat tangan. “Filsa.” Suaranya masih senyap sekali, tentu saja dengan mukanya yang sangat merah dan di penuhi air mata. Filsa, gadis yang berumur kira-kira 19-20 tahun ini.....

Ternyata manusia.

“Mbak Filsa kenapa? Kok nangis gini?”

Wanita bernama Filsa itu tak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya seakan meratapi nasib yang dia terima. Tiba-tiba ia menatap mata Ollie dan memberikkan senyuman tipis kearahnya. “Gak kenapa-napa kok.”

Ollie mengerutkan dahinya. “Cerita aja kali mbak.”

“Kalo aku cerita, emangnya kamu bisa bantu?”
“Aku gak tau, tapi setidaknya mbak bisa ngeluarin isi hati mbak. Kalo di pendem rasanya lebih sakit lho.” Ollie menyampaikan salah satu pesan moral yang dia peroleh dari nasihat nya Iren. Berkat nasihat nya itu, Iren sukses membuat Ollie menjadi orang yang gampang menangis.
Filsa kembali tersenyum, tapi mukanya tak menghadap Ollie. Mungkin ini senyuman untuk kisahnya. “Aku baru ditolak cowok.”

Damn...

Pandangan Ollie kosong, bibirnya masih tersenyum. Rasa penasaranya tadi menjadi sedikit kecewa. Istimewa, mengapa cewek jaman sekarang itu menganggap ditolak cowok itu menjadi sesuatu yang istimewa? Salah sendiri, gak semestinya cewek yang nembak cowok.

“Aku udah tertarik sama dia sejak tahun kemarin. Dia membuat hatiku luluh, entah kenapa, mungkin ini yang namanya cinta.”

Respon Ollie masih seperti tadi, raut wajahnnya memberikan perintah kepada Filsa untuk memberikan alasan yang lebih spesifik lagi.

“Truss, setelah setahun, aku merasa udah gak kuat lagi nyimpen perasaan itu sendiri. Jadi... aku beraniin diri untuk nyatain rasa ku itu ke dia.”

Ollie masih cengok.

“Tampang loe nyebelin banget sih.” Filsa sedikit menoyol kepala Ollie. Mereka tersenyum bersama. Ollie memasang tampang seakan ingin mendengarkan lanjutan cerita tadi.
“Ternyata aku di tolak. Mungkin kalau Cuma di tolak doang, aku gak akan seisak ini. Dia anak kos ini juga, namanya Iwat, waktu itu di depan kamar kos dia..

“Iwat, loe tuh nyadar gak, selama ini, selama setahun ini tuh aku suka banget sama lo. Setiap gue ketemu lo, jantung gue slalu deg-deg-an. Dan mulai saat itu gue tau, kalo gue jatuh cinta sama lo.”
“Trus, maksud lo nyodorin bunga ini ke gue apa? Mau lo apa sih?”
“Gue mau lo ngebales isi perasaan gue ini.”
“Mmm.. emang menurut lo gue tuh gimana?”
“Lo itu cowok ter ganteng dan terbaik yang gue kenal.”
“Masa sih, menurut gue lo itu cewek ter murah yang berani-beraninya minta gue jadi pacar lo. Gue minta lo tancepin aja nih bunga di kebun bunga lo. Gue alergi.”


“Dia ngomong gitu ke aku. Sambil ngebanting pintu kamarnya.” Filsa terisak dan kembali menangis. “Selama ini dia itu baik banget sama aku, dia sering nyapa aku, nemenin aku jalan-jalan. Tapi...”

Ollie menggeram. Tentu saja hatinya kesal. Berani-beraninya dia ngomong gitu ke wanita. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Ollie berdiri dan berjalan ke depan pintu kos pria. Oww....

Duk-duk-duk. Belum ada jawaban 2 detik setelah ketukan pintu tangan Ollie. Duk-duk-duk. Masih hening. Duk-Brakk-brakk-barkk!!!

“Shut up, Dude..” suara dari dalam mulai menggelegar. Terlihat beberapa lelaki dengan postur tubuh yang cukup mengerikan, membuka pintu dan menatap Ollie sinis. “Oh.. cewek.”

Ollie celingukkan ke dalem. Jelas aja, tapi mana dia kenal cowok yang namanya Iwat itu. Tentunya Iwat sih tidak termasuk golongan lelaki berbadan kekar seperti di depannya itu. “Mana yang namanya Iwat?”
“Ngapain? Nyatain cinta? Apa minta pertanggung jawaban? Basi tau gak! Kenapa sih, gak ada bosen-bosenya cewek nyari Iwat.”
“Ya.. soalnya Iwat itu emang jagonya main cewek.”

Tiba-tiba terdengar suara bermuara di belakang para cowok. Serentak orang-orang yang ada di depan Ollie menyingkir seperti membuat jalan khusus untuk menatap postur sang Iwat.
Terlihat lelaki tinggi berkulit sawo matang, bermata tajam melirik Ollie, dan berhidung..... ‘di hansaplast’.

“Here.. I-W-A-T.” Dia mendekat, entah kenapa tubuh Ollie jadi gemeteran. Firasat Ollie menandakan yang gak enak.

Semakin dekat, langkah Iwat makin lambat. Sampai akhirnya kedua mata mereka bertatapan sangat keras. Tubuh Ollie terasa lemas, lemas sekali. Dia tidak menduga seseorang yang berada di hadapannya sekarang. Begitu pula di pihak orang itu. Kedua pihak terdiam. Sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi (berlari untuk Ollie) meninggalkan kedudukannya masing-masing. Tanpa mengeluarkan suara yang sudah berada di ujung lidah mereka.

“Ohh shit!!” Ollie kelagapan kemudian menubruk pintu rumah nenek.

***
Ollie menelpon Iren malam sekali. Setelah kejadian tadi di luar, di butuh waktu untuk merenung dahulu, baru waktu untuk menghibur dirinya. Siapa sangka, orang yang mencari masalah dengan Ollie di kampus, ternyata tinggal di kos nenek nya.

“His name’s Iwat, Ren.. Iwat.. dia sekarang tinggal di kos nenek gue.”, Ollie ngobrol dengan Iren lewat HPnya.

Dengan gaya sok pusingnya, dia muter-muterin kamar yang kini menjadi tempat untuk istirahat. Nuansa ‘jadul’ menyelimuti aura kamar itu. Cat berwarna putih kelam dengan hiasan sarang laba-laba di setiap sudut plafon. Yang membuat Ollie merasa sedikit sesek napas berada di dalamnya.

Tapi tidak untuk saat ini. Karna dia masih memikirkan bagaimana cara untuk menahan malu dan meminta maaf kepada Iwat. Apa lagi sekarang mereka satu kawasan.

“Iwat, Iwat siapa?”, Iren minta penjelasan yang lengkap dari Ollie atas omongannya yang terlalu to the point.
“Adu....h itu loh.. laki-laki yang gue tonjok tadi pagi itu ternyata namanya Iwat.”
“Sumpe lo... wa.... dream comes true dong?”
“Monyang lu dream comes true! Siapa yang mimpiin dia.”

Ollie duduk di atas hamparan karpet dan menyandarkan tubuhnya di lemari baju, sehingga sedikit menghasilkan bunyi ‘duk’.

“Perasaan gue ternyata bener, lo itu keiket tali jodoh ama dia.”
“Dan ternyata perasaan gue itu bener juga, kalo ternyata lo itu bukan paranormal yang handal.”
“Gue emang gak punya keturunan paranormal.”
“Dan gue gak punya tali yang bisa ngiket jodoh gue ama dia.”
Hening..
“Oke Oke gue nyerah, akal lo itu gak mungkin gue tandingin soal rantai-merantai kalimat orang.”
“Ini bukan masalah merantai kalimat, Ren, jodoh itu tidak hanya memper-masalahkan beberapa kali tatapan mata, tapi eratnya ikatan hati. Lagi pula gue masih yakin, tali yang ngiket hati gue sama hati Joni, masih kesimpul rapih.”
“What do you think? Baru aja tadi malem lo mau ngelupain Joni?” Ollie mengetahui kalo di sebrang sana pasti Iren sedang marah. “Maaf Lie, tapi gue juga gak kuat ngeliat lo terus-terusan kesiksa karna nunggu Joni. Kalo dia emang bukan jodoh loe? Dan lebihnya lagi, kalo dia udah ngeduain lo? Lo bisa gila.” Terdengar suara Iren sedang menggebrak meja. “Tapi kalo dari sekarang lo udah berusaha ngelupain dia, lo akan lebih Enjoy ngehadapin apa yang akan terjadi besok.”

Ollie terdiam selama beberapa detik. Dia nggak bisa berkalimat lagi. pikirannya kemana-mana kini. Dia hanya mengharap Iren yang duluan mengakhiri teleponnya.

“Ya udah lah, gue ngerti perasaan lo. Udah ya Lie, terus jalani hari-hari mu berikutnya. Good night.”
“Night too..”

Baru saja Ollie ingin melempar kembali HP nya itu ke atas tempat tidur, tapi dering NOKIA Tones yang berarti ada SMS masuk tiba-tiba keluar dari HP nya.

“Siapa lagi sih nih?”

From = _ReGha
Woi kuntilanak! Enak banget yak lo, pergi kgk pake blng2 dulu! Iya deh gw tau, gw udh gak penting lg dlm hidup lo. Tp gw ini kan msh adek lo!

To = _ReGha
Gak ush sok dramatis gitu deh tuyul, gw lp. Lg pula lo udh tau kan, kalo hr ini gw bakal prg k Bandung. Jangan kngn, nanti gw sering k Jakarta deh. Salam aja yup buat ayah n’ mamah.

From = _ReGha
Bnr yak mbak, kalo perlu 1 minggu sekali!

To = _ReGha
oK deh, kalo lu mau bayar ‘ONGKOS JALANNYA’!!!

From = _ReGha
Kejem..

To = _Regha
Sekejem-kejemnya gue, jg msh kejeman lu tuh

From = _Regha
I’m not kidding

To = _Regha

Hngg tuiul, tp jgn tiap minggu dong, bisa mati pelan-pelan gw?


***

No comments: