6/04/2009

BAB V - Denting Pertama

Hmm.. hari pertama ospek. Tegang.. tentu mereka rasakan. Apa lagi buat mereka yang gak kuat di bentak-bentak, seperti Ollie. Sungguh gak bisa nahan untuk mengeluarkan air mata bila dibentak. Tapi dia akan mencoba untuk selalu positive thingking bahwa dia bisa dan tidak akan buat masalah.

Ollie keluar dari mobil Iren, lengkap dengan atribut yang wajib dikenakan, seperti papan nama terbuat dari kardus dan bertalikan ravia yang sudah dikepang, kaos oblong putih, celana levis super duper rusuh, topi tentara, rambut acak-acakan, dan.. segala perlengkapan lagi yang membuat orang lain yakin bahwa ‘mereka lah orang gila depan rumah gue’.

Banyak orang yang berpelengkapan mirip dengan Ollie dan Iren masuk ke dalam kampus. Merekalah teman-teman senasibnya. Ollie menghembuskan nafas-nya panjang, dan menatap Rata PenuhIren dengan perasaan tegang.

“Santai aja kali Lie. Asal lo turutin semua yang mentor suruh, lo gak bakal nangis deh.” Iren menghibur dan sedikit menyindir.
“Gue bakal buktiin kalo gue gak cengeng lagi.”
“Seterah ape kate lo dah!” Baru saja mereka melangkahkan satu kakinya, tiba-tiba tepat di belakang mereka sesuatu teriakan keras yang telah sukses mem-buat kebo terbangun. Teriakkan menyuruh semua untuk segera masuk ke dalam.

Ollie, Iren dan yang lainnya yang masih berada di luar, segera masuk ke dalam kampus. Di sana sudah berkumpul para Junior dan mentornya. Mereka berdiri sembarangan di manapun.

Iren sepertinya sudah mempersiapkan secara mantap, bukti dari tadi dia cengar cengir mulu. Beda dengan Ollie yang gak henti-henti berdoa sambil me-yakinkan hati.

First day... first day. Apa saja bisa terjadi di first day.

***

First day, hmm.. benar-benar melelahkan. Gak ada yang bisa memungkiri-nya. Tapi kesenangan di hari pertama dan terakhir akan melebihi hari berikutnya (Semoga kalian setuju).
Semua mahasiswa keluar dari kampus saat jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Dengan muka yang sudah tak berbentuk lagi. Baju putih mereka sudah ber-mmetamorfosis menjadi sedemikian rupa, ada yang berubah warna, ada yang berubah bentuk, bahkan ada yang lenyap tak tersisa lagi (just for boys!!!).

Kaki mereka seakan berjalan sendiri tanpa ada perintah berarti dari pengendalinya. Kadang ada mata yang tak terbuka. Al hasil, sedikit kecelakaan pun terjadi. Gak sedikit yang saling menubrukkan diri ke pohon, tiang, maupun temannya sendiri.

Ollie yang baru kena hukuman dari mentor karna ke lemotannya men-jalankan perintah, jelas-jelas udah gak sanggup lagi menghentakkan kakinya akibat hukuman berlari berpuluh-puluh menit. Untung saja seorang laki-laki kenalan Iren bernama Nandy yang senantiasa mau membopong Ollie di belakang sampe ke mobil Iren. Padahal Nandy itu kan gak lain adalah mentor mereka juga, yang waktu itu jadi korban curi-curi pandangnya Ollie. Ternyata dia masih kenal sama Iren.

Iren masih setia mengelus-ngelus punggung Ollie sambil berjalan. Padahal dia juga sedang dilanda kecapean.

Ollie-Ollie, untung loe masih punya sahabat yang selalu menyertai loe dimana-mana.

Nandy mendudukkan Ollie di kursi VW Iren. Ollie menghembuskan napasnya (hal ini mungkin lebih wajar di lakukan Nandy).

“Maafin mereka yah, mereka emang keterlaluan. Dari dulu aku emang gak pernah suka sama yang namanya senioritas. Tapi..”
“Gak papa kok Mas Nandy.” Panggilan ‘mas’ menyertai nama Nandy. Walaupun ini adalah Bandung, tapi sebagian besar mahasiswa di sini berasal dari Jawa. Jadi sudah terbiasa para Junior memanggil Senior nya dengan nama panggilan khas Jawa.
“Ya udah, kalo ada apa-apa, ngomong aja sama aku.” Nandy berdiri dan menutup pintu mobil setelah menerima anggukan kepala Ollie. Iren yang udah duduk di sebelah Ollie, segera mengeluarkan mobil dari parkiran, dan me-lambaikan tangannya ke arah Nandy lewat jendela mobil yang terbuka. Bukan terbuka, tapi emang sengaja dibuka. Maklumlah, mobil Iren yang gak ber AC akan membuat nya sesak napas di dalam apabila tidak ada udara yang masuk.

Pandangan Ollie terhadap Nandy semakin dalam. Ollie gak henti me-mandang sampai akhirnya tak terjangkau lagi oleh matanya. “Entah kenapa ya Ren, setiap gue natap Nandy, kok tiba-tiba gue inget jelas Joni. Gue ngerasa kalo di antara mereka berdua ada ikatan batin.”
“Hmm.. emang sih Nandy itu mirip Joni, tapi.. gak mungkin kan mereka kakak-adek?” Iren serentak mengembalikan kartu parkir ke sang penjaga gerbang.
“Gue gak pernah tau kalo Joni punya sodara kandung.” Ollie mengerutkan dahinya. “Ya semoga aja ini jadi pertanda.”
“Pertanda?”
“Pertanda kalo gue masih di ijinin ketemu Joni.”

Iren memaklumi kerinduan Ollie yang udah beberapa bulan ini mesti rela menahannya sendiri “Oh ya Lie, kemaren lo mau curhat apa?”

Ollie tersenyum kecil. “Udah lah, gak begitu penting.” Senyum Ollie makin mengejek.
Ejekan yang terlalu tertuju pada kebodohannya menunggu Joni pulang.

***

Ini dia hari terakhir, setelah seminggu lamanya diadakan. Jelas hari terakhir ini tidak terlalu melelahkan seperti hari pertama. Semuanya bergembira, hari ini penuh tawa. Pukul 7 malam semuanya udah pada bubar dan berhamburan kemana-mana. Beberapa dari mereka ada yang berteriak me-nandakan keresmian mereka menjadi mahasiswa.

Pastinya termasuk Ollie. Dia gak bisa nyangka kalo dia bener-bener bisa jadi mahasiswa Universitas unggulan. Berarti gak lama lagi, cita-cita Ollie untuk menjadi pengusaha sukses disamping cita-cita nya yang ingin menjadi istri Justin Timberlake, akan tercapai.

“Iren.. Ollie..” seseorang memanggil dari belakang. Iren dan Ollie pun serentak menengok.
“Halo Mas Nandy!”
“Hai.. eh selamat ya.. kalian udah berhasil ngelewatin masa-masa menyebalkan ini.”
“Menyebalkan? Masa sih? Masih ada tuh masa yang lebih menyebalkan. Jika harus di cekokin ujian-ujian aneh.” Ollie menggerutu.
“Hahaha.. bisa aja kamu Lie. Ke caffe dulu yuk, refreshing.” Nandy mengajak.
“Caffe, dengan bau badan yang kayak begini?”
“Udahlah nggak apa-apa, gak akan kecium kok, tempatnya gede.”
“Boleh sih, ayo. Mas Nandy naik apa.”
“Aku naik angkot.”
“Yaudah, naik mobil aku aja yah.”

Ya masa sih kalian ngebiarin gue naik angkot sendiri.

***


CheZZin!!
International Cafe and Restaurant


Begitulah nama yang terpampang di cafe bermodel heritage modern ini. Dari gedungnya aja, sudah tergambar suasana classic yang sangat bernilai.

Iren memarkirkan mobilnya, sederet dengan mobil-mobil mewah. Mungkin pemilik mobil mewah akan mengira bahwa salah satu ac disini tidak berfungsi, sehingga harus di service dulu, atau atap dapur yang kebetulan bocor, saat melihat mobil Iren yang terparkir disana.

Mereka masuk ke dalam cafe dengan dipimpin oleh Nandy. Ollie dan Iren celingukkan melihat ke sekitarnya. Semua perempuan yang keluar masuk hampir semua berparfum sungguh menyengat, serta-merta accesoris dan pasangan lelakinya. Mereka seolah menatap ilfill ke arah 3 pemuda berbau apek. Di hati Ollie dan Iren pun serasa ada yang mengganjal. Mereka mulai saling sikut-menyikut.

“Mas Nandy, aku gak tenang nih. Sampai kapan kita berjalan melewati mereka-mereka?” Iren membisik ke kuping Nandy.
“Sampai kita duduk disini.” Nandy menyentuh kursi dan langsung mendudukinya. Kursi dan meja berkaki tinggi yang terletak pas di depan sebuah panggung berisi alat-alat musik pemainnya.

Ollie dan Iren ikut duduk di kursi yang pas tersisa dua. Mereka kembali celingukan.

“Mas gak malu apa? Disini itu tempatnya orang-orang berkelas! Bukan anak bau kencur kayak kita.” Ollie
“Udah lah, kalian pada dengerin musiknya aja, keren-keren. Itung-itung buat cuci otak dari kejadian kemarin.” Emang keren-kerensih musiknya.

Nandy mengambil menu makanan yang sudah tertera di atas meja. Dan segera melambaikan tangan untuk mengharapkan seorang waitress datang. Tak berangsur beberapa menit, salah satu dari mereka menghampiri.

“What can I do for You?” disini semua penghuni memakai bahasa International. Bahkan cleaning service pun bergosip dengan bahasi inggris.
“Kalian mau pesen apa? Apa aja, kali ini aku yang bayarin.” Nandy menyodorkan daftar menu.

Ollie yang duluan menggapainya, mulai melihat-lihat. Iren nebeng. Nama makanannya aneh-aneh. Entah nama makanan dari manakah ini. Mereka nggak berani melihat harganya. Tapi Iren ingin menguji nyalinya. Hampir ia melihat satu angka dari beberapa angka di harga itu, sebelum akhirnya Ollie menutup buku menu itu.

“Ada Mi Rebus telor nggak?” Ollie bertanya seolah mengejek cafe CheZZin ini. Iren menyikut Ollie yang tak bisa menyembunyikan kehumorannya. “Aku bingung Mas Nandy, aku cukup teh anget aja deh.”
“Ollie....” Nandy masih tersendat-sendat setelah tertawa.

Ollie kembali membuka daftar menu di bagian minuman. “Ok, Soft Blue Berry.. apalah itu namanya.” Ollie yang hanya asal nebak, memberikan daftar menunya ke Iren.

Tapi langsung di tutup oleh nya. “Samain aja deh.” Iren mengoper ke Nandy.

“Well, two ‘Soft Blue Berry’ and one ‘Hot Cappucino’.” Nandy berbicara pada waitress. Waitress itu pergi setelah membacakan kembali minuman-minuman yang baru di pesan.
Plok-plok-plok...

Sebuah grup band baru selesai dengan pertunjukannya. Seluruh pemain me-nuruni panggung disertai dengan tepuk tangan para pendengarnya, termasuk tiga remaja tadi. Seseorang yang baru turun dari panggung, datang menghampiri Ollie, Iren, dan Nandy.

“Woi bro! Bawa cewek lo sekarang.” Orang itu menepuk bahu Nandy.
“Temen. Ya.. tepatnya mereka junior gue di kampus.”
“O.. Junior. Hei, I’m Ruben.” Ruben menyodorkan tangannya. Pertama ke Ollie, orang yang dia anggap paling muda.
“Ollie.” Ollie dengan sigap menggapainya.

Seperti yang diperkirakan, tangan Ruben berpindah menggapai tangan Iren yang sudah duluan menyodorkannya. “Iren.”

Nama itu seakan meleleh di kuping Ruben. Tangannya lembut, suaranya lebih lembut. Ruben terpesona dengan Iren. Sepertinya ini sebuah tanda.

“Ehemm.” Ollie menyadarkan Iren dan Ruben yang sudah 5 detik berjabat tangan sambil berpandangan. “Lama banget pegangannya.”

Lantas mereka berdua menarik tangannya kembali. “Sorry.” Ruben membalikkan badannya untuk mengambil sebuah kursi dari meja lain, dan membawanya kesini.

“Udah lama lo gak kesini Nand.” Ruben diam saat seorang waitress datang mengantarkan minuman. “Ngapain aja, setahu gue kerjaan lo belakangan ini Cuma nongkrong di sini sambil minum Hot Cappucino.” Sanggahnya sambil mengangkat segelas Hot Cappucino milik Nandy. Tanpa minta izin, Ruben langsung menyesapnya. Nandy pun tak rela, dia menarik gelas itu. Biasanya kalo Ruben udah ngambil barang miliknya, sulit untuk berharap akan kembali.

Ruben adalah sahabat Nandy yang terbilang paling dan sangat dekat. Belum lama sih, kira-kira sekitar 2 tahun lalu. Nandy memergoki Ruben sedang transaksi obat-obatan terlarang di sudut kota Bandung.

Ruben nekat ingin mencoba obat-obat itu karna tidak sanggup memenuhi kemauan orang tuanya. Mereka memaksa Ruben untuk melanjutkan kuliah dalam bidang hukum, sementara dirinya lebih memilih untuk bermain musik. Waktu itu umurnya masih 18 tahun. Dia kabur dari rumahnya karna merasa terkucilkan oleh saudara-saudaranya. Tapi dia juga tidak tau mau memperdalam hobinya ini kemana. Tak salah lagi, Nandy lah yang melamar Ruben di CheZZin. Dan sampai sekarang dia menjadi salah satu andalan caffe ini dalam bermain gitar.

Kembali ke suasana di caffe.

“Gue sibuk mikirin Ospek belakangan ini.” Nandy menjawab. “Gimana jalan-jalan ke ...... nya?” Kira-kira baru kemarin Ruben balik dari kota itu.
“...... ? Yang bener?” Ollie langsung tertarik. Jelaslah, disitu tempat Joni berkuliah. “Asyik banget sih, ngapain aja?”

Iren menyikut tangan Ollie pelan. Segitu kagetnya apa? Mentang-mentang ada Joni disana.

“Disana gue pentas, bukan gue doang sih, hampir satu DubZZ. Namanya juga caffe International. Semuanya di bayarin deh.”
“Oh ya.. ketemu sama Jon.. mm maksud aku Justin Timberlake nggak?”
“Kebetulan waktu itu dia nonton. Huh banyak cerita nih......” Ruben memulai ceritanya “Bla..bla..bla..”

Entah kenapa Ollie jadi gak konsen dengerin cerita Ruben, padahal dari awal dia yang paling semangat kalo denger cerita tentang Justin Timberlake. Tiga detik setelah cerita di mulai, Ollie mendengar seseorang mendentingkan piano di atas panggung. Sebernya dari tadi piano itu sudah berdenting. Tapi lagunya beda. Mungkin kalo hanya suara piano biasa, dia masih bisa mendengar cerita Ruben, tapi suara ini begitu masuk ke dalam hati Ollie. Dia sungguh terpesona.
Ollie membalikkan badannya bermaksud ingin melihat siapa pemainnya. Baik cowok maupun cewek. Umur 10 tahun atau 80 tahun. Tapi tak terlihat. Yang Ollie lihat hanya sebuah Grand Piano. Pemainya terhalang. Ollie mengernyitkan kening. Masa dia harus medekati piano itu, hanya untuk melihat pemainya.

Lagu itu masih bermain. Tak pernah Ollie sampai seterkesan ini. Apa lagi Ollie mempunyai kenangan tak mengenakkan tentang piano. Ollie dulu pernah kursus piano. Tapi dia merasa tidak pd saat melihat gurunya itu, benar-benar ahli dalam bermain piano. Semenjak itu dia sangat sakit hati bila melihat orang bermain piano.

Setelah +/- 5 menit lagu itu dimainkan, pemainnya berdiri, memberi hormat tanda selesainya lagu. Semua bertepuk tangan, termasuk Ollie, tidak termasuk Nandy, Iren, dan Ruben, mereka masih asyik berbincang. Pianis itu menuruni panggungnya. Dia seorang laki-laki. Belum tua. Sepertinya masih seumuran dengan Ollie. Wajahnya tak terlihat, dia memakai kupluk berwarna putih, dan bertali. Aneh, biasanya pianis-pianis yang pernah Ollie lihat, semuanya memakai Jas dan berdasi. Sedangkan dia hanya memakai sweater abu-abu, blue jeans, dan sneakers. Apalagi di padukan dengan kupluknya. Tubuh Ollie gemetar saat melihat dia turun ke belakang panggung.

“Hua.. ha.. ha.. ha..” Iren, Nandy, dan Ruben tertawa terbahak-bahak secara bersamaan. Suara mereka jelas membuat Ollie sedikit terlompat dari tempat duduknya. “Gila, gokil abiss. Haha.” Iren masih terpingkal-pingkal.
“Kenapa sih?” Ollie bertanya kepada siapa saja yang mau menjawab.
“Kenapa? Emangnya kamu gak dengerin Lie?” Nandy balik nanya.

Ollie perlahan-lahan menggeleng.

“Sorry, gak ada siaran ulang.” Ruben meledek.
“Tadi aku terlalu serius dengerin suara piano.” Ollie memelas. “Ben, ngomong-ngomong tadi siapa sih yang main piano?”

Ruben berpikir sejenak. “Yang mana?”

“Baru aja tadi selesai.”

Ruben menatap jam tangan nya, tertanda jam 8.39. “Hmm.. setengah sembilan. Anak itu ternyata udah pentas.”

“Ooow.. anak Japannesse itu ya?” Nandy memastikan.
“Japannesse? Namanya doang yang terlalu ngayal. Tampangnya Indonesia sengak banget.”
“Emangnya kenapa Lie? Tadi gue juga sempet dengerin lagunya.” Iren
“Gue mah makasih deh.” Ruben mengangkat tangannya. Sepertinya dia benci dengan orang itu.
“Aku kebawa banget sama musik itu. Aku bener-bener seolah terbang waktu dengernya.” Ollie menggambarkan perasaanya.
“Cie.. yang lagi terbuai nih.”
“Namanya siapa sih Ben?” tanya Ollie lagi.
“Keiwataru Takainuchi. Puass?”
“Kalo panggilannya?”
“Nggak penting banget sih nanya gituan.”

Ollie tak menanggapi ketidak sediaan Ruben untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Dia masih menatap ke arah panggung, berharap pemuda tadi akan kembali. Sambil menyedot soft blue berry yang ia pesan tadi, tetes demi tetes ia keluarkan dari sedotan, dan baru lima tetes minuman itu menyentuh lidahnya..

Burrrr...

Ollie tanpa perasaan bersalah, menyemburkan minuman (lebih tepatnya ludah) itu ke Ruben yang berada tepat di depannya. Dia langsung menampakkan tampang kepanikan dan kepahitan.

“Kenapa lo Lie?” Ruben mengusap wajahnya yang penuh dengan cairan berwarna biru tua. Nandy dan Iren kembali tertawa.
“Wek.... minuman apaan nih?” Ollie menjulurkan lidahnya.

Iren mencicipi minuman yang satu menu dengan minuman Ollie, dia malah tak sampai 2 tetes mencicipinya. Dia sudah menjulurkan lidahnya, sama seperti Ollie. Iren menatap Nandy minta penjelasan.

“Ya orang itu alkohol, gue kira dari tadi lo pada emang minum gituan?”
“WHAT” Ollie dan Iren bersamaan.
***

Matahari sudah tinggi di atas para mahasiswa UPB yang berjalan kemana kemari. Kesibukan di sana sudah terasa lagi. Ada yang bener-bener mau belajar, main, pacaran, bahkan yang sekedar minjem lapangan olahraga. Mahasiswa/i disini memang tak setaat yang dipikirkan.

Termasuk Iwat. Mahasiswa semester 3 yang mengambil Tekhnik Elektro ini, sudah terkenal di kalangan dosen sebagai The Danger Student. Sudah berkali-kali dia mendapat surat peringatan, sudah berkali-kali dia berada di ujung tanduk D.O. Cukup banyak alasan kenapa Iwat dijuluki The Danger Student. Pertama, tukang ribut di kelas. Dan kedua, bila dia sudah mengamuk, tak kenal siapapun yang akan dianiaya, dosen pun jadi. Tapi alasan Kampus untuk tidak men D.O. nya juga tak kalah kuat. Prestasinya tak sedikit. Dia selalu mendapat peringkat pertama di setiap semester. Bila ada olimpiade, dia-lah incaran utama.

Siang ini Iwat masih berada di kampus. Dia sudah berkali-kali berjanji pada dirinya untuk tidak lagi meninggalkan kelas. Dan setiap dia berpikir seperti itu, ada saja alasan tak masuk akal yang membuat dia malas masuk kelas. Lagi beres-beres kamar, nganterin temen yang kecelakaan, nemenin kakak belanja, atau menghadiri pemakaman orang yang sama sekali tak ia kenal. Padahal alasan-alasan itu hanya untuk menutupi ke jenuhannya bertemu dosen yang selalu ia kutuk.

Seperti halnya pagi tadi, dia membolos hanya karna ingin makan soto Bu Bariyah yang jelas-jelas lebih enak di nikmati pada malam hari.

Iwat berjalan dengan tenang disekian banyak orang yang mondar-mandir karna takut terlambat masuk kelas. Dengan tas selempang, celana 7/8, kaos lengan panjang, dan sepatu sneakers andalannya, Iwat berjalan dengan bawaan cool nya. Dia selalu menjadi idola para cewek-cewek di sana, dan 90% penggemarnya itu juga menjadi cewek incaran para lelaki malang di kampusnya. Tapi menjadi idola di sini malah membuahkan bencana baginya.

Simaklah apa yang terjadi siang ini..
“Iwa....t. Duh, kamu kok susah banget sih dicari, dari mana aja?” itu Mia, salah satu pengemarnya. Dia doyan makan, tapi badannya kurus sekali. Itu lah yang memperjelas kandungan cacing yang bebas berenang di dalam perutnya.
“Nggak dari mana-mana kok.” Iwat memaksakan senyumnya.
“Wat, makan bareng di kantin yuk.”
“Iya duluan aja, nanti gue nyusul.” Iwat pergi.

Di tempat lain...
“Assalamualaikum, A’ Iwat.” Yang ini Siti, cewek paling alim yang pernah menjadi idola Iwat. Liat aja, dia selalu manggil Iwat dengan sebutan A’a, padahal jelas-jelas lebih tua-an dia dibanding Iwat.
“Walaikumsalam, Sit, kalo mau nanyain tentang ka’idah-ka’idah agama, tunggu gue di kantin aja deh.” Iwat pergi.

Di tempat lain lagi...
“Hei..... kamu lagi sibuk ya, say.” Ini nih yang paling di gemari cowok-cowok di sini, Chintya, cewek berbadan eksotis ini selalu membuat Iwat merinding jika berada di sampingnya.
“Eh.. eh.. aduh.. duh.. tunggu dong Chin, jangan di raba-raba.” Iwat men-coba melepaskan belaian tangan Chintya dari tubuhnya. Bahaya.
“Say.. nanti malem mau kencan sama aku gak?”
“Ok.. ok, kita bicarain ini di kantin.” Iwat pergi.

