6/05/2009

BAB VI - Dia Lagi Deh

(harap bacanya dari bab I yaa)

Jam lima sore di rumah nenek, aktifitas rutin yang kebanyakan peng-huninya lakukan adalah:

1. Untuk nenek sendiri : masak makanan buat dimakan besok pagi (kenyataan bahwa microwave itu sangat berguna di rumah ini), ngemil kue bikinan sendiri sambil nonton acara sore atau biasa disebut dengan ‘infotaiment’.
2. Uwak Ning : menghindari kemalasan nenek memasak di pagi hari dengan menyiapkan makan malam (untuk malam), ngemil kue bikinan nenek sambil nemenin nenek nonton ‘infotaiment’.
3. Uwak Didik : masih ngurusin (bukan perutnya yang kaya gentong) usaha optik dan apoteknya yang kebetulan mempunyai kesamaan tempat.
4. Teh Tia : sibuk dengan pelajaran dan pengajarannya pada anak SD + SMP yang membutuhkan guru privat matematika (pelajaran yang sukses membuat Ollie pingsan saat ujian). Calon dokter genius yang keseharian-nya selalu diisi dengan membaca (buku pelajaran pastinya).
5. Sedangkan Ollie : dengan bangga memamerkan sebuah suara yang mengguncang di kamarnya. Menunjukan kehebatannya mengenai keberuntungan dalam tes SPMB kemaren.

Emang dari kecil Ollie mempunyai cita-cita untuk dapat menghibur orang dengan senandungnya. Tapi, semenjak menderita karna dilempar botol saat mengikuti lomba nyanyi di sekolahnya... membuat Ollie sadar dan memutuskan bernyanyi demi kesenangan pribadi.

Malam ini Ollie akan pergi lagi ke CheZZin lagi. Bersama Iren. Dan bejibun SMS yang memaksa, seperti...

Message 1, 15.47
From : Iren My Beibilop
Lie... syalan loe!! Kok kabur sih tadi,, pan msh ad yg mau gw omongin.

Message 2, 15.50
From : Iren My Beibilop
Udh kgk usah minta maap,, mlm ini kt k CheZZin, oce!

Message 3, 16.01
From : Iren My Beibilop
Kgk pake Protes!! Gw mau lo ngeliat lagi pianis kmaren. Kalo ganteng, pan lo jg yang seneng. Syapa tau dia yg bkl ngisi hati lo.

Setelah SMS ke-3 ia terima, Ollie jadi bener-bener berpikir. Pianis itu, jam setengah sembilan dia bakal main lagi. Dan Ollie jadi bener-bener membulatkan keinginannya mengikuti kemauan Iren. Mantaps.

Message 4, 16.45
From : Iren My Beibilop
ok deh, sepakat semuanya. Nanti gw jmpt lo jam 7.

Message 5, 17.31
From : _Regha
Ada suami lo tuh d MYTV.

Message 6, 17.33
From : Iren My Beibilop
ollie.. liat MYTV, please. Sekarang, please.

Yak, dari pembahasan tentang pianis, langsung berpindah ke acara Justin Timberlake di MYTV.

Message 7, 18.45
From : Iren My Beibilop
Gw jmpt lo sekarang. Jgn lupa bw White Broken-nya ya! Kt bhs nnt.

Duk-duk-duk..
Terdengar suara pintu di ketuk dari arah pintu utama rumah nenek. Tidak salah lagi, sekarang jam 7 malam, pasti Iren yang datang untuk menjemput Ollie. Ollie dengan segera berlari menyalip nenek yang baru saja ingin membuka pintu.

“Biar Ollie aja nek.” Ollie membuka pintu. Terlihat di luar Iren yang sudah berpakaian rapih, wangi dan cantik. Beda dengan dirinya yang masih memakai kaos oblong dan bercelana pendek. “Hoi.”
Iren menyempatkan 2 detik untuk melihat penampilan Ollie, lalu ia mengernyitkan dahi. “Lo mau pake ginian?”
“Gue belum mandi tau.”
“Hngaa..! Duh Ollie, udah berapa kali sih gue ngirim SMS ke lo, masa gak ada yang di baca?”
“Gue sengaja tau.” Ollie menarik Iren masuk ke dalem. “Supaya lo bisa kenal deket sama nenek gue.”

Mereka sampai di ruang TV. Di sana duduk nenek. Yang lagi asyik ganti-ganti ‘cenel’ TV.

“Nek, Ollie titip Iren ya.” Ollie meninggalkan Iren bersama neneknya. Sedangkan dia pergi ke ruang belakang untuk mandi.
Iren duduk di sebelah nenek, dengan senyum-senyum nakalnya. “Nek.”
“Eh iya, Iren nyak. Ollie teh sering cerita tentang kamu ke nenek. Mau pergi kemana sih, malem-malem, anak gadis juga.”
“Hngg.. mau ke cafe nek sebentar, ada urusan mendadak. Lagi nonton apa nek? Kok di ganti-ganti mulu.”
“Ini, lagi nyari ‘Infotaiment’, kumaha atuh, masa teu’ aya.”

Jeger.. jam 7 nih lebih nih, masih ada gosip?
***
Lima belas menit sudah Iren menunggu, akhirnya Ollie keluar juga dari kamar mandi. Tapi masih ada 10 menit untuk nunggu Ollie dandan, juga 5 menit untuk nunggu Ollie pamitan kepada neneknya.

Mereka berdua melewati gelapnya malam, lalu mereka memasuki mobil VW kodok Iren. Kini penampilan Ollie menjadi lebih fresh. Beda dengan Iren yang sudah mulai ngantuk.

“Gimana Ren pendapat lo tentang nenek gue.”
“Sama kayak lo, doyan nonton gosip.”

Mereka berlalu. Ollie tak akan lupa dengan pesan nenek tadi, ‘Hati-hati nyak geulis, di Bandung banyak brandalan. Jangan coba maen-maen sama mereka. Salah-salah nanti kamu diapa-apain lagi.’ Dan juga gak lupa pesan di sisi yang lain, ‘Kalo pulang, tolong beli’in nenek batagor, nyak!’. Huh.
***
Kembali dalam suasana klasik di CheZZin. Tempat ini kembali dipenuhi oleh wanita-wanita berlipstik dan farfum menyengat mereka. Ollie juga kembali merasakan kejanggalan saat berada disana.

Kalo Ollie nggak terpesona dengan alunan pianis kemaren, mungkin Ollie nggak akan rela balik lagi ke sini walau harus di seret sekalipun. Hanya ada 5 ke-giatan utama yang akan Ollie penuhi disini..

-mendengarkan alunan musik sang pianis kemaren.
-mendekati sang pianis.
-minta kenalan.
-sukur-sukur kalo ganteng minta no. HP
-kabur dari cafe itu dan berjanji tak akan kembali.

Namun sepertinya Iren berkehendak lain. Ada kegiatan di luar kegiatan Ollie tadi yang sudah Iren rencanakan. Penjabaran tentang buku White Broken kepada Ollie yang mungkin kurang mengerti dengan penjelasan-penjelasan dalam buku itu.

“Mana White Broken nya?” Iren menyodorkan tangnnya di depan Ollie.

Ollie mengubek-ngubek tas, dan mengambil sebuah buku yang dimaksud. Di taruhnya buku itu di atas tangan Iren. Iren membacanya sebentar (15 menit itu sebentar lho untuk membaca buku, apa lagi buat yang mau ngeguru).

“Gimana Ren, dapet nggak pokok bahasanya? Gue mah nggak ngerti.”
“Lumayan.” Lumayan, berarti Ollie masih harus menunggu lagi. “Dalem buku ini terdapat jenis-senis patah hati yang sedang pembaca rasain. Pertama patah hati karna kejenuhan dia terhadap lo, kedua patah hati karna penghianatan. Dan ketiga.. patah hati karna ditinggal untuk selamanya.” Iren memulai sesi pengajaran. “Kira-kira lo masuk kategori yang mana, Lie?”
“Menurut loe? Nggak ada apa yang patah hati karna di tinggal pergi ke Amerika dan sampe sekarang kita nggak tau keadaan dia.”
“Isi buku ini nggak mungkin sama persis kaya kisah lo.” Iren melotot dan memperkeras suaranya. “Ya mungkin elo masuk ke dalem kategori nomor 3 deh Lie.”
“Tapi...”
“Lo nggak tau keadaan dia sekarang. Lo sama Joni itu udah kayak di dua dunia. Menjalin cinta tapi tanpa kontak. Dan dalam kategori 3 ini, lo diajak supaya bisa nge ikhlasin kepergiannya karna takdir yang udah diatur. Ngerti.”

Ollie memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia enggan menatap mata Iren yang penuh harapan.

“Kita sama-sama kehilangan, tapi jangan berpiki negatif dulu.” Iren menggenggam pergelangan tangan Ollie yang makin mendingin. Lalu ia menutup buku yang ia pegang. “Kita lanjutin pelajarannya besok aja ya.”
“Lho, kenapa Ren? Gue gak sedih kok, terusin dong!” Ollie memaksa.

Mata Iren menunjuk seseorang yang sedang berjalan mendekati mereka.

“Hei girl!! Ada acara apa’an nih dateng kesini? Pada kangen sama gue ya.” Ruben nyamber dan langsung menduduki kursi yang tersisa di meja itu (meja Ollie dan Iren pastinya).
“Hati-hati, orang ge-er itu bibirnya jeber lho.” Saran Ollie dengan maksud ingin mengejek.
“Nandy mana nih? Kok nggak keliatan.” Ruben celingukan ke sekitar.
“Nggak pa-pakan kalo berdua doang? Aku Cuma mau nganterin Ollie yang mau kenalan sama pujaan hatinya kemaren.”
“Puja’an hati? Nanti dulu dong mbak, kita liat tampangnya dulu.”
“Jadi kalo ganteng, mau lo gaet? Kalo buruk rupa, mau lo apa’in dong?” Iren bertanya. Ollie tersenyum, senyuman yang nakal. “Wah, cewek dangkalan lo!” Dari senyum najong Ollie, mungkin Iren sudah dapat menebak jawabannya.
“Ngomong-ngomong, cowok yang lagi lo omongin ini, pianis kemaren ya?” Ruben memastikan dengan gaya yang ‘gue-alergi-sama-curut’. “Tenang aja, kalo liat tampang sih, lo nggak bakal kecewa.”

Iren dan Ollie saling tatap. Lalu mereka mengeluarkan senyum kemenang-an. “Inner nya gimana, Ben?”

Gaya Ruben kini berubah menjadi gaya yang ‘gue-geli-sama-anjing-buduk’. “Jujur, gue gak terlalu suka sama inner nya.” Ruben menatap pandangan sedikit kecewa dari raut wajah Ollie, begitu juga Iren. “Ya itu baru menurut gue. Semua itu kan relatif. Lo mau kenalan sama dia, Lie?”

“Mau, tapi kok dari tadi dia nggak muncul ya?”
“Hari ini dia lagi main di cafe sebelah. Sini gue anterin, kita nggak perlu keluar kok, tinggal lewat lorong belakang aja.” Ruben menarik tangan Ollie dan Iren. Dengan pasrah, mereka mengikuti kemana Ruben inginkan.

Mereka berjalan memasuki sebuah lorong. Lorong yang cukup besar dan gelap mungkin. Dengan tempelan-tempelan lilin kecil di dinding lorong itu. Lorong itu kira-kira mempunyai panjang 12 meter. Baru memasuki lorongnya saja suara musik dengan volume yang cukup memengangkan telinga sudah menggelegar.

Cafe ini sungguh berbeda dengan CheZZin. Suasananya anak muda banget. Dinding cafe ini hampir seluruhnya terdiri dari kaca. Warna sofanya hitam, merah dan sedikit kuning (maaf bila menjijikan). Orang-orang yang berada di dalem mengenakan baju yang lebih santai. Setara dengan baju yang sedang mereka gunakan. Musik yang dimainkan juga jauh berbeda.

“Cafe ini emang khusus buat kita-kita. Nandy aja yang terlalu tua, doyannya dengerin musik klasik atau jazz.”
“Aku juga suka kok sama selera musiknya mas Nandy.” Ollie protes.

Ruben berhenti pada sebuah sekat yang berisi seperangkat tempat duduk. Lalu ia melepaskan genggaman tangan yang menggenggam tangan Ollie dan Iren. Mereka menduduki pantatnya masing-masing.

“Kok tumben kita nggak duduk di deket panggung?” tanya Iren.
“Yang duduk di sebelah panggung itu khusus buat orang yang mempunyai kekuatan kuping lebih dari orang normal. Musik yang di mainin di panggung itu bisa ngebuat jantung lo lompat-lompat.” Ruben menjelaskan. “Cafe ini masih satu grup sama cafe sebelah. Namanya DubZZ. Oh ya, kayaknya Kei baru selesai main tuh, gue bawa dia kesini ya.” Ruben berlalu setelah mendapat anggukan kepala dari Ollie dan Iren.
“Ren, nama pianis itu siapa? gue lupa.”
“Mmmm.. Keiwataru Takainuchi katanya.”
“Lucu ya, namanya Jepang banget. Padahal katanya Indonesia asli.”
“Bokapnya Jappanesse holic kali.” Iren menatap Ruben yang berjalan men-dekat sambil membawa seorang lelaki. Mereka berjalan di belakang Ollie. Semakin dekat. Iren makin dalam melihat lelaki yang di bawa Ruben.

Siapa ya.. siapa ya.. kok kayaknya gue kenal. Iren bergumam dalam hatinya. “Lie, kayaknya gue pernah liat orang itu deh.”

“Oh iya, itu kan waitress yang nganterin minuman buat kita kemaren ya?”
“Bukan yang itu, di belakang.” Iren menunjuk tanpa memandang mata Ollie yang berlaenan arah.

Ollie membalikkan badannya.

“Lie, Ini yang namanya Kei.” Ruben memperkenalkan orang di sebelahnya.

Jegerr..

Bagai disambar petir rasanya. Lelaki bersweater ijo. Yang melayangkan hati Ollie lewat lagunya kemaren, yang dicari-cari untuk di ajak kenalan, ke’IWAT’aru. Bisa ya. Pertemuan mereka selalu tak bisa diduga.
Maksud semua ini apa?
***
Terpaksalah Ollie harus berbincang-bincang dengan Iwat, juga Iren yang sepertinya dari tadi punya niat buat nyomblangin mereka berdua. Iren bertanya macam-macam kepada Iwat.

“Ren, udah malem nih, nanti gue gak sempet beliin batagor buat nenek gue.” Ollie mulai mengeluh.
“Oh iya, kayaknya bentar lagi gue juga mesti manggung nih.” Iwat mem-bela.
“Ya udah lah, yuk Lie. Dah, Iwat. Lain kali ketemu lagi ya.”

Iren dan Ollie pergi ke lorong lagi untuk mengambil mobil nya di cafe sebelah. Saat ingin memasuki lorong, tiba-tiba ada waitress yang memanggil.

“Permisi teh, ini ada titipan dari A’ Ruben.” Waitress itu mengantarkan sebuah potongan kertas kecil kepada Iren.
“Buat saya?”
“Katanya sih buat Iren.”
“Oh, makasih ya.”
“Sami-sami.” Dia berlalu.

Iren masih bingung dengan kertas itu.

“Buka dong Ren!” pinta Ollie.
“Entar aja ah.” Iren memasukannya ke dalam saku celananya.

***
Di dalam sebuah kamar kos yang simple dan dingin, tergeletek seorang perempuan cantik sedang mengalami kecapekan akibat menemani temannya keliling-liling nyari kios batagor yang berada di Bandung seluas ini.

Sambil tiduran,ia mencoba merogoh kantong celananya, dan mengambil sebuah kertas di dalam (kantong maksudnya). Setelah beberapa detik mencari, akhirnya tersentuh juga (woi.. woi.. maksudnya kertas itu). Dia membuka, dan membaca sebuah tulisan..

08167577xx
Please, call me on 11 o’clock
Ruben


Dia melihat ke jam dinding ber title Monokorobo black and white yang terpaku di atas kasurnya. 11.36, sudah terlambat sih, tapi mungkin Ruben masih menunggunya.

Diambilnya sebuah HP dan langsung ia pencet 10 digit nomor yang telah tertera. Iren (nah akhirnya Iren juga) menunggu, masih menunggu dan saking lamanya menunggu, Iren hampir saja mau menutup sambungan itu. Tapi saat ia ingin memencet tombol merah, tiba-tiba terdengar suara keras keluar dari HP-nya.

“Halo, siapa sih nih? Jam segini nelpan-nelpon, lo kira gue ini kuntil anak apa?” suara itu terdengar kasar dan sedikit semaunya. Mungkin akibat tak sadar-kan diri saat menerima telpon itu
“Ruben. Kamu yang nyuruh aku nelpon, tapi kok kamu yang ngambek?”
“Eh, Iren.” Suara di sana terdengar lebih segeran. “Lagian kamu nelpon jam segini! Aku kan nyuruhnya jam 11.”
“Ya ampun, Cuma kelebihan setengah jam doang.”
“Setengah jam..” Ruben diam, sepertinya ia sedang melihat jam. “Setengah jam tujuh menit.”
“Beda dikit. Mau ngomong apa sih, cepet dikit dong.”
“Mmmm, Ren.”
“Ya...”
“Emm.....”
***
“I MISS YOU...? Hahahahaha.”

Ollie berkaget-kaget ria di kampus saat Iren menceritakan kejadian semalam bersama Ruben. “Gila, 2 kali pertemuan lho.” Ollie menyodorkan tanda peace ke depan mata Iren, dengan suaranya yag masih tersendat-sendat.
“Iya, baru dua kali pertemuan.”
“Hebat lo Ren, itu tandanya si Ruben jatuh cinta sama lo.” Ollie menepuk pundak Iren.
“Gue juga tau, tauan manasih gue sama lo soal cinta?”
“Ya tauan lo dimana-mana lah. ‘Oww, jangan-jangan lo dah jadian lagi. Pajak nya dong?” telapak tangan Ollie terbuka di depan mata Iren.
“Belum.”
“Massssaaak”
“Capek ah ngomong sama lo!” Iren mempercepat jalannya menjauhi Ollie dengan senyum-senyum malu.

Saat Ollie berlari mengejar Iren, tiba-tiba.. “Waaaaw, Outch.” Kakinya terjelembab ke dalam got kecil, dan mengakibatkan sebuah bunyi ‘cklik’ dari telapak kakinya yang berada dalam got. “Adaaaww!!”
***

Iwat berjalan memasuki kantin terbesar di kampus ini. Dan kantin inilah yang paling doyan ia datangi. Selain masakannya enak, letaknya juga tak jauh dari gedung Elektro. Dia biasa datang kesini sekitar jam 12 untuk menemui Dean, selingkuhannya (bussyet). Sama dengan hari sebelumnya, Dean lah yang paling rutin datang, semetara Iwat, kalo dia lagi segan aja.

Masih dengan keadaan santai ia menerobos bau-bau makanan yang menggoda. Tanpa menghiraukan suara misterius yang memanggil-manggil nama-nya. Dia masih berjalan sampai akhirnya menemukan incarannya.

“Hei Bro! Wah, makan apa nih? Bagi-bagi dong.” Iwat nyerocos sambil me-ngangkat semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Dean.
“Heh.” Dean kembali mengambil semangkuk mie ayam yang sayang bila di relakan untuk Iwat. “Tumben lo kemari?”
“Kangen aja sama kamu.” Iwat duduk di samping Dean dan memeluk tubuhnya. Dean yang terganggu langsung memberontak. “Biasa aja kale.”

Dean melahap makanannya dan menunggu Iwat yang sedang memesan makanan juga. Tidak berlangsung lama, Iwat-pun kembali membawa sebotol pepsi.

“Dapet salam tuh dari Dini, katanya dia baru putus sama cowoknya.”

Tak ada reaksi apapun dari Iwat saat mendengar kabar itu, dia masih meminum pepsi nya santai. “Ehemmm. Udah 11 kali gue denger kabar itu. Nggak penting banget sih, ngapain pake nyampe’in ke gue. Mau dia putus kek, mau dia cere’ kek, mau boker, mau ngidam, mau teler, mau mati, yang namanya ‘Dini’ mah bukan urusan gue.”
“Sok jual mahal lo! Cewek sempurna di tolak.”
“Heh, nggak ngerti-ngerti ya lo. Udah gue bilangin, ‘cewek itu nggak penting’ (sialan lo Wat), bisanya Cuma nyusahin cowok doang. Meronta-ronta sok manja untuk minta dikasihani.”
“Dikasihi.”
“Sama aja.”
“Beda kasep (ganteng).”

Istri = Pi, Papi. Mami udah nggak kuat lagi nih, mau ngelahirin.
Suami = Sabar ya Mi, jalanannya masih macet nih.
Istri = Cepeeet,salip-salip aja mobil di depan.
Suami = Sabar Mi, sabar. Mana bisa nyalip, nanti kita nya yang mati.
Istri = Udah deh kalo kayak gini lebih baik Mami aja yang mati sekalian!

“Huh. Bikin ‘Capek deh’.” Iwat berhenti sebentar untuk menyedot pepsi-nya.

Sementara Dean, dia hanya mendengarnya secara pasrah, padahal dia udah sering banget mendapat penjelasan itu dari mulut Iwat sendiri.

“Ehemm. Dan lagi, menurut cowok sinting katanya cewek itu bisa me-muaskan nafsu laki-laki. Tapi apa’an, kebahagiaan yang mereka kasih itu semu. Bisanya Cuma ngasih anak doang, selebihnya, laki juga kan yang ngurus anak itu.”

Suami = Buset dah, stiap hari gue dijejelin bakwan goreng mulu ya.
Istri = Heh, masih mending dimasakin, mami sibuk nih! Gak ada waktu masak.
Suami = Sibuk apa’an? Uang, ada yang ngurus, anak, ada juga yang ngurus. Sibuk shoping mah? Masak itu kan gak lama.
Istri = Papi udah nggak percayaan lagi sama mami, kalo gitu Mami mati aja deh!

“Itu mah emang si Mami-nya kagak normal.” Dean melahap suapan ter-akhirnya.
“Nah, sama aja kayak cewek-cewek biasanya.”
“Kalo gitu elo yang punya kelainan!” Dean bergegas meninggalkan Iwat. “Ada satu pemberian cewek yang gak bakal lo temu’in dalam sosok cowok. Cinta. Setiap cowok bakal luluh bila mendapatkan cinta seorang cewek.” Dean berlalu meninggalkan Iwat yang masih termangu.
“Hmm, cinta.” Iwat berkata seolah ‘gue-nggak-kenal-sama-dia’. “Dasar Ten‘dean’.” Dia menghabiskan pepsi-nya, dan kemudian pergi menjauhi kantin. Iwat.. Iwat, makanya kalo mau ngerasain cinta, belajarlah menghargai cewek!

***
Dalam sebuah ruangan, sepi, seorang wartawan yang wajib menunaikan segala kewajibannya, diminta untuk mengintrogasi seorang psikolog awam tentang apa dan akibat patah hati itu.

“Bagaimana menurut anda tentang manusia yang sedang patah hati?” Wartawan membuka pertanyaan.
“Mmm.. menurut saya manusia yang sedang patah hati itu harus memiliki banyak duit untuk membayar psikolog handal seperti saya. Ooo.. syukur-syukur mereka bersedia untuk melaksanakn operasi pencucian otak. Ya.. sekedar menghindari...”
“Sory-sory pak, apa itu tidak terlalu berlebihan?”
“Okay, bagi orang yang gak mau ambil ribet atau ‘kere’, sepertinya RSJ lah tempat yang cocok untuk mereka.”
“Saya tidak sedang membicarakan orang sakit jiwa.”
“Apa bedanya?”
“Orang patah hati itu cenderung masih nyambung dibanding orang sakit jiwa.”
“Lho.. saya kan pakarnya, kok anda yang sewot sih?”
“Ya.... What ever lah.”
“Truss, apa yang akan anda tanyakan disini?”
“.......”

Sejak saat itu sang wartawan pun menyadari bahwa ternyata orang pintar itu banyak yang sakit jiwa.
Ya.. memang sakit jiwa..
Orang terpelajar itu banyak yang sakit jiwa..
Orang patah hati gak kalah banyak yang sakit jiwa..
Percintaan terhadap sesuatu menjerumuskan kita ke penyakit itu..
Cinta pelajaran, cinta karier, cinta pacar..

Cinta itu bodoh..
Memang cinta itu bodoh..

Ya..

“Memang cinta itu bego.”
BUKK
Sebuah hantaman buku esiklopedia 2380 halaman pun berhasil membangunkan Iwat dari semua mimpi singkatnya.
“KAMU LEBIH BEGO!! Dasar Iwat. Siapa yang nyuruh kamu tidur di kelas saya??!!”

***

Sebuah tragedi di rumah neneknya Ollie.

“AAA....WWW, AMPUUUUN NEKK. SAKKIIIT.”, teriak Ollie yang sukses membangunkan kebo mati di Madiun (entahlah).
“Cicing (diem) atuh, geulis.” Nenek dengan tenaga kebonya dalam proses pe-remukan kaki Ollie yang keseleo.
“Aduh.. duh.. patah nih, patah.” Ollie makin gelisah.

Krek..
Nenek makin sadis.

“ASTAGFIRULLAH......”

***

2 comments:

Amira Nabila Qatrunnada said...

indiraaaaaaaaaaaaaa,kenapa ga bikin novel ajaaaaaaaaaa?bikin novel dong

Indira Ramania said...

ah mir ga bakat ah ntar ga laku lagi, haha