Di tempat lain lagi-lagi...
“Woii.. Iwat!! Sini lo!! Kita mesti lanjutin pertandingan kemarin. Kemaren emang gue kalah, tapi nggak untuk sekarang!” Kekey, cewek sangar berbadan atletis yang gak henti-hentinya ngajakin Iwat tanding basket.
“....” Iwat tak bisa berkata-kata.
“Ah, cemen banget sih, kalo udah siap, jemput gue di kantin ya!”
Iwat berjalan menjauh tanpa perintah dari otaknya.

Kira-kira 2 meter dari tampatnya berdiri...
“Ehhmmm.. ehmm.. Iwat, mau gak kamu pacaran sama aku?” cewek ini yang paling Iwat benci, Vika, terlalu to the point, dan ke pd-an, udah 9 kali dia nembak Iwat secara langsunf. Iwat kenal dia juga karna dia nembak Iwat. Dan sebelumnya, merasa ketemu aja kagak.
“Enggak!!!!” Iwat kasar dan menjawab mantap. Mantaps.
“Ah bo’ong, pikirin lagi dong. Vika tunggu jawabannya di kantin ya..” Vika pergi menjauh dengan tampang berseri-seri.
“Anjrit.”
Masih berdiri emosi disitu.
“Iwat..”
“Siapa lagi sih?” Iwat menengok gemas ke arah datangnya suara. Ternyata dia bukan perempuan. Dia Dean, cowok terdeket Iwat di kampus. Dean itu tak lain adalah temen satu jurusannya Iwat. “Eh lo, knapa?”
“Lho, mestinya gue yang nanya ‘kenapa’.”
“Capek gue lama-lama ngehadapin yang namanya cewek.” Ya.. seperti yang pernah di bahas, Iwat itu nggak pernah tertarik sama cewek, apalagi sampai jatuh cinta. Pengalaman pacaran sih pernah, tapi itu hanya untuk ajang coba-coba, baru 2 hari jadian, putus, paling lama waktu pacaran Iwat hanyalah 3 hari. Satu lagi, Iwat ini juga di kenal dengan tukang mainin cewek. “Gue mesti gimana ya supaya bisa bebes dari cengkraman mereka.” Iwat mengacak-ngacak rambut jabriknya.
“Hahaha... emang takdir lo kali. Gue pengen makan nih, temenin ke kantin dong.” Iwat menuruti kemauan Dean tanpa berpikir lagi apa yang akan terjadi disana.

Di kantin yang bising..
“Nyet, kita dimana?” tanya Iwat gelisah.
“Di kantin lah.” Jawab Dean santai.
“KANTIN...?”
“IWWWAAAA.....TT!!!!!!” segrombolan kuntilanak berlari mengejarnya.

Malang memang harus di hadapi. Tapi mungkin dia kurang mensyukuri kelebihan tampang yang dimilikinya. Hingga kelebihan itu dapat menjadi bencana.

Untung Iwat masih sempet lolos dari cewek-cewek di kantin tadi. Ini tak sepenuhnya berkat Dean. Dari tadi, disana dia hanya sedikit berusaha melepaskan Iwat dari panggilan-panggilan aneh, selebihnya dia tertawa terpingkal-pingkal bahkan terguling-guling.

Iwat memasuki kelasnya. Dia terlambat 10 menit. Jelas lebih cepat dari biasanya yang bisa masuk 30 menit setelah kelas dimulai. Untung saja kali ini dosennya belum dateng. Iwat mengambil kursi paling belakang, karna kursi bagian depan sudah dipenuhi oleh anak-anak sok pinter yang hanya ingin mendapat pujian karna kesan seriusnya dalam pelajaran. Lagi pula duduk di kursi belakang memang incaran Iwat sejak pertama kali masuk. Dia bisa leluasa makan permen karet, bikin balon dari permen karet, nempelin permen karet di bawah meja, dan tidur. Hip..hip..horrey.

Dia duduk pas di sebelah seorang cewek. Kebetulan ada sesuatu yang ingin di tanyakan.

“Sssst.. cewek. Sst.” Iwat memanggil.

Cewek itu menengok, lalu tersenyum seolah berkata ‘Ada apa’. Iwat sedikit geli menatap senyumnya itu. Sepertinya ini tanda-tanda akan bertambahnya fans Iwat.

“Lo tau gak, kenapa cewek itu Cuma tertarik sama cowok?” pertanyaan nggak jelas yang bisa bikin alis perempuan naik karna matanya yang makin membesar.

Cewek tadi mengernyitkan dahi, dan memutuskan untuk membaca kembali buku yang ia pegang, tanpa harus menjawab dulu pertanyaan yang baru saja Iwat ajukan.

“Oi, bisu ya? Jawab dong kalo lo masih merasa seorang cewek.”
“Cowok waras biasanya masih bisa mikir.” Dia membereskan berbagai pe-ralatan di mejanya, dan bergegas mencari tempat duduk lain untuk menjauhi Iwat.
“Dodol.” Iwat membuka sebuah buku tulis dan mengambil pulpen dari saku celananya. Dengan perasaan yang masih jengkel, dia menulis.. ‘Janji, kalo udah lulus nanti, gue bakal lebih memilih nikah ama cowok..’.

Iwat melepaskan selembar kertas itu dari bukunya. Sejenak ia memandangi dahulu potongan kertas itu. Lalu ia meremasnya, dan melemparkannya kemanapun tulisan itu akan menampakan dirinya.

Selama beberapa detik kertas itu melayang, lalu ia memutuskan untuk kembali mendarat. Tepat disaat Pak Mahmud, seorang dosen yang mempunyai tugas untuk mengajar, memasuki ruangan.
Pluk..

Kertas itu mengenai kepalanya. Pak Mahmud mengambilnya. Ia tentu tertarik untuk segera membacanya, lalu..

“Siapa yang bertanggung jawab atas ini?”

Pak Mahmud sport jantung secara berlebihan yang hampir membuat dirinya tergelepar di lantai, ketika terlihat semua telunjuk mengacung ke Iwat.
***

Lain lagi dengan Ollie, ini saat pertamanya ia belajar di kampus. Tentunya tak banyak yang sudah ia ketahui tentang hidup anak kuliahan. Sedikitnya pengetahuan yang ia ketahui bahwa anak kuliahan itu wajarnya sudah memiliki gandengan, atau wajibnya sudah mulai mencari.

Jam segini, saatnya Ollie untuk bersantai menikmati ke indahan orang-orang di kampus. Kelas pertama Ollie baru selesai 1 jam yang lalu, dan masih butuh beberapa menit lagi untuk kelas berikutnya. Selama waktu kosong ini, Ollie hanya mengisinya dengan membaca buku di bawah sebuah pohon diantara pohon-pohon rindang lainya.

Hanya membaca buku.. ya, buku yang baru kemarin di belikan oleh Iren di toko buku sepulang dari CheZZin. Mungkin kalo cuma novel atau komik, Ollie akan membelinya sendiri, tapi kalo buku tentang ‘tips tips baik melupakan dia’ Iren yakin, Ollie tak akan menyentuhya. Tadinya Ollie juga tak mau menerima buku yang mempunyai judul ‘White Broken’ itu, ngapain juga Ollie nyimpen barang gituan. Kalo Cuma tips seperti itu, gak bakal di ambil hati olehnya. Tapi mungkin Iren terlalu ngebet nyuruh Ollie untuk se-cepetnya ngelupain Joni. Secepetnya bahkan setelah menamati buku itu, perasaan Ollie akan langsung hilang terhadap Joni.

Dari tadi ia memegang buku itu, tak ada satupun kalimat yang dapat ter-cerna dengan baik. Yang ia perhatikan hanyalah cover bukunya yang berwarnya merah marun kombinasi pink dan putih dengan gambar sebuah cocholate heart yang terbelah dua. Selain cover Ollie juga memperhatikan penulisnya.

Kalika Noerin Mentari, nama yang terpampang di dalam profil penulis. Dia menulis buku ini dengan harapan ingin menyadarkan orang-orang yang frustasi karna patah hati, tanpa harus menghancurkan hidupnya sendiri. Dengan jujur dia mengatakan sudah tiga kali menjalin hubungan dan tiga kali kandas di saat mereka mulai serius. Yang pertama, cowoknya harus pergi mengikuti kemauan orang tua untuk mempersunting orang lain. Yang kedua, tiba-tiba saja minta putus tanpa alasan yang jelas, dan baru ketahuan 3 hari setelah mereka putus, ternyata cowoknya itu udah selingkuh semasa mereka masih pacaran. Dan yang ketiga, meninggal karna kecelakaan maut.

Sangat menyedihkan pastinya. Ditinggal oleh orang terkasih secara tiba-tiba. Setelah membaca penggalan cerita ini, Ollie jadi berpikir akan ke pergian Joni selama ini. Apa mungkin dia ke Amerika untuk menemui jodoh yang telah dicarikan oleh ayahnya. Mungkin juga dia sengaja lari ke Amerika bersama cewek selingkuhannya untuk menjauhi gangguan Ollie. Atau... Hhhh sudahlah, Ollie tak akan memaksa untuk berpikir negatif tentang Joni.

Ollie menaruh buku itu di atas pangkuannya. Dia melirik kesekitarnya hanya sekedar untuk menjauhkan anggapannya tadi. Gerakan mata Ollie terhenti pada pohon di seberang pohon yang lagi di tongkrongin Ollie. Laki-laki berkemeja panjang kotak-kotak dengan kancing yang tak terlewatkan, celana jeans, rambut jamur, dan kacamata berukuran super dengan tebalnya yang mungkin mencapai ½ cm, sedang duduk dan sepertinya memperhatikan Ollie.

“Ha..ha..ha..” Ollie terbahak menatap keculunannya. Siapa sangka, orang yang dimaksud itu berjalan mendekati Ollie, tentu saja Ollie jadi gak tenang melihat langkah demi langkah orang itu saat berjalan mendekat.
“Permisi.” Orang itu memulai pembicaraan. “Apakah saya bisa...”
“Ire...n!!!” Ollie memotong kalimat orang aneh itu saat dia melihat Iren sedang berjalan di depan tak jauh dari tempat Ollie duduk. Kebetulan sekali ada Iren di situasi yang nggak jelas kayak gini. “Permisi.” Ollie segera berlari meninggalkan Orang tadi dan mendekati Iren.
“Hei Lie! Kenapa lo? Kok kelabakan gitu.”

Saat ditanya, Ollie langsung memindahkan pandangannya ke orang tadi, dia juga menatap Ollie sambil nyengir-nyengir dan memamerkan giginya yang berbehel. “Hiiiyy.” Ollie sedikit menggetarkan kepalanya.

“Kenapa sih Lie?”
“Itu, ada orang aneh yang nyengirin gue mulu.”

Iren memandang kemana telunjuk Ollie mengarah. Tanpa harus di deskripsikan lebih jelas lagi, Iren sudah dapat menemukan orang yang dimaksud, orang aneh yang lagi ngeliatin Ollie. “Haa..h. maksud orang itu apa’an?”

“Mana gue tau. Tiba-tiba dia ngedektin gue sambil senyam-senyum gitu. Gimana gue nggak ngeri tau nggak.” Ollie berbisik di telinga Iren. Dia mendorong tubuh Iren disertai lari kecil kakinya. Mereka berlalu meninggalkan orang gila yang ternyata bukan satu-satu nya hidup di kampus ini.

Setelah jauh berjalan dari tempat tadi..

Di tempat ini Iren kembali membicarakan soal pertemuan Ollie dengan cowok ingusan. Rambut poni jamur. Behel warna coklat di gigi. Kacamata yang melebihi kapasitas wajah. Dan pakaian era bokap Ollie di jaman dulu.

“Hahaha... sumpah, tuh anak udah jadi model calon kriminalwan (apalah itu namanya) yang udah gak punya lagi harapan sebuah masa depan yang ceria. “Kok bisa cowok berparas kutu yang melekat di buku itu merhatiin lo.”
“Itu bukan kutu buku lagi, tapi jamur di buku.” Ollie meralat.
“Baru tau gua ada jamur yang mau tumbuh di buku.”
“Ya contohnya dia. Udah lah Ren, bosen gue. Ganti topik!”

Ollie dan Iren memasuki kantin, lalu duduk diatas salah satu kursi kantin itu. Selama perjalanan, sudah banyak topik yang mereka bicarakan. Mulai dari saling menukar memori mereka tentang kehidupan di SMA dulu. Menjelek-jelekan saudara kandung sendiri. Mengungkit gosip-gosip seleb tadi pagi. Sampai memperserbasalahkan kejadian impor tomat busuk dari Singapur ke Indonesia.

“Bagaimanapun juga, itutuh salah Singapur, ngapain dia Impor tomat busuk kesini.” Sanggah Iren.
“Ya emang, tapi mungkin Singapur gak tau kalo tomat yang dia Impor itu busuk semua.”
“Ok, mungkin juga wak tu di pak tomat itu belum busuk.”
“Nah. Dan jadi busuk karna kelamaan diperjalanan, atau karna faktor cuaca yang tak memungkinkan untuk kemakmuran tomat-tomat itu.”
“Hmmmm.. tapi Lie, masa segitu begonya Singapur ngirim tomat kesini, padahal mereka harusnya udah tau kalo tomat itu nggak bakal bertahan lama-lama, apalagi kalo nganterinnya Cuma pake kapal.” Iren memprotes. “Lagi pula gue baru denger kalo di Singapur punya kebun tomat yang makmur, sampe-sampe Indonesia minta dikirimin segala. Padahal jelas-jelas Indonesia itu punya bejibun tomat seger di setiap kebunnya.”

Hening, Ollie menahan tawanya.

“Tuh kan, gue kena kibul lagi deh.”
“HaHaHaHa....”
“Kamprettt!!!” Iren menggelitik tubuh Ollie, sebentar sebelum dia me-nemukan sebuah buku di tangan Ollie. Iren menarik buku itu, lalu me-mandanginya. “Ternyata lo mau baca buku ini juga, Lie?”

Ollie dengan sigap merebutnya.

“Nggak usah di sembunyiin, lo emang mau ngelupain Joni kan?” Iren mengeluarkan nada menuduhnya. “Udah sampe pelajaran yang mana?”
“Oh iya, jam segini gue ada kelas. Udah dulu ya Ren, gue gak mau telat nih.” Ollie panik meninggalkan Iren dan kepenasarannya.

***

No comments